Capek bekerja pilih menikah
Dalam perjalanan kereta menuju Batang, Jawa Tengah, saya
yang lajang, lelah bekerja, tapi juga nggak pernah kaya, sempat berfikir, “duh,
kalau saya sudah menikah dan punya anak, mungkin nggak akan disuruh keluar kota
melulu.”
Menurut ilmuwan sosial Bella DePaulo pekerja lajang memang paling
banyak diberi beban kerja, distrereotipikalkan, distigma, dan diabaikan.
Sementara, pekerja yang sudah berkeluarga lebih sering didengar aspirasinya,
terutama dalam hal lembur, bekerja luar kota, dan bekerja pada hari libur.
Lelah deh. Ini adalah bentuk diskriminasi baru di tempat kerja, diskriminasi
terhadap lajang.
Pekerja lajang sering kali dianggap memiliki lebih banyak
waktu luang, dan tidak memiliki beban finansial. Sebab itu pekerja lajang
menjadi favorit untuk diberi pekerjaan tambahan, ataupun untuk diberi upah
lebih kecil. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh OECD
menunjukan bahwa pekerja yang sudah berkeluarga dengan dua anak memiliki
pendapatan lebih tinggi dari lajang.
Dalam banyak kasus, pekerja lajang sering mendapat gaji
lebih rendah dari pada mereka yang sudah berkeluarga. Pekerja yang sudah
berkeluarga sering kali mendapatkan gaji lebih besar dari si lajang dengan
posisi yang sama lantaran dianggap memiliki lebih banyak kebutuhan dan beban
finansial.
Lalu, bagaimana dengan pekerja lajang perempuan? Duh,
menjadi lajang dan perempuan adalah lebih tidak diuntungkan. Sudah bukan
rahasia kalau ketimpangan gaji berdasarkan jenis kelamin jamak terjadi.
Rata-rata di seluruh dunia, pekerja perempuan mendapatkan 80% saja dari apa
yang didapatkan laki-laki. Sementara di
Indonesia, ilustrasinya dapat dilihat dari ketimpangan pendapatan
buruh perempuan yang hanya 76% dari pendapatan buruh laki-laki.
Jadi, kalau ada yang bilang kalau lelah liburan, pijat, dan belanja
saja, akibat diskriminasi berganda ini, tak semua pekerja lajang perempuan
memiliki kekuatan finansial untuk berlibur, pijat, atau belanja ketika lelah.
Namun, istirahat kan nggak harus mengeluarkan uang. Kalau
capek bekerja, ya istirahat saja di rumah. Bisa tidur-tiduran saja, masak, atau
mengurus tanaman. Apalah yang nggak keluar duit. Begitu, kan?
Sayangnya, banyak pekerja lajang juga tidak memiliki waktu
untuk beristirahat. Pekerja lajang akan lebih sering melakukan
pekerjaan-pekerjaan lapangan, ke luar kota, atau pun lembur. Penolakan si lajang terhadap pekerjaan
tambahan seringkali tidak dikabulkan perusahaan karena lajang dianggap tidak
memiliki banyak keperluan karena tidak harus menemani keluarga. Kalaupun
menolak, si lajang akan dianggap egois, hanya suka bersenang-senang saja, tidak
bertanggug jawab, dan sulit diajak bekerja sama. Sementara pekerja yang sudah
berkeluarga akan lebih dimaklumi ketika beralasan ingin menemani anak di hari
libur.
Terdengar masuk akal, namun, apa lantas pekerja lajang harus
mengorbankan waktunya? Apa pekerja lajang lantas tidak punya kehidupan cuma karena
belum atau tidak ingin berkeluarga?
Penelitian
Bella DePaulo mengungkapkan sebaliknya, lajang justru lebih banyak
terlibat dalam kegiatan sosial, kerelawanan, serta banyak berinvestasi dalam
hubungan personal. Lajang juga lebih banyak turun tangan dalam mengurus orang
tua ketika mereka sakit, ataupun sekadar membutuhkan bantuan.
Sebaliknya, lajang juga akan menjadi yang paling membutuhkan
bantuan orang disekitarnya karena mereka belum berkeluarga. Sayangnya, lajang
tidak dapat saling mendukung satu sama lain karena mereka tidak dapat mengambil
cuti untuk mengurus kawan yang sakit. Berbeda dengan mereka yang telah
berkeluarga dan ingin mengurus suami, istri, atau anaknya yang sakit.
Mungkin sebab itulah beberapa perempuan lajang ketika lelah
bekerja inginnya kawin saja. Apa iya kawin-mawin bisa jadi jalan keluar?
Di dunia yang masih lebih banyak menguntungkan laki laki dan
percaya pada fungsi tradisional perempuan dalam rumah tangga, menikah tentunya
bukan jalan keluar dari kelelahan bekerja. Menikah malah bisa jadi lebih lelah
karena jadi seperti pindah kerja, dari pekerjaan formal delapan jam sehari
menjadi pekerjaan domestik yang jam kerjanya lebih panjang dan tanpa waktu
cuti.
Apalagi dalam masyarakat yang percaya bahwa perempuan harus
menurut pada suami, maka sesungguhnya sama seperti mendapatkan bos baru. Bedanya,
dengan bos baru ini kamu harus menurut selama 24 jam dalam sehari, tujuh hari
dalam seminggu. Kalau tidak menurut dengan bos di pekerjaan kantoran paling
tidak dapat bonus, kalau tidak menurut dengan bos baru ini, neraka ganjarannya.
Bagus juga kalau menikah lalu dapat suami yang baik dan kaya
raya seperti Nick Young dalam Crazy Rich
Asian, bagaimana kalau nasib kita seperti Astrid Young Teo? Sudah
dapat suami yang lebih miskin, belagu, selingkuh, masih sempat playing victim pula.
Tentu sangat banal kalau melihat menikah sebagai pekerjaan,
tapi hubungan (terutama pernikahan) bukanlah sesuatu yang kita terima begitu
saja lalu semuanya baik-baik saja. Menikah juga membutuhkan daya upaya yang
sama kerasnya, atau bahkan lebih keras dari bekerja.
Menikah bukan pegadaian yang bisa mengatasi masalah tanpa
masalah. Menikah adalah bekerja keras agar sebuah lembaga kecil dalam
masyarakat ini semakin sejahtera dan tidak tercerai-berai. Kalau tidak mau
bekerja keras sebaiknya jadi Paman Gober saja, atau mimpi punya pohon duit.
Persoalan lelah bekerja tidak seharusnya berkaitan dengan
status pernikahan. Tingkat pendapatan dan waktu libur sudah seharusnya terkait
dengan kontrak kerja dan jenis pekerjaan. Kalau lelah bekerja, sudah sewajarnya
jika pekerja memiliki kesempatan untuk beristirahat.
Karena diskriminasi harus dilawan, dan setiap pekerja berhak
dihargai sesuai dengan pekerjaannya, bukan status pernikahannya. Lajang bersatu
tak bisa dikalahkan. Lawan, kawan-kawan? :D
Terima kasih banget udah nulis ini. Lajang dibutuhkan, sekaligus terlalu sering disepelekan - terutama oleh mereka yang sudah menikah dan merasa punya privilege. Makanya, jangan heran kalau yang udah nikah tapi lagi kepepet masalah keuangan suka maksa saat minjem duit dari para lajang - dengan asumsi si lajang gak punya banyak kebutuhan penting. Seakan-akan kebutuhan si lajang kalah pentingnya dengan yang sudah menikah.
ReplyDelete