Perempuan dan Krisis Iklim
Lima tahun belakangan ini, ada dua fenomena yang paling membuka mata dunia: krisis iklim dan kebangkitan perempuan, termasuk anak dan remaja perempuan. Sayangnya, dalam kelindan dengan krisis iklim, perempuan dan anak-anak sering kali hanya dilihat sebagai kelompok rentan. Padahal, perempuan, termasuk remaja dan anak perempuan, bisa jadi adalah kunci solusi krisis iklim.
Aktivisme & Ekofeminisme
Di seluruh dunia, remaja perempuan tengah naik daun menjadi pemimpin berbagai gerakan, mulai dari Emma Gonzales yang memimpin March for Our Lives melawan rezim senjata paling berpengaruh di Amerika Serikat, hingga Greta Thurnberg yang mengajak jutaan pelajar membolos untuk iklim setiap Jumat, dan baru saja menjadi Time's Person of The Year. Meski nampak baru, kepemimpinan perempuan dalam menjaga alam, bukanlah hal baru.
Pada 1981, Perdana Menteri India Indira Gandhi mendeklarasi moratorium industri kayu (logging) selama 15 tahun di Hutan Himalaya di wilayah Uttar Pradesh. Kebijakan ini diputuskan salah satunya setelah gerakan perempuan yang dikenal dengan nama Chipko movement, memeluk pohon untuk melindungi hutan dari deforestasi, meletakkan tubuh mereka dalam bahaya di antara pepohonan dan alat berat.
Di Vermont, New England, sebuah pengembang merencanakan pembangunan 86 kondominium di kota Brattleboro dengan mengeruk lahan basah dan ruang terbuka di wilayah tersebut dan menyisakan tanah-tanah gundul. Pada perayaan Hari Ibu tahun 1987, sekumpulan perempuan merayakan Hari Ibu dengan cara menanami tanah-tanah gundul tersebut. Mereka menjaga wilayah tersebut dan melarang pihak pengembang untuk melintas apabila tidak ada perundingan. Tanah-tanah gundul dialihfungsikan menjadi kebun milik komunitas. Para perempuan Brattleboro akhirnya menang.
Di Indonesia, kita semua mendengar gerakan Ibu-Ibu Kendeng yang membelenggu dirinya menggunakan semen di depan Istana Negara pada 2016, setelah membunyikan lesung tanda bahaya setahun sebelumnya di lokasi yang sama, dan lebih dari dua tahun mendirikan tenda perlawanan di Rembang. Sebelum itu, di Pulau Bangka Sulawesi Utara, mama-mama berada di garda terdepan untuk menyelamatkan laut mereka dari pertambangan yang merusak pulau dan laut mereka.
Tidak kalah lagi, perjuangan perempuan adat dari Padumaan-Sipituhuta yang berusaha menyelamatkan Hutan Kemenyan di Sumatera Utara dari perusahaan kertas sejak tahun 1990-an. Perempuan Adat Padumaan-Sipituhuta menang ketika tiga tahun lalu Presiden Joko Widodo menetapkan Hutan Kemenyan sebagai Hutan Adat. Di Nusa Tenggara Timur, untuk memprotes pertambangan marmer yang merusak hutan, Mama Aleta Baun menggalang 150 wanita menenun di depan pintu tambang dan menduduki Bukit Anjaf dan Bukit Nausus di kaki gunung selama satu tahun. Sedangkan kaum pria mengasuh anak, memasak dan mengirimkan makanan pada para wanita yang menenun menghalangi penambang.
Aksi-aksi ini menunjukan bahwa gerakan perempuan dalam menyelamatkan lingkungan sudah jamak dilakukan dan bahkan bisa lebih radikal dibandingkan gerakan lingkungan pada umumnya. Peran perempuan di masyarakat sering kali sangat dekat dalam berinteraksi dengan bumi. Perempuan tak jarang berperan sebagai pemegang kunci penting terkait kearifan lokal interaksi manusia dengan alam.
Mengapa para perempuan tersebut berusaha dengan begitu gigih menjaga bumi?
Tentang krisis iklim
Bumi ini, beserta 7,7 miliar manusia, dan 1,8 miliar spesies lain di dalamnya, sedang menghadapi situasi yang pelik lagi gawat; situasi yang belum pernah kita hadapi sebelumnya.
Para peneliti iklim di seluruh dunia menemukan bahwa kita hanya punya waktu kurang dari sebelas tahun untuk berbuat sesuatu . Dalam waktu sebelas tahun ini, 195 negara di dunia harus berbuat sesuatu untuk membatasi kenaikan suhu bumi sebanyak 1,5’C dan menghindari kiamat iklim.
Apa yang terjadi jika kepala negara, pembuat kebijakan, dan para pemain besar di industri tidak berbuat cukup banyak untuk menghindari krisis iklim?
Jika suhu bumi meningkat 2’C lebih panas dari saat ini, Bumi akan memiliki 50% lebih sedikit air minum dari yang kita miliki saat ini, padahal dalam keadaan seperti sekarang saja satu dari tiga orang di dunia tidak memiliki akses terhadap air bersih. Akses terhadap pangan juga akan semakin terbatas, kebakaran hutan dan lahan semakin kerap terjadi, dan kemiskinan juga kelaparan akibat krisis iklim akan semakin banyak terjadi.
Dalam perhitungan kenaikan suhu 2’C, Bumi akan kehilangan banyak jenis serangga, yang artinya pembuahan bagi tanaman akan semakin sulit terjadi secara alami. Selain itu 90% terumbu karang juga akan kesulitan hidup lantaran air laut yang semakin panas. Pada saat yang sama, permukaan air laut akan meningkat hingga 10 cm dan membuat sekitar 10 juta orang kehilangan tempat tinggal. Nelayan juga akan kehilangan tiga juta ton tangkapan. Hal ini belum menghitung kerugian turunan, misalnya akibat kebakaran hutan, badai yang akan semakin kerap terjadi, atau bahkan perang akibat krisis iklim sebagaimana terjadi di Syria.
Dengan segala kepelikan tersebut, seolah-olah hubungan antara krisis iklim dan anak-anak perempuan adalah kematian, alih-alih kehidupan.
Perempuan memiliki risiko lebih tinggi dan beban lebih besar terhadap dampak perubahan iklim dalam situasi kemiskinan, sedangkan mayoritas orang miskin di dunia adalah perempuan. Partisipasi perempuan yang tidak merata dalam proses pengambilan keputusan dan pasar tenaga kerja menambah ketidaksetaraan dan seringkali mencegah perempuan untuk berkontribusi penuh dalam perencanaan, pembuatan kebijakan, dan implementasi terkait iklim.
Padahal, tak seharusnya demikian. Manusia harus mencari cara hidup yang lebih baik untuk menghindari semua ini, agar cerita-cerita ini dapat berhenti sampai di sini saja, sekarang juga.
Pemberdayaan Perempuan
Di negara-negara berpenghasilan rendah, perempuan adalah penghasil 60%-80% pangan, dengan lahan kurang dari dua hektar. Para perempuan petani kecil ini bekerja sama kerasnya, atau bahkan lebih keras dari para petani laki-laki, tetapi, sistem sosial yang tak adil, menyebabkan mereka menghasilkan produksi lebih sedikit dari laki-laki.
Jika kita mencari solusi atas ketimpangan ini, maka dunia ini akan melihat peningkatan produksi pangan 20%-30% lebih banyak dengan jumlah lahan yang sama. Misalnya saja dengan memberikan akses terhadap kredit bagi perempuan. Di negara seperti Indonesia, kebanyakan bank enggan menerima pengajuan kredit dari perempuan apabila tidak ada keterangan persetujuan dari suami.
Jika hal tersebut dapat dilakukan dengan efektif, artinya kita juga dapat menghindarkan pembukaan lahan hutan bagi pertanian dan pangan. Dengan demikian, kita dapat berhemat dan menghindari polusi dua miliar ton karbon hingga 2050.
Kepemimpinan perempuan, seperti yang ditunjukkan Jacinda Ardern dalam mendorong ‘hukum zero carbon’ di Selandia Baru menunjukkan pentingnya partisipasi perempuan di tingkat politik. Jika kebijakan atau proyek dilaksanakan tanpa partisipasi bermakna perempuan, hal itu dapat meningkatkan ketidaksetaraan yang ada dan mengurangi efektivitas.
Apalagi, satu hal paling sederhana yang dapat dilakukan oleh para pengambil keputusan adalah memastikan akses terhadap pendidikan formal dan pendidikan seks untuk anak dan remaja perempuan.
Pendidikan yang lebih baik berarti kesehatan yang lebih baik bagi perempuan dan anak-anak, stabilitas keuangan yang lebih baik, kemampuan yang lebih baik dalam mengambil keputusan, juga emisi yang lebih rendah. Pendidikan yang lebih tinggi membantu remaja perempuan untuk menunda perkawinan, menunda kehamilan, dan memiliki lebih sedikit anak.
Lalu, akses terhadap pendidikan seks dan kesehatan reproduktif berkualitas tinggi yang bersifat sukarela. Ada 245 juta perempuan di negara-negara Global Selatan yang ingin memiliki kontrol terhadap perencanaan keluarga, namun tidak memiliki akses terhadap alat kontrasepsi. Hal ini semakin meningkatkan angka kehamilan tak terencana.
Jika kita dapat menutup kesenjangan dalam kesehatan reproduksi dan pendidikan formal, maka penduduk bumi akan berkurang sebanyak satu miliar, dan menghindari 120 miliar ton emisi, sebagaimana dikalkulasi oleh Project Drawdown.
Tentu saja tujuan utama pendidikan formal dan kesehatan reproduksi adalah untuk memenuhi kebutuhanperempuan, termasuk kesehatan, dan meningkatkan keadilan gender. Populasi yang lebih rendah dan menghindari emisi karbon hanyalah efek samping.
Kedua hak ini akan menjadi salah satu penentu seberapa banyak manusia yang ada di bumi ini. Tentu saja hal ini dapat diperdebatkan karena dalam banyak kasus, tempat tinggal lebih mempengaruhi emisi dibandingkan jumlah populasi. Misalnya saja, emisi satu orang yang tinggal di New York, Amerika Serikat, adalah lebih tinggi dari pada emisi satu keluarga yang terdiri dari empat individu di Bangladesh. Sebab itu, tentu menutup kesenjangan perlu juga dilakukan di seluruh dunia, termasuk negara global utara seperti Amerika, mengingat 45% dari angka kehamilan di amerika adalah kehamilan yang tidak disengaja/ tidak terencana.
Jadi?
Setelah segala penjelasan ini, tentu saja perempuan, remaja, dan anak perempuan tidaklah bertanggung jawab untuk memperbaiki segala-galanya. Meski, sepertinya, perempuan juga yang akan menjadi penyelamat bumi ;)
Aktivisme & Ekofeminisme
Di seluruh dunia, remaja perempuan tengah naik daun menjadi pemimpin berbagai gerakan, mulai dari Emma Gonzales yang memimpin March for Our Lives melawan rezim senjata paling berpengaruh di Amerika Serikat, hingga Greta Thurnberg yang mengajak jutaan pelajar membolos untuk iklim setiap Jumat, dan baru saja menjadi Time's Person of The Year. Meski nampak baru, kepemimpinan perempuan dalam menjaga alam, bukanlah hal baru.
Pada 1981, Perdana Menteri India Indira Gandhi mendeklarasi moratorium industri kayu (logging) selama 15 tahun di Hutan Himalaya di wilayah Uttar Pradesh. Kebijakan ini diputuskan salah satunya setelah gerakan perempuan yang dikenal dengan nama Chipko movement, memeluk pohon untuk melindungi hutan dari deforestasi, meletakkan tubuh mereka dalam bahaya di antara pepohonan dan alat berat.
Di Vermont, New England, sebuah pengembang merencanakan pembangunan 86 kondominium di kota Brattleboro dengan mengeruk lahan basah dan ruang terbuka di wilayah tersebut dan menyisakan tanah-tanah gundul. Pada perayaan Hari Ibu tahun 1987, sekumpulan perempuan merayakan Hari Ibu dengan cara menanami tanah-tanah gundul tersebut. Mereka menjaga wilayah tersebut dan melarang pihak pengembang untuk melintas apabila tidak ada perundingan. Tanah-tanah gundul dialihfungsikan menjadi kebun milik komunitas. Para perempuan Brattleboro akhirnya menang.
Di Indonesia, kita semua mendengar gerakan Ibu-Ibu Kendeng yang membelenggu dirinya menggunakan semen di depan Istana Negara pada 2016, setelah membunyikan lesung tanda bahaya setahun sebelumnya di lokasi yang sama, dan lebih dari dua tahun mendirikan tenda perlawanan di Rembang. Sebelum itu, di Pulau Bangka Sulawesi Utara, mama-mama berada di garda terdepan untuk menyelamatkan laut mereka dari pertambangan yang merusak pulau dan laut mereka.
Tidak kalah lagi, perjuangan perempuan adat dari Padumaan-Sipituhuta yang berusaha menyelamatkan Hutan Kemenyan di Sumatera Utara dari perusahaan kertas sejak tahun 1990-an. Perempuan Adat Padumaan-Sipituhuta menang ketika tiga tahun lalu Presiden Joko Widodo menetapkan Hutan Kemenyan sebagai Hutan Adat. Di Nusa Tenggara Timur, untuk memprotes pertambangan marmer yang merusak hutan, Mama Aleta Baun menggalang 150 wanita menenun di depan pintu tambang dan menduduki Bukit Anjaf dan Bukit Nausus di kaki gunung selama satu tahun. Sedangkan kaum pria mengasuh anak, memasak dan mengirimkan makanan pada para wanita yang menenun menghalangi penambang.
Aksi-aksi ini menunjukan bahwa gerakan perempuan dalam menyelamatkan lingkungan sudah jamak dilakukan dan bahkan bisa lebih radikal dibandingkan gerakan lingkungan pada umumnya. Peran perempuan di masyarakat sering kali sangat dekat dalam berinteraksi dengan bumi. Perempuan tak jarang berperan sebagai pemegang kunci penting terkait kearifan lokal interaksi manusia dengan alam.
Mengapa para perempuan tersebut berusaha dengan begitu gigih menjaga bumi?
Tentang krisis iklim
Bumi ini, beserta 7,7 miliar manusia, dan 1,8 miliar spesies lain di dalamnya, sedang menghadapi situasi yang pelik lagi gawat; situasi yang belum pernah kita hadapi sebelumnya.
Para peneliti iklim di seluruh dunia menemukan bahwa kita hanya punya waktu kurang dari sebelas tahun untuk berbuat sesuatu . Dalam waktu sebelas tahun ini, 195 negara di dunia harus berbuat sesuatu untuk membatasi kenaikan suhu bumi sebanyak 1,5’C dan menghindari kiamat iklim.
Apa yang terjadi jika kepala negara, pembuat kebijakan, dan para pemain besar di industri tidak berbuat cukup banyak untuk menghindari krisis iklim?
Jika suhu bumi meningkat 2’C lebih panas dari saat ini, Bumi akan memiliki 50% lebih sedikit air minum dari yang kita miliki saat ini, padahal dalam keadaan seperti sekarang saja satu dari tiga orang di dunia tidak memiliki akses terhadap air bersih. Akses terhadap pangan juga akan semakin terbatas, kebakaran hutan dan lahan semakin kerap terjadi, dan kemiskinan juga kelaparan akibat krisis iklim akan semakin banyak terjadi.
Dalam perhitungan kenaikan suhu 2’C, Bumi akan kehilangan banyak jenis serangga, yang artinya pembuahan bagi tanaman akan semakin sulit terjadi secara alami. Selain itu 90% terumbu karang juga akan kesulitan hidup lantaran air laut yang semakin panas. Pada saat yang sama, permukaan air laut akan meningkat hingga 10 cm dan membuat sekitar 10 juta orang kehilangan tempat tinggal. Nelayan juga akan kehilangan tiga juta ton tangkapan. Hal ini belum menghitung kerugian turunan, misalnya akibat kebakaran hutan, badai yang akan semakin kerap terjadi, atau bahkan perang akibat krisis iklim sebagaimana terjadi di Syria.
Dengan segala kepelikan tersebut, seolah-olah hubungan antara krisis iklim dan anak-anak perempuan adalah kematian, alih-alih kehidupan.
Perempuan memiliki risiko lebih tinggi dan beban lebih besar terhadap dampak perubahan iklim dalam situasi kemiskinan, sedangkan mayoritas orang miskin di dunia adalah perempuan. Partisipasi perempuan yang tidak merata dalam proses pengambilan keputusan dan pasar tenaga kerja menambah ketidaksetaraan dan seringkali mencegah perempuan untuk berkontribusi penuh dalam perencanaan, pembuatan kebijakan, dan implementasi terkait iklim.
Padahal, tak seharusnya demikian. Manusia harus mencari cara hidup yang lebih baik untuk menghindari semua ini, agar cerita-cerita ini dapat berhenti sampai di sini saja, sekarang juga.
Pemberdayaan Perempuan
Di negara-negara berpenghasilan rendah, perempuan adalah penghasil 60%-80% pangan, dengan lahan kurang dari dua hektar. Para perempuan petani kecil ini bekerja sama kerasnya, atau bahkan lebih keras dari para petani laki-laki, tetapi, sistem sosial yang tak adil, menyebabkan mereka menghasilkan produksi lebih sedikit dari laki-laki.
Jika kita mencari solusi atas ketimpangan ini, maka dunia ini akan melihat peningkatan produksi pangan 20%-30% lebih banyak dengan jumlah lahan yang sama. Misalnya saja dengan memberikan akses terhadap kredit bagi perempuan. Di negara seperti Indonesia, kebanyakan bank enggan menerima pengajuan kredit dari perempuan apabila tidak ada keterangan persetujuan dari suami.
Jika hal tersebut dapat dilakukan dengan efektif, artinya kita juga dapat menghindarkan pembukaan lahan hutan bagi pertanian dan pangan. Dengan demikian, kita dapat berhemat dan menghindari polusi dua miliar ton karbon hingga 2050.
Kepemimpinan perempuan, seperti yang ditunjukkan Jacinda Ardern dalam mendorong ‘hukum zero carbon’ di Selandia Baru menunjukkan pentingnya partisipasi perempuan di tingkat politik. Jika kebijakan atau proyek dilaksanakan tanpa partisipasi bermakna perempuan, hal itu dapat meningkatkan ketidaksetaraan yang ada dan mengurangi efektivitas.
Apalagi, satu hal paling sederhana yang dapat dilakukan oleh para pengambil keputusan adalah memastikan akses terhadap pendidikan formal dan pendidikan seks untuk anak dan remaja perempuan.
Pendidikan yang lebih baik berarti kesehatan yang lebih baik bagi perempuan dan anak-anak, stabilitas keuangan yang lebih baik, kemampuan yang lebih baik dalam mengambil keputusan, juga emisi yang lebih rendah. Pendidikan yang lebih tinggi membantu remaja perempuan untuk menunda perkawinan, menunda kehamilan, dan memiliki lebih sedikit anak.
Lalu, akses terhadap pendidikan seks dan kesehatan reproduktif berkualitas tinggi yang bersifat sukarela. Ada 245 juta perempuan di negara-negara Global Selatan yang ingin memiliki kontrol terhadap perencanaan keluarga, namun tidak memiliki akses terhadap alat kontrasepsi. Hal ini semakin meningkatkan angka kehamilan tak terencana.
Jika kita dapat menutup kesenjangan dalam kesehatan reproduksi dan pendidikan formal, maka penduduk bumi akan berkurang sebanyak satu miliar, dan menghindari 120 miliar ton emisi, sebagaimana dikalkulasi oleh Project Drawdown.
Tentu saja tujuan utama pendidikan formal dan kesehatan reproduksi adalah untuk memenuhi kebutuhanperempuan, termasuk kesehatan, dan meningkatkan keadilan gender. Populasi yang lebih rendah dan menghindari emisi karbon hanyalah efek samping.
Kedua hak ini akan menjadi salah satu penentu seberapa banyak manusia yang ada di bumi ini. Tentu saja hal ini dapat diperdebatkan karena dalam banyak kasus, tempat tinggal lebih mempengaruhi emisi dibandingkan jumlah populasi. Misalnya saja, emisi satu orang yang tinggal di New York, Amerika Serikat, adalah lebih tinggi dari pada emisi satu keluarga yang terdiri dari empat individu di Bangladesh. Sebab itu, tentu menutup kesenjangan perlu juga dilakukan di seluruh dunia, termasuk negara global utara seperti Amerika, mengingat 45% dari angka kehamilan di amerika adalah kehamilan yang tidak disengaja/ tidak terencana.
Jadi?
Setelah segala penjelasan ini, tentu saja perempuan, remaja, dan anak perempuan tidaklah bertanggung jawab untuk memperbaiki segala-galanya. Meski, sepertinya, perempuan juga yang akan menjadi penyelamat bumi ;)
Comments
Post a Comment