Bagaimana isu lingkungan, gambut khususnya, dapat meminjam seni dan sastra untuk berkomunikasi dan mengambil hati pembaca
Bagaimana seni dan sastra mengorientasi pembaca dalam memaknai, menggunakan, atau bahkan memahami konflik terkait alam, lingkungan, dan keberlangsungan (sustainability)? Bagaimana hubungan kita—sebagai individu dan sebagai bagian dari masyarakat—dengan hutan, air, lingkungan, atau gambut dibentuk oleh tradisi, budaya, seni, dan literatur, alih-alih oleh ilmu pengetahuan?
Bagaimana teks-teks kesusastraan mengorientasi cara pandang kita terhadap bumi, dan membantu pembaca untuk melihat lebih jauh dari kemampuan ilmu pengetahuan untuk mendefinisi alam dan lingkungan; hingga akhirnya dapat membuat isu-isu lingkungan dan krisis iklim menjadi semakin relevan dalam kehidupan sehari-hari?
Berbeda dengan sebagian besar produk ilmiah dalam masa post truth ini, sastra bisa jadi memiliki dampak emosional yang lebih mendalam bagi pembaca individu, sekaligus juga mempengaruhi tradisi dan budaya dalam masyarakat. Dalam masa post-truth, produk dan informasi ilmiah kerap ditolak dengan alasan emosional dan kebiasaan. Tak jarang pembaca pun tidak merasa cukup kapabel untuk memahami isu-isu sulit yang ditampilkan dalam ranah keilmuan.
Sementara, sastra memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pandangan (world view) kita, atau bahkan mempengaruhi tren di masyarakat. 1984 karya George Orwell 1984 merupakan contoh nyata bagaimana sebuah karya fiksi dapat menciptakan kecemasan tentang big brother yang dapat mengambil alih kendali privasi individu (Sharma, 2017).
Dengan ramuan yang tepat, kita tentu dapat mencoba hal yang sama dengan lahan gambut, dan mungkin juga masalah lingkungan lainnya. Sudah saatnya menyebarluaskan isu dan persoalan seputar gambut melalui seni dan sastra, cerita, puisi, lagu pengantar tidur dan buku anak-anak, lukisan, juga film.
Dengan menggunakan seni dan sastra, kita dapat menyentuh emosi manusia. Dengan menyentuh aspek emosional, kita dapat menciptakan jalan pintas mental (affect heuristic) dalam mengambil keputusan, sehingga sampai pada kesimpulan bahwa gambut adalah penting dan harus dilindungi.
Tentang sastra lingkungan
Sastra dan lingkungan bukanlah kombinasi yang sering terpikirkan. Isu lingkungan di media massa dan jurnal popular lebih sering berkelindan dengan ilmu pengetahuan, politik, dan pembuatan kebijakan dibandingkan dengan teks-teks sastra. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa minat dan gerakan terkait lingkungan justru lebih banyak ditumbuhkan dari cerita-cerita fiksi Dr. Seuss, film dan serial—mulai dari Avatar hingga Wall-E, maupun sajak dan syair, alih-alih ditumbuhkan oleh laporan-laporan panjang IPCCC maupun karya ilmiah lain.
Sastra dengan tema lingkungan bukanlah barang baru. Penulis Amerika, Henry David Thoreau yang dikenal sebagai seorang naturalis, penyair, transendentalis, adalah juga bapak sastra lingkungan. Dalam salah satu narasi non-fiksinya yang paling terkenal, Life in the Woods (1854), Thoreau meragukan kehidupan dan ideologi yang terlalu berpusat pada manusia (human-centrism). Menurut Kinoshita dan Watanabe (2010), Lulusan Harvard ini juga meragukan teori-teori ekonomi Adam Smith. Thoreau berkesimpulan bahwa tiada yang lebih berharga dari alam. Alam telah beradaptasi menjadi kelemahan, sekaligus kekuatan kita; tulisnya dalam kesendirian di hutan.
Di Jepang, sastra bertema lingkungan telah muncul sejak abad ke-17. Bosho Matsuo, penyair Haiku paling mumpuni, menulis karyanya yang paling diakui dunia, Oku no hoso michi, pada 1689. Karya ini diterjemahkan menjadi The Narrow Road to the deep north pada 1702. Haiku-haiku dalam karya ini menunjukan perspektif Matsuo tentang manusia dan lingkungan dengan sangat baik. Ia mengungkapkan, manusia akan datang dan pergi, peradaban pada akhirnya akan memudar, namun alam akan terus berkembang meski manusia tak ada lagi. (Kinoshita & Watanabe, 2010)
Di Indonesia, para penyair terkenal pun tak lepas dari latar belakang yang terkait dengan alam. Tengok saja sajak-sajak Yamin ataupun Sutan Takdir Alisjahbana, hingga sajak-sajak kekinian dari Aan Mansyur. Meski tak berfokus pada tema lingkungan, penyair kerap menggunakan narasi alam dalam sajak-sajaknya.
Sastra bertemakan alam memang lebih mudah ditemukan dalam bentuk sajak, tetapi bukan berarti tiada prosa ataupun novel yang bernafaskan lingkungan. Ahmad Thohari, misalnya, merupakan salah satu penulis yang paling konsisten mengedepankan harmonisasi dan hubungan baik dengan alam (Mahayana, 2010). Hal ini terlihat dalam novel Kubah (1980), trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (1982, 1985, 1986), Di Kaki Bukit Cibalak (1986), Lingkar Tanah lingkar Air (1993), hingga Bekisar Merah (1993).
Tokoh-tokoh utama Thohari selalu ditampilkan sebagai manusia yang menjunjung keharmonisan dengan alam dan mahluk lain. Thohari seperti menekankan bahwa tanpa harmonisasi manusia hanya akan mengeksploitasi alam dan sewenang-wenang terhadap lingkungan dan alam.
Satu hal yang tak kalah penting dari sastra tertulis adalah karya-karya lisan dan cerita rakyat. Tradisi lisan memang kerap tak terarsip dengan baik. Bangsa ini agaknya telah terbiasa mewarisi petuah, cerita, dan peristiwa sejarah dalam tradisi ingatan dengan sedikit saja ceceran catatan. Sayangnya, mengutip Pramoedya Ananta Toer, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Apa-apa yang tak tertulis memang kerap hilang bersama angin. Sehingga sastra lisan kerap tak terarsip dengan baik.
Kita patut curiga narasi-narasi gambut masuk dalam tradisi ingatan dengan ceceran catatan yang tak tersimpan rapi. Prasasti Talang Tuwo yang berasal dari abad ke-tujuh misalnya, menyebut keberadaan tanaman sagu, tanaman khas lahan gambut. Namun, tak banyak catatan lain ditemukan.
Di Palembang maupun Jambi, gambut juga sering disebut ayek itam lantaran airnya yang berwarna hitam, khas ekosistem gambut. Sebab itu bukan tidak mungkin cerita rakyat melayu yang menyebutkan air hitam, atau sungai hitam, sesungguhnya mereferensi pada lahan gambut dengan air khasnya yang berwarna hitam, misalnya pada cerita rakyat Bengkulu Singaran Pati Raja Sungai Hitam.
Adapun, upaya terkini untuk mengarusutamakan gambut dalam seni dan sastra dilakukan oleh Teater Potlot, Palembang, yang mulai menampilkan lakon Rawa Gambut sejak 2017.
Tentang Gambut
Indonesia memiliki gambut lahan gambut tropis terluas di dunia. Namun, kita sendiri belum bersepakat angka luasan gambut di nusantara. Penelitian Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian dan Balai Penelitian Tanah pada 2011 memperkirakan bahwa lahan gambut di Indonesia mencakup 14,9 juta hektar, hampir sebesar Kerajaan Kamboja. Namun, pada 1992, seorang peneliti dari Pusat Penelitian Tanah Bogor mengungkapkan Indonesia memiliki sekitar 15,4 juta hektar lahan gambut, sedangkan pada 2005, Wetlands International memperkirakan terdapat sekitar 20,6 juta hektar lahan gambut di Indonesia.
Lahan gambut bisa jadi jauh dari pandangan, jauh dari pikiran, dan belum berhasil memenangkan hati rakyat untuk perlindungan.
Indonesia diperkirakan memiliki sekitar 36% dari lahan gambut tropis dunia yang menyimpan karbon hingga 20 kali lebih banyak daripada tanah mineral non-gambut. Lahan gambut tropis mampu menyimpan 2.600 ton karbon per hektar (tc / ha), jauh lebih tinggi dibandingkan dengan gabungan simpanan karbon pada pohon, serasah daun, akar dan tanah di hutan terbesar di dunia, Amazon, di Brazil yang masing-masing menyimpan 400 tc / ha.
Selain penangkapan karbon, lahan gambut tropis juga menampung keanekaragaman hayati yang paling beragam. Endapan gambut besar yang terbentuk di bawah hutan hujan tropis yang kaya, telah menjadi rumah bagi banyak spesies terancam sedunia, termasuk 45% mamalia dan 33% spesies burung di bawah status daftar merah IUCN yang hampir terancam atau lebih tinggi.
Sebuah penelitian khusus di daerah rawa gambut tropis Sebangau saja menemukan kenakekaragaman hayati yang luar biasa. Di antaranya ada 215 jenis pohon, 92 flora non-pohon, 73 varietas semut, 66 kupu-kupu berbeda, 297 berbagai arakhnida, 41 jenis capung, 55 spesies ikan, 11 amfibi berbeda, kisaran 46 reptil, 172 burung berbeda, dan 65 taksa mamalia. Daftar ini termasuk 46 spesies yang dianggap terancam oleh IUCN, 59 spesies yang dilindungi secara hukum di Indonesia, dan 22 spesies vertebrata yang endemik di Kalimantan (Husson et. al., 2018).
Selain itu, lahan gambut tropis juga menyediakan jasa ekosistem penting yang bermanfaat bagi manusia, termasuk pencegahan banjir dan kebakaran, penyimpanan dan penyimpanan karbon, penyediaan hasil hutan kayu dan non-kayu, serta kesejahteraan budaya dan spiritual.
Namun, lahan gambut tropis adalah salah satu daerah yang paling terancam, terutama di Asia Tenggara lantaran praktik pertanian dan industri yang tidak berkelanjutan. Mengeringkan lahan gambut sering dianggap sebagai cara termudah untuk menyediakan lahan untuk budidaya. Lahan gambut kering yang tidak terbakar saja dapat melepaskan karbon tersimpan (2.600 tc/ha), ditambah lagi ketika terbakar; inilah bagaimana Indonesia menjadi penghasil emisi karbon terbesar ke-4 di dunia pada 2015.
Membasahi gambut saja belum cukup. Pembasahan gambut yang tidak tepat hanya akan menghasilkan rawa basah yang tidak cukup untuk memberikan layanan ekosistem yang baik. Kita membutuhkan lahan gambut yang kaya dan berkualitas. Lahan gambut semacam ini hanya dapat dicapai jika lahan gambut tidak terganggu, meski dangkal sekalipun (beberapa peraturan yanga dad hanya melindungi gambut dalam). Karena semua lahan gambut terhubung, semua ekosistem terhubung.
Sebagaimana konsep Karma Phala dalam Hindu Bali, setiap tindakan akan memiliki konsekuensi yang setara dalam kekuatan dan bentuk yang sama. Jika kita melindungi gambut, maka gambut akan memberi manusia segala kebaikan, sementara perusakan atas gambut akan merusak hidup manusia itu sendiri.
Apakah bencana asap selama dua dekade belakangan yang bertanggung jawab atas 100.000 kematian dini akibat asap (berdasarkan penelitian Universitas Harvard dan Columbia); kerugian materi hingga Rp221 triliun selama empat bulan kebakaran (menurut Bank Dunia); hingga kehilangan keanekaragaman hayati, telah menjadi karma kita yang tak dapat menjaga keseimbangan lahan gambut? Bagaimana kita dapat mengubah karma ini?
Bagaimana teks-teks kesusastraan mengorientasi cara pandang kita terhadap bumi, dan membantu pembaca untuk melihat lebih jauh dari kemampuan ilmu pengetahuan untuk mendefinisi alam dan lingkungan; hingga akhirnya dapat membuat isu-isu lingkungan dan krisis iklim menjadi semakin relevan dalam kehidupan sehari-hari?
Berbeda dengan sebagian besar produk ilmiah dalam masa post truth ini, sastra bisa jadi memiliki dampak emosional yang lebih mendalam bagi pembaca individu, sekaligus juga mempengaruhi tradisi dan budaya dalam masyarakat. Dalam masa post-truth, produk dan informasi ilmiah kerap ditolak dengan alasan emosional dan kebiasaan. Tak jarang pembaca pun tidak merasa cukup kapabel untuk memahami isu-isu sulit yang ditampilkan dalam ranah keilmuan.
Sementara, sastra memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pandangan (world view) kita, atau bahkan mempengaruhi tren di masyarakat. 1984 karya George Orwell 1984 merupakan contoh nyata bagaimana sebuah karya fiksi dapat menciptakan kecemasan tentang big brother yang dapat mengambil alih kendali privasi individu (Sharma, 2017).
Dengan ramuan yang tepat, kita tentu dapat mencoba hal yang sama dengan lahan gambut, dan mungkin juga masalah lingkungan lainnya. Sudah saatnya menyebarluaskan isu dan persoalan seputar gambut melalui seni dan sastra, cerita, puisi, lagu pengantar tidur dan buku anak-anak, lukisan, juga film.
Dengan menggunakan seni dan sastra, kita dapat menyentuh emosi manusia. Dengan menyentuh aspek emosional, kita dapat menciptakan jalan pintas mental (affect heuristic) dalam mengambil keputusan, sehingga sampai pada kesimpulan bahwa gambut adalah penting dan harus dilindungi.
Tentang sastra lingkungan
Sastra dan lingkungan bukanlah kombinasi yang sering terpikirkan. Isu lingkungan di media massa dan jurnal popular lebih sering berkelindan dengan ilmu pengetahuan, politik, dan pembuatan kebijakan dibandingkan dengan teks-teks sastra. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa minat dan gerakan terkait lingkungan justru lebih banyak ditumbuhkan dari cerita-cerita fiksi Dr. Seuss, film dan serial—mulai dari Avatar hingga Wall-E, maupun sajak dan syair, alih-alih ditumbuhkan oleh laporan-laporan panjang IPCCC maupun karya ilmiah lain.
Sastra dengan tema lingkungan bukanlah barang baru. Penulis Amerika, Henry David Thoreau yang dikenal sebagai seorang naturalis, penyair, transendentalis, adalah juga bapak sastra lingkungan. Dalam salah satu narasi non-fiksinya yang paling terkenal, Life in the Woods (1854), Thoreau meragukan kehidupan dan ideologi yang terlalu berpusat pada manusia (human-centrism). Menurut Kinoshita dan Watanabe (2010), Lulusan Harvard ini juga meragukan teori-teori ekonomi Adam Smith. Thoreau berkesimpulan bahwa tiada yang lebih berharga dari alam. Alam telah beradaptasi menjadi kelemahan, sekaligus kekuatan kita; tulisnya dalam kesendirian di hutan.
Di Jepang, sastra bertema lingkungan telah muncul sejak abad ke-17. Bosho Matsuo, penyair Haiku paling mumpuni, menulis karyanya yang paling diakui dunia, Oku no hoso michi, pada 1689. Karya ini diterjemahkan menjadi The Narrow Road to the deep north pada 1702. Haiku-haiku dalam karya ini menunjukan perspektif Matsuo tentang manusia dan lingkungan dengan sangat baik. Ia mengungkapkan, manusia akan datang dan pergi, peradaban pada akhirnya akan memudar, namun alam akan terus berkembang meski manusia tak ada lagi. (Kinoshita & Watanabe, 2010)
Di Indonesia, para penyair terkenal pun tak lepas dari latar belakang yang terkait dengan alam. Tengok saja sajak-sajak Yamin ataupun Sutan Takdir Alisjahbana, hingga sajak-sajak kekinian dari Aan Mansyur. Meski tak berfokus pada tema lingkungan, penyair kerap menggunakan narasi alam dalam sajak-sajaknya.
Sastra bertemakan alam memang lebih mudah ditemukan dalam bentuk sajak, tetapi bukan berarti tiada prosa ataupun novel yang bernafaskan lingkungan. Ahmad Thohari, misalnya, merupakan salah satu penulis yang paling konsisten mengedepankan harmonisasi dan hubungan baik dengan alam (Mahayana, 2010). Hal ini terlihat dalam novel Kubah (1980), trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (1982, 1985, 1986), Di Kaki Bukit Cibalak (1986), Lingkar Tanah lingkar Air (1993), hingga Bekisar Merah (1993).
Tokoh-tokoh utama Thohari selalu ditampilkan sebagai manusia yang menjunjung keharmonisan dengan alam dan mahluk lain. Thohari seperti menekankan bahwa tanpa harmonisasi manusia hanya akan mengeksploitasi alam dan sewenang-wenang terhadap lingkungan dan alam.
Satu hal yang tak kalah penting dari sastra tertulis adalah karya-karya lisan dan cerita rakyat. Tradisi lisan memang kerap tak terarsip dengan baik. Bangsa ini agaknya telah terbiasa mewarisi petuah, cerita, dan peristiwa sejarah dalam tradisi ingatan dengan sedikit saja ceceran catatan. Sayangnya, mengutip Pramoedya Ananta Toer, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Apa-apa yang tak tertulis memang kerap hilang bersama angin. Sehingga sastra lisan kerap tak terarsip dengan baik.
Kita patut curiga narasi-narasi gambut masuk dalam tradisi ingatan dengan ceceran catatan yang tak tersimpan rapi. Prasasti Talang Tuwo yang berasal dari abad ke-tujuh misalnya, menyebut keberadaan tanaman sagu, tanaman khas lahan gambut. Namun, tak banyak catatan lain ditemukan.
Di Palembang maupun Jambi, gambut juga sering disebut ayek itam lantaran airnya yang berwarna hitam, khas ekosistem gambut. Sebab itu bukan tidak mungkin cerita rakyat melayu yang menyebutkan air hitam, atau sungai hitam, sesungguhnya mereferensi pada lahan gambut dengan air khasnya yang berwarna hitam, misalnya pada cerita rakyat Bengkulu Singaran Pati Raja Sungai Hitam.
Adapun, upaya terkini untuk mengarusutamakan gambut dalam seni dan sastra dilakukan oleh Teater Potlot, Palembang, yang mulai menampilkan lakon Rawa Gambut sejak 2017.
Tentang Gambut
Indonesia memiliki gambut lahan gambut tropis terluas di dunia. Namun, kita sendiri belum bersepakat angka luasan gambut di nusantara. Penelitian Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian dan Balai Penelitian Tanah pada 2011 memperkirakan bahwa lahan gambut di Indonesia mencakup 14,9 juta hektar, hampir sebesar Kerajaan Kamboja. Namun, pada 1992, seorang peneliti dari Pusat Penelitian Tanah Bogor mengungkapkan Indonesia memiliki sekitar 15,4 juta hektar lahan gambut, sedangkan pada 2005, Wetlands International memperkirakan terdapat sekitar 20,6 juta hektar lahan gambut di Indonesia.
Lahan gambut bisa jadi jauh dari pandangan, jauh dari pikiran, dan belum berhasil memenangkan hati rakyat untuk perlindungan.
Indonesia diperkirakan memiliki sekitar 36% dari lahan gambut tropis dunia yang menyimpan karbon hingga 20 kali lebih banyak daripada tanah mineral non-gambut. Lahan gambut tropis mampu menyimpan 2.600 ton karbon per hektar (tc / ha), jauh lebih tinggi dibandingkan dengan gabungan simpanan karbon pada pohon, serasah daun, akar dan tanah di hutan terbesar di dunia, Amazon, di Brazil yang masing-masing menyimpan 400 tc / ha.
Selain penangkapan karbon, lahan gambut tropis juga menampung keanekaragaman hayati yang paling beragam. Endapan gambut besar yang terbentuk di bawah hutan hujan tropis yang kaya, telah menjadi rumah bagi banyak spesies terancam sedunia, termasuk 45% mamalia dan 33% spesies burung di bawah status daftar merah IUCN yang hampir terancam atau lebih tinggi.
Sebuah penelitian khusus di daerah rawa gambut tropis Sebangau saja menemukan kenakekaragaman hayati yang luar biasa. Di antaranya ada 215 jenis pohon, 92 flora non-pohon, 73 varietas semut, 66 kupu-kupu berbeda, 297 berbagai arakhnida, 41 jenis capung, 55 spesies ikan, 11 amfibi berbeda, kisaran 46 reptil, 172 burung berbeda, dan 65 taksa mamalia. Daftar ini termasuk 46 spesies yang dianggap terancam oleh IUCN, 59 spesies yang dilindungi secara hukum di Indonesia, dan 22 spesies vertebrata yang endemik di Kalimantan (Husson et. al., 2018).
Selain itu, lahan gambut tropis juga menyediakan jasa ekosistem penting yang bermanfaat bagi manusia, termasuk pencegahan banjir dan kebakaran, penyimpanan dan penyimpanan karbon, penyediaan hasil hutan kayu dan non-kayu, serta kesejahteraan budaya dan spiritual.
Namun, lahan gambut tropis adalah salah satu daerah yang paling terancam, terutama di Asia Tenggara lantaran praktik pertanian dan industri yang tidak berkelanjutan. Mengeringkan lahan gambut sering dianggap sebagai cara termudah untuk menyediakan lahan untuk budidaya. Lahan gambut kering yang tidak terbakar saja dapat melepaskan karbon tersimpan (2.600 tc/ha), ditambah lagi ketika terbakar; inilah bagaimana Indonesia menjadi penghasil emisi karbon terbesar ke-4 di dunia pada 2015.
Membasahi gambut saja belum cukup. Pembasahan gambut yang tidak tepat hanya akan menghasilkan rawa basah yang tidak cukup untuk memberikan layanan ekosistem yang baik. Kita membutuhkan lahan gambut yang kaya dan berkualitas. Lahan gambut semacam ini hanya dapat dicapai jika lahan gambut tidak terganggu, meski dangkal sekalipun (beberapa peraturan yanga dad hanya melindungi gambut dalam). Karena semua lahan gambut terhubung, semua ekosistem terhubung.
Sebagaimana konsep Karma Phala dalam Hindu Bali, setiap tindakan akan memiliki konsekuensi yang setara dalam kekuatan dan bentuk yang sama. Jika kita melindungi gambut, maka gambut akan memberi manusia segala kebaikan, sementara perusakan atas gambut akan merusak hidup manusia itu sendiri.
Apakah bencana asap selama dua dekade belakangan yang bertanggung jawab atas 100.000 kematian dini akibat asap (berdasarkan penelitian Universitas Harvard dan Columbia); kerugian materi hingga Rp221 triliun selama empat bulan kebakaran (menurut Bank Dunia); hingga kehilangan keanekaragaman hayati, telah menjadi karma kita yang tak dapat menjaga keseimbangan lahan gambut? Bagaimana kita dapat mengubah karma ini?
Comments
Post a Comment