keber-agama-an dan ke-beragam-an
Dua bulan lalu saya berpapasan dengan sekelompok anak lelaki, mungkin berusia sekitar 10-12 tahun, yang memanjati pohon sawo di sebuah lokasi wisata. Dugaan saya, mereka tinggal di sekitar komplek wisata tersebut. Ketika saya lewat, mereka tetiba bertanya, atau lebih tepatnya berteriak dari atas pohon, “mbak, agamanya apa, mbak?”
Saya terkejut, dan membalas, “Ngopo e le, kok tanya agama?”
Adik-adik pohon sawo keukeuh ingin tahu agama saya, “apa dulu, mbak, agamanya?”
Sambil berlalu sama menjawab, “wah, aku nda mau jawab kalo tanyanya begitu.”
Namun, mereka tidak berhenti dan malah berteriak mengulang-ulang pertanyaan yang sama, “Mbak, opo e mbak agamane? Mbok dijawab toh, Mbak. Mbak!”
Karena tak digubris, salah satu dari mereka akhirnya berteriak, “apa e, mbak? Kristen, ya? Kalo Kristen sama seperti teman saya!”
Ternyata mereka kesal karena tidak mendapat jawaban yang diinginkan, lalu melempari buah sawo ke arah saya.
Saya menceritakan tentang hal ini di sosial media. Ternyata, kemudian saya dapati bahwa cerita anak dan fundamentalisme semakin banyak muncul. Mulai dari anak TK yang pawai dengan membawa senjata mainan, hingga anak-anak yang percaya bahwa memusuhi perbedaan iman adalah wajar. Dari mana mereka mempelajari hal-hal demikian? Siapa yang bertanggung jawab?
Sebuah survei menjawab pertanyaan ini, ternyata enam dari sepuluh guru Indonesia ditemukan intoleran. Bayangkan, 60% dari guru kita tidak bisa menerima perbedaan. Bisa jadi ini adalah salah satu pemicu maraknya intoleransi di Indonesia. Namun, jangan-jangan kita sudah tidak toleran sejak dulu?
Sewaktu kecil, desa tempat tinggal nenek saya sangatlah homogen. Hampir seluruh penduduk desa berkerabat satu sama lain. Homogenitas ini bisa jadi bertanggung jawab atas permusuhan dan ketakutan atas perbedaan, yang berakar dari ketidakpahaman. Katanya, tak kenal maka tak sayang.
Hingga suatu ketika, ayah dan ibu saya pindah ke perumahan dan bertetanggakan seorang Tionghoa beragama Kristen. Salah satu kalimat yang sering saya dengar pada saat itu adalah “tetangga depan rumah itu Cina-Kristen, tetapi orangnya baik betul, paling rajin menolong.”
Kalimat ini terasa ganjil betul, kesannya seolah-olah kalau Tionghoa dan Kristen adalah perpaduan yang tidak baik, sampai harus pakai penegas “Cina-Kristen TAPI baik”. Saya tumbuh dengan premis bahwa tetangga di depan rumah saya adalah Tionghoa dan Kristen yang baik. Pemikiran yang sangat buruk, seolah-olah menjadi Tionghoa dan Kristen tidaklah baik. Padahal, apa salahnya kalau berkata "tetangga depan rumah itu baik betul, nggak perhitungan kalau menolong."
Dari segi positifnya, setidaknya keluarga kami keluar dari zona homogen dan akhirnya berinteraksi dengan perbedaan. Interaksi dengan perbedaan inilah yang bisa jadi mengurangi asumsi dan curiga terhadap Tionghoa dan Kristen.
Saat SD, salah seorang teman mempertanyakan agama sahabat saya, Kristi, katanya, “Dia kan Kristen.” Sampai sekarang, saya tak pernah tahu agamanya Kristi, tapi, kalaupun Kristen, memangnya mengapa? Kristi sebagai manusia dan teman lebih penting dari pada sekadar agamanya, Kristi lah yang mengajarkan saya hal paling fundamental sebagai orang Indonesia, yaitu bahwa mie goreng ternyata masaknya juga direbus.
Tak lama, saya pindah ke pulau lain. Teman main saya saat itu, Ria, adalah seorang anak perempuan yang keluarganya mengungsi dari Ambon. Rumahnya di gang seberang masjid. Kami suka main di sungai dan mencari serangga. Saya bertransformasi dari anak kota yang gampang jijik, jadi anak akhirnya berani memegang kepompong. Namun, ungkapan semacam, “dia itu Kristen, loh!” Masih juga terdengar.
Saya jadi menduga, sikap permusuhan terhadap iman lain memang sudah dipupuk sejak dahulu, tapi sosial media tidak ada pada masa itu, sehingga tidak ada wahana yang dapat digunakan untuk memperuncing perbedaan. Tidak ada cara untuk unfriend, block, atau mute mereka yang berbeda, sehingga manusia pada masa itu mau tidak mau harus terpapar perbedaan.
Kembali lagi ke adik-adik pohon sawo, bisa jadi mereka memiliki pengalaman yang sama, setiap kali berteman dengan kawannya yang Kristen itu, mungkin mereka mendengar suara-suara sumbang orang sekitar. Hingga akhirnya mereka kira wajar-wajar saja untuk bersikap demikian kepada saya. Padahal saya hanya mengenakan celana batik panjang dan kaos oblong tanpa atribut keagamaan apapun.
Sementara, sebagai minoritas di negara seberang, tak pernah ada yang menanyakan agama saya, atau memperlakukan buruk lantaran kepercayaan yang dianutnya. Bahkan saya tak pernah homesick karena suara orang mengaji dari corong-corong toa masjid, mirip dengan gaya merapal mantra di vihara dekat rumah. Jika ingin daging halal, saat di Amerika, beli saja daging kosher di toko-toko Yahudi, sementara di Kamboja, beli saja di supermarket Jepang. Bahkan cara merapal mantra dengan menggunakan mala beads, mirip betul dengan penggunaan tasbih.
Beberapa kali saya diminta mengisi kelas atau menjadi pemantik diskusi mengenai keberagaman. Dalam banyak kesempatan saya selalu katakan Indonesia memang memiliki populasi muslim terbesar di dunia, namun kami tidak sama dengan Timur Tengah. Banyak asimilasi budaya terjadi di Indonesia, para perempuan muslim memiliki agensi untuk memilih apakah mereka ingin berhijab atau tidak. Tidak ada paksaan dari negara.
Para lelaki juga menghargai perempuan lebih baik dari pada laki-laki di Timur Tengah (karena ada anggapan bahwa Islam adalah agama yang sangat buruk memperlakukan perempuan karena hak perempuan di negara-negara Timur Tengah sering kali tergerus). Perempuan yang berhijab pun boleh sesukanya mengenakan kain warna-warni ataupun pakaian yang mereka suka. Masjid dan gereja dibangun berhadap-hadapan, dan kami saling menghormati hari raya keagamaan, setiap agama besar mendapatkan hari liburnya.
Namun, dengan pengalaman terakhir saya pulang ke Indonesia, dan banyaknya artikel serta berita berseliweran tentang fundamentalisme, saya jadi khawatir bahwa yang saya sampaikan tersebut tak lebih dari sekadar angan-angan dan romantisme masa lalu, dari pada kenyataan.
Saya terkejut, dan membalas, “Ngopo e le, kok tanya agama?”
Adik-adik pohon sawo keukeuh ingin tahu agama saya, “apa dulu, mbak, agamanya?”
Sambil berlalu sama menjawab, “wah, aku nda mau jawab kalo tanyanya begitu.”
Namun, mereka tidak berhenti dan malah berteriak mengulang-ulang pertanyaan yang sama, “Mbak, opo e mbak agamane? Mbok dijawab toh, Mbak. Mbak!”
Karena tak digubris, salah satu dari mereka akhirnya berteriak, “apa e, mbak? Kristen, ya? Kalo Kristen sama seperti teman saya!”
Ternyata mereka kesal karena tidak mendapat jawaban yang diinginkan, lalu melempari buah sawo ke arah saya.
Saya menceritakan tentang hal ini di sosial media. Ternyata, kemudian saya dapati bahwa cerita anak dan fundamentalisme semakin banyak muncul. Mulai dari anak TK yang pawai dengan membawa senjata mainan, hingga anak-anak yang percaya bahwa memusuhi perbedaan iman adalah wajar. Dari mana mereka mempelajari hal-hal demikian? Siapa yang bertanggung jawab?
Sebuah survei menjawab pertanyaan ini, ternyata enam dari sepuluh guru Indonesia ditemukan intoleran. Bayangkan, 60% dari guru kita tidak bisa menerima perbedaan. Bisa jadi ini adalah salah satu pemicu maraknya intoleransi di Indonesia. Namun, jangan-jangan kita sudah tidak toleran sejak dulu?
Sewaktu kecil, desa tempat tinggal nenek saya sangatlah homogen. Hampir seluruh penduduk desa berkerabat satu sama lain. Homogenitas ini bisa jadi bertanggung jawab atas permusuhan dan ketakutan atas perbedaan, yang berakar dari ketidakpahaman. Katanya, tak kenal maka tak sayang.
Hingga suatu ketika, ayah dan ibu saya pindah ke perumahan dan bertetanggakan seorang Tionghoa beragama Kristen. Salah satu kalimat yang sering saya dengar pada saat itu adalah “tetangga depan rumah itu Cina-Kristen, tetapi orangnya baik betul, paling rajin menolong.”
Kalimat ini terasa ganjil betul, kesannya seolah-olah kalau Tionghoa dan Kristen adalah perpaduan yang tidak baik, sampai harus pakai penegas “Cina-Kristen TAPI baik”. Saya tumbuh dengan premis bahwa tetangga di depan rumah saya adalah Tionghoa dan Kristen yang baik. Pemikiran yang sangat buruk, seolah-olah menjadi Tionghoa dan Kristen tidaklah baik. Padahal, apa salahnya kalau berkata "tetangga depan rumah itu baik betul, nggak perhitungan kalau menolong."
Dari segi positifnya, setidaknya keluarga kami keluar dari zona homogen dan akhirnya berinteraksi dengan perbedaan. Interaksi dengan perbedaan inilah yang bisa jadi mengurangi asumsi dan curiga terhadap Tionghoa dan Kristen.
Saat SD, salah seorang teman mempertanyakan agama sahabat saya, Kristi, katanya, “Dia kan Kristen.” Sampai sekarang, saya tak pernah tahu agamanya Kristi, tapi, kalaupun Kristen, memangnya mengapa? Kristi sebagai manusia dan teman lebih penting dari pada sekadar agamanya, Kristi lah yang mengajarkan saya hal paling fundamental sebagai orang Indonesia, yaitu bahwa mie goreng ternyata masaknya juga direbus.
Tak lama, saya pindah ke pulau lain. Teman main saya saat itu, Ria, adalah seorang anak perempuan yang keluarganya mengungsi dari Ambon. Rumahnya di gang seberang masjid. Kami suka main di sungai dan mencari serangga. Saya bertransformasi dari anak kota yang gampang jijik, jadi anak akhirnya berani memegang kepompong. Namun, ungkapan semacam, “dia itu Kristen, loh!” Masih juga terdengar.
Saya jadi menduga, sikap permusuhan terhadap iman lain memang sudah dipupuk sejak dahulu, tapi sosial media tidak ada pada masa itu, sehingga tidak ada wahana yang dapat digunakan untuk memperuncing perbedaan. Tidak ada cara untuk unfriend, block, atau mute mereka yang berbeda, sehingga manusia pada masa itu mau tidak mau harus terpapar perbedaan.
Kembali lagi ke adik-adik pohon sawo, bisa jadi mereka memiliki pengalaman yang sama, setiap kali berteman dengan kawannya yang Kristen itu, mungkin mereka mendengar suara-suara sumbang orang sekitar. Hingga akhirnya mereka kira wajar-wajar saja untuk bersikap demikian kepada saya. Padahal saya hanya mengenakan celana batik panjang dan kaos oblong tanpa atribut keagamaan apapun.
Sementara, sebagai minoritas di negara seberang, tak pernah ada yang menanyakan agama saya, atau memperlakukan buruk lantaran kepercayaan yang dianutnya. Bahkan saya tak pernah homesick karena suara orang mengaji dari corong-corong toa masjid, mirip dengan gaya merapal mantra di vihara dekat rumah. Jika ingin daging halal, saat di Amerika, beli saja daging kosher di toko-toko Yahudi, sementara di Kamboja, beli saja di supermarket Jepang. Bahkan cara merapal mantra dengan menggunakan mala beads, mirip betul dengan penggunaan tasbih.
Beberapa kali saya diminta mengisi kelas atau menjadi pemantik diskusi mengenai keberagaman. Dalam banyak kesempatan saya selalu katakan Indonesia memang memiliki populasi muslim terbesar di dunia, namun kami tidak sama dengan Timur Tengah. Banyak asimilasi budaya terjadi di Indonesia, para perempuan muslim memiliki agensi untuk memilih apakah mereka ingin berhijab atau tidak. Tidak ada paksaan dari negara.
Para lelaki juga menghargai perempuan lebih baik dari pada laki-laki di Timur Tengah (karena ada anggapan bahwa Islam adalah agama yang sangat buruk memperlakukan perempuan karena hak perempuan di negara-negara Timur Tengah sering kali tergerus). Perempuan yang berhijab pun boleh sesukanya mengenakan kain warna-warni ataupun pakaian yang mereka suka. Masjid dan gereja dibangun berhadap-hadapan, dan kami saling menghormati hari raya keagamaan, setiap agama besar mendapatkan hari liburnya.
Namun, dengan pengalaman terakhir saya pulang ke Indonesia, dan banyaknya artikel serta berita berseliweran tentang fundamentalisme, saya jadi khawatir bahwa yang saya sampaikan tersebut tak lebih dari sekadar angan-angan dan romantisme masa lalu, dari pada kenyataan.
Selesai menulis artikel ini, saya menerima pesan singkat dari Ibu, menanyakan nama panjang menantunya agar bisa didoakan saat mengaji Yasin. Menantu ibu bukanlah muslim, dan ibu adalah keturunan Tionghoa generasi ketiga.
Saya percaya, keberagaman dan penghargaan atas perbedaan, masih punya harapan di Indonesia.
Comments
Post a Comment