Capek bekerja pilih menikah
Dalam perjalanan kereta menuju Batang, Jawa Tengah, saya yang lajang, lelah bekerja, tapi juga nggak pernah kaya, sempat berfikir, “duh, kalau saya sudah menikah dan punya anak, mungkin nggak akan disuruh keluar kota melulu.” Menurut ilmuwan sosial Bella DePaulo pekerja lajang memang paling banyak diberi beban kerja, distrereotipikalkan, distigma, dan diabaikan. Sementara, pekerja yang sudah berkeluarga lebih sering didengar aspirasinya, terutama dalam hal lembur, bekerja luar kota, dan bekerja pada hari libur. Lelah deh. Ini adalah bentuk diskriminasi baru di tempat kerja, diskriminasi terhadap lajang. Pekerja lajang sering kali dianggap memiliki lebih banyak waktu luang, dan tidak memiliki beban finansial. Sebab itu pekerja lajang menjadi favorit untuk diberi pekerjaan tambahan, ataupun untuk diberi upah lebih kecil. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh OECD menunjukan bahwa pekerja yang sudah berkeluarga dengan dua anak memiliki pendapatan lebih tinggi dari lajang.