Tanggapan untuk Tanggapan Mahasiwa Plesir*

Dear Mas Farchan, maaf kalau saya tuman, berani-beraninya memberi tanggapan untuk tanggapan. Siapalah saya, boro-boro jadi pejabat eselon IV, selesai sekolah bisa dapat pekerjaan atau tidak saja hati ini masih kejet-kejet.

Malam kemarin, saya baru selesai cuci piring dan bersiap tidur, ketika seorang teman mengirimkan tautan menuju tulisan Mas Farchan. Sungguhpun saya kira tulisan tersebut sarkasme semata karena saya nda pernah kepikiran bahwa orang bisa senyinyir itu. Habis membaca, saya cuma ketawa-ketawa dan langsung tidur. Adem ayem saja.

Keesokan paginya, ramai betul rupanya perbincangan tentang tulisan Mas Farchan. Sebetulnya, saya tak menyalahkan penulis juga, sih. Bagi mereka yang belum pernah sekolah master, apalagi kalau pas sekolah sarjananya santai, pasti akan menganggap sekolah ke luar negeri itu: eat, travel, selfies, repeat. Apalagi kalau stalking instagram temen-temen yang sedang bersekolah, pas sudah itu eat, travel, selfies, repeat.

Padahal, yang nggak keliatan di instagram, di antara eat, travel, selfies itu ada belajar dan ngerjain tugas 12-16 jam sehari, bikin acara promosi kebudayaan Indonesia, belajar masak karena di Amerika nggak ada warteg yang pas dengan kantong, mentoring karena belajar natural resource statistic dalam Bahasa Inggris itu aduhai bikin mimisan, sampai monitoring call bulanan dengan orang beasiswa yang tinggi banget ekspektasinya. Belum lagi kegiatan berorganisasi lainnya supaya nggak kalah kece kan sama dedek-dedek bule.

Tapi, Mas emang ga salah-salah amat kalau sampe nyinyir. 

Mungkin emang terkesan eat, travel, selfies, repeat doang lantaran teman-teman yang sedang bersekolah nda mau bikin keluarga khawatir. Bayangkan bagaimana reaksi mamak saya yang janda beranak lima di Palembang sana kalau begitu buka facebook lihat anaknya sedang gundah gulana karena tiba-tiba advisornya tak lagi mau menjadi advisor padahal anaknya itu  sudah berminggu-minggu cuma tidur 2 jam lantaran harus menulis proposal penelitian di tengah tugas yang nda ada habisnya. Atau, bagaimana perasaan suami kalau saat baru pulang kerja tahu-tahu lihat istrinya posting mellow bersimbah air mata di instagram. Ya dari pada saya bikin mamak dan suamik khawatir, belum lagi dibilang tak pandai bersyukur oleh warga net yang budiman, mendingan posting bahagia bunga-bunga musim semi di taman kampus atau foto saat plesir sambil seminar. Walaupun belakangan saya baru paham bakal ada aja yang nyinyir mah.

Foto-foto bunga musim semi yang mempercantik sosial media itu, sayangnya nda bisa mempercantique LinkedIn, Masku. Seperti yang kita semua ketahui, LinkedIn itu lebih suka kalau kita punya pengalaman kerja dari pada pengalaman sekolah. Jadi begini, kalau profil kita punya current work, dan semuanya lengkap, LinkedIn akan bilang: You are a star! Nah, kalau cuma jadi mahasiswa dan tidak ada pekerjaan, LinkedIn akan bilang: You are almost there! Jadi begitulah mas, sekarang LinkedIn nda bahagia-bahagia amat sama profil saya. Mungkin nanti kalau sudah kerja lagi, LinkedIn saya bisa cantique.

Mas F yang baik, walaupun saya buka tulisan ini dengan agak suram, maksudnya ya cuma cerita keadaan sesungguhnya aja, bukan maksud untuk playing victim, mending playing ukulele di pinggir toko es krim Blank Slate. Mayan bisa dapat duit tambahan karena duit beasiswa itu kebanyakan ga beda jauh sama UMR di kota masing-masing. Duit beasiswa yang dananya dari Pemerintah Amrik ini, boro-boro buat dipake plesir jauh-jauh, 50%-60% dari MMA bulanan cuma cukup untuk bayar apartemen, belanja baju musim dingin aja cuma mampu di thrift store, alias toko baju bekas yang baju jualannya hasil donasi jamaah gereja. Mending banget pas masi kerja, kubisa diving di Raja Ampat setelah nabung dikit-dikit dari gaji. Mengeluh? Nggak dong! Saya yakin, dana yang diterima mahasiwa beasiswa di manapun sudah dikalkulasi masak-masak oleh si pemberi dana. Saya cuma cerita aja buat transparansi bagaimana dana bulanan saya itu dipakai.

Bagi saya, menerima duit beasiswa (tapi nda sambil duduk manis juga sih. Yang ada sambil duduk gelisah di ruang kelas karena malam nanti harus ikut meeting di city hall dari jam 7 sampai jam 11 malam sebagai bagian dari tugas, plus tanggungan lebih dari 100 halaman jurnal mingguan), nda beda jauh dari gaji saat bekerja. Sama-sama dikontrak untuk mengerjakan sesuatu dan mendapatkan upah sesuai perjanjian. Terus, apa setiap abis dapat gaji mereka yang gajian itu harus dibatas-batasi duitnya boleh dipakai buat apa. Kan kesian juga, masak nanti kalo pake duit buat tengok mamak di kampung sekalian plesir lalu dimarahi negara. Yang digaji negara kan juga nda lantas bekerja 24 jam walaupun sudah dibayari duit pensiun sekalian.

Lagi pula, rehat itu perlu, pun baik untuk produktifitas, begitu kata sebuah tulisan di The Atlantic yang pernah saya baca. Iya, keseimbangan kehidupan pribadi dan pekerjaan itu penting. Kalau kata Professor Environmental Behavior saya: burnout people will not be able to safe the world! Sebab itu banyak perusahaan mengadakan program retreat. Di kantor lama saya, setiap staff mendapatkan paling tidak 20 hari cuti, lembur tidak dianjurkan, dan kalau sampai bekerja melebihi 8 jam sehari, mereka harus segera mendaftarkan libur tambahan ke HR, bahkan perusahaan tempat ayah mertua saya pernah bekerja, suka memberikan hadiah jalan-jalan ke Amerika bagi pekerja paling produktif.

Kembali ke soal plesir. Provost di kampus saya saat pidato penerimaan mahasiswa baru pernah berkata: being a student is easy, what is hard is being a human. Be a full human, because burnout people will not work well for the society. Take your time off, support each other, travel! Begitu katanya. Sudah bukan zamannya mahasiswa yang cemerlang dan “kuliah yang benar” (mengutip Mas Farchan) cuma “duduk manis” (mengutip lagi) di perpustakaan lalu lulus tanpa pengalaman selain pengalaman membaca dan memilih buku di perpustakaan, diskusi dengan advisor, dan kerja kelompok dengan teman sekolah.

Sebelum saya mengakhiri tanggapan untuk tanggapan ini, ada satu hal yang saya kurang paham: kenapose ajak-ajak TKI? Duh, panjang ini kalau mau bahas TKI juga. Jadi ada baiknya saya tutup sampai di sini saja. Semoga Mas Farchan segera dapat beasiswa di negara maju, biar tidak salah paham melulu.

Tabik!



*Tulisan ini dibuat karena saya gatel aja sih pengen komen juga terkait tulisan soal anak beasiswa nda boleh plesir yang sedang menjadi bahan gunjingan khalayak ramai. Mumpung masih libur musim panas, nanti kalau sudah kuliah lagi boro-boro nulis tanggapan, makan malam aja kadang-kadang cuma doritos sambil ngerjain PR yang nggak habis-habis. Eh, malah curhat. Maap yah, curhat melulu ini.


Update: Si empunya tulisan dan media yg menerbitkan belakangan telah menglarifikasi atas keberadaan dan penerbitan artikel tersebut.

Comments

  1. Mbak Rika, ini kriuk banget bacanya... Semoga mas F bs menikmatinya tanpa merasa keselek eh..defensif membabibuta maksudnya. Salam kenal ya...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi Mb Bertha, kriuk ini maksudnya garing apa renyah? Ahahahahah. Btw, masnya ternyata sangat berbesar hati dan sudah buat klarifikasi. Salut!

      Delete
  2. Cara cerdas membalas sindiran pedas! Saya suka.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mimpi

Addressing Climate Crisis with Ummah