Laki-laki, kontrasepsi, dan aborsi

Seorang anak perempuan, diperkosa, lalu hamil, kemudian dipenjara karena menghentikan kehamilannya. Meski hakim memutuskan dia tidak bersalah, jaksa justru mengajukan kasasi agar si anak dipenjara dengan tuduhan penghilangan nyawa.

Agar dapat menghilangkan aborsi, fokus utama kita harus bergeser dari menghukum pelaku, menjadi menghindari kehamilan yang tidak diinginkan dan tidak direncanakan. Dengan demikian, penghentian kehamilan, alias aborsi, tidak perlu terjadi sama sekali.

Kehamilan yang tidak diinginkan dan tidak direncanakan bukan melulu perkara remaja. Saya tidak dapat menemukan data terbaru di Indonesia, tetapi data 10 tahun lalu, 70% aborsi dilakukan dalam perkawinan, 30% dilakukan di luar perkawinan, dari 30% itu, 21% dilakukan oleh remaja.

Menghentikan kehamilan yang tidak diinginkan tidak bisa hanya berfokus pada perempuan. Perempuan tidak bisa hamil tanpa ada sperma yang masuk ke dalam sel telur. Sebab itu, laki-laki juga sudah semestinya bertanggung jawab penuh atas setiap kejadian kehamilan.

Ovulasi hanya bisa terjadi 12-48 jam sehari, dengan masa subur perempuan paling maksimal hanya 10 hari dalam sebulan. Artinya perempuan hanya bisa dibuahi dalam 6-24 hari dalam setahun. Sementara, laki-laki bisa ejakulasi setiap hari, bahkan bisa menghamili 365 perempuan dalam satu tahun. Sebab itu, semua kehamilan yang tidak diinginkan berkaitan erat dengan ejakulasi yang tidak bertanggung jawab.

Meski kesehatan sperma berbeda-beda dan laki-laki bisa juga mandul, namun, secara umum laki-laki, dapat menghamili perempuan kapanpun, bahkan ketika perempuan tersebut tidak merasa nikmat, atau bahkan ketika perempuan tersebut ketakutan, misalnya dalam kasus pemerkosaan.

Dengan potensi yang dimiliki laki-laki untuk beranak-pinak, adakah kontrasepsi untuk laki-laki? Indonesia pernah disebut-sebut akan meluncurkan pil kontrasepsi laki-laki. Sayangnya, empat tahun kemudian kabar tersebut tenggelam. Sementara, di Amerika Serikat, banyak laki-laki mundur dari percobaan konsumsi kontraspesi lantaran efek samping yang ditimbulkan, sehingga pada akhirnya penelitian tentang pil kontrasepsi laki-laki pun dihentikan secara prematur.

Perbincangan mengenai alat kontrasepsi laki-laki menyeruak kembali pada Maret 2018. Namun, jangan girang dulu, selama tidak ada dorongan dari pemerintah dan pabrik obat-obatan, sebagaimana mereka mendorong kontrasepsi perempuan, maka beban kontraspesi tetap berada di bahu perempuan.

Masalah utama kontrasepsi laki-laki yang belum dapat dipecahkan para peneliti adalah efek samping. Padahal, efek samping alat kontrasepsi laki-laki sama saja, atau bahkan lebih rendah dari kebrutalan efek samping alat kontraspesi perempuan. Jerawat dan peningkatan berat badan saja sih tiada arti. Kontrasepsi perempuan juga bertanggung jawab atas perubahan hormon dan mood, hingga depresi. Namun, perempuan tetap diharapkan menggunakan alat kontrasepsi, dan akan menjadi yang disalahkan ketika terjadi kegagalan kontrasepsi. Jangan-jangan masyarakat kita memang lebih cenderung memiliki mental tidak mengapalah kalau perempuan menderita, baik fisik ataupun mental, asalkan laki-laki tetap dimudahkan.

Sudah begitu, masih juga tak begitu mudah untuk mendapatkan pil dan alat kontrasepsi lain, seperti spiral, untuk perempuan. Bandingkan dengan kondom yang bisa didapat di mana saja dengan harga relatif terjangkau. Itu saja laki-laki masih enggan memakai kondom.

Kondom adalah alat kontrasepsi yang sangat baik, tak hanya menghindari kehamilan tak diinginkan, tetapi juga menghindari penyakit kelamin. Namun, untuk alasan kenikmatan, tak sedikit laki-laki menolak kondom. Bahkan tak jarang laki-laki tak memakai kondom ketika berhubungan, tanpa sepengetahuan pasangannya.

Di luar kondom, ada alat kontraspesi lain yang lebih alami, yang juga bisa dilakukan laki-laki. Alat kontrasepsi ini dikenal dengan istilah keluar di luar, yaitu ketika laki-laki menarik penisnya dan ejakulasi di luar kelamin perempuan. Sayangnya, demi kenikmatan yang cuma 15 detik itu, banyak juga laki-laki yang enggan enggan menarik tititnya, dan memilih keluar di dalam tanpa persetujuan pasangan karena katanya keluar di dalam lebih nikmat.

Jadi, demi kenikmatan15 detik (atau bahkan 5 detik) itu laki-laki rela membahayakan masa depan, karir, kesehatan, bahkan nyawa perempuan. Sementara, perempuan tetap yang disalahkan jika terjadi, atau tidak terjadi, kehamilan. Sekali lagi, laki-laki rela meletakan perempuan dalam risiko sosial, kesehatan, finansial, dan mental, hanya demi kenikmatan beberapa menit atau bahkan detik.

Jangan-jangan kita sebagai masyarakat, kita juga lah yang membiarkan hal ini terjadi, bahwa laki-laki bisa memperlakukan perempuan sesuai dengan kepentingan dan kesenangan dia saja.

Laki-laki sering tidak dapat mengasosiasikan ejakulasi dengan kehamilan, sebab itu banyak juga laki-laki mangkir dari tanggung jawab. Sementara masayarakat malah menyalahkan perempuan, “ya namanya juga laki-laki, salah sendiri mau kemakan janji-janji manis”. Lagi-lagi, laki-laki dibela, tidak ada konsekuensi apapun bagi laki-laki yang menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan. Semua ditanggung perempuan.

Dalam topik aborsi dan kehamilan tidak diinginkan dan tidak direncanakan, tak sekalipun laki-laki diminta bertanggung jawab. Padahal, selama kita tidak mendesak laki-laki untuk bertanggung jawab atas kelakuannya, kehamilan yang tidak diinginkan dan aborsi akan selalu ada.

Lalu, bagaimana caranya membuat agar laki-laki mau bertanggung jawab? Haruskan kita menghukum berat laki-laki yang menyebabkan kehamilan tidak bertanggung jawab? Seberat perempuan yang harus menanggung kehamilan selama 9 bulan dan kejulidan masyarakat selama bertahun-tahun selanjutnya?

Ego terbesar laki-laki ada pada alat kelaminnya. Saya yakin mereka akan berhenti bertindak tidak bertanggung jawab apabila kelaminnya berada dalam risiko. Misalnya, haruskah pemerkosa dan pria yg ejakulasi sembarangan dikebiri saja? Dengan demikian kita bisa mencegah ribuan atau ratusan ribuan aborsi tiap tahunnya. Atau jika menggunakan istilah yang digunakan jaksa dalam kasus: pengebirian lpada aki-laki bisa membantu kita menghindari penghilangan nyawa terkait aborsi.

Atau, sebagaimana diungkapkan oleh Gabrielle stanley Blair dari The New York Times, bagaimana kalau laki-laki divasektomi saja sebagai bagian normal prosedur pubertas. Vasektomi bukanlah ide yang gila. Vasektomi sangatlah aman, dan bisa dilepas kembali jika suatu saat memutuskan untuk memiliki anak.

Jika kamu tidak setuju atas ide di atas, tapi setuju pada anti aborsi, dan penghukuman perempuan yang harus melakukan aborsi, coba tanya kembali kepada dirimu, kamu sebetulnya lebih peduli pada aborsi atau pada pengaturan tubuh perempuan?

Kita harus ingat, bahwa laki-laki 100% bertanggung jawab penuh atas kehamilan yang tidak diinginkan dan tidak direncanakan, namun, dalam aborsi dan bui, laki-laki tidak pernah menjadi pihak yang pertama-tama dimintai tanggung jawab ketika hal itu terjadi.



Comments

Popular posts from this blog

Seminggu tanpa sabun dan sampo

Let’s talk about casual internalized racism in this island

Mimpi