First Travel dan betapa seksisnya media kita


Andika dan Anniesa
Sumber: Kompas

Sudah lihat foto bibir Annisa Hasibuan bertabur kristal Swarovski? Atau fotonya yang menggunakan jubah putih bulu-bulu di tengah salju? Atau mungkin Anniesa sedang berpose manjah di pepohonan musim gugur? Foto Anniesa bercadar? Juga bahkan foto Anniesa tanpa make up dalam bui? Sudah tahu apa merek tas dan harga busana yang dikenakan Anniesa? Berapa biaya perawatan wajahnya dan make up apa yang digunakannya?

Media kita memang sangat kreatif ketika harus mengelaborasi dan mengomentari kehidupan perempuan. Entah perempuan ini tersangka kriminal, atau seorang menteri sekalipun. Berita soal tato dan rambut baru Menteri Susi pada suatu kala melebihi berita tentang kebijakannya dan pencapaiannya dalam melindungi nelayan lokal. Pernah juga baca berita tentang jam tangan merah punya Menteri Sri Mulyani dan betapa sederhana baju batik yang dikenakannya? Atau cat rambut mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Miranda Goeltom?

Sementara itu, apa kita pernah tahu berapa harga batik Menteri Darmin Nasution atau Basuki? Apakah kita juga tahu jam tangan apa yang dikenakan Menteri Pratikno, atau apakah jangan-jangan Menteri Rizal atau Luhut punya tato? Mungkin juga belum pernah dengar soal rambut Jokowi yang selalu klimis belah pinggir?

Media senang betul menjual dan mengelaborasi keperempuanan. Perempuan sering kali dilihat sebagai objek dan pajangan alih-alih subjek yang juga melakukan sesuatu dan memiliki pencapaian yang tak kalah jika dibandingkan dengan rekan lawan jenisnya. Begitu juga dengan pemberitaan First Travel.

Tak banyak berita tentang kasus penipuan dan penggelapan dana umroh First Travel yang menampilkan foto-foto Andika Surachman meskipun dia juga berperan besar dalam kasus ini. Tidak ada foto Andika Surrachman sedang main air soft gun, misalnya, meski ditemukan 9 unit airsoft gun laras pendek dan panjang di kediaman mereka. Atau mungkin Andika berpose dengan salah satu mobil kesayangan, atau sedang jalan-jalan ke luar negeri. Kalaupun ada, foto Andika yang berpose manja di negara empat musim, biasanya juga ditemani Anniesa.

Belakangan, ketika kemunculan tersangka ketiga, yaitu Kiki Hasibuan, yang dilakukan warga net kemudian juga tak jauh-jauh dari mengobjektifikasi: loh ini laki-laki apa perempuan? Kok tampak seperti laki-laki dan banyak berpose mesra dengan perempuan tapi mengapa berkerudung dan bercadar saat dibawa polisi untuk bertemu dengan media? Yungalah… mengobjektifikasi kok ya nda selesai-selesai.

Isu media dan pengarusutamaan gender memang bukan isu baru, bahkan pada 2012 UNESCO telah menerbitkan indikator sensitif gender untuk media. Mengutip Suwarjono, kala itu ketua Aliansi Jurnalis Independen, dalam laporan tersebut, "Minim kesadaran gender di ruang redaksi juga menyebabkan pemuatan narasumber perempuan yang memiliki kemampuan dan kompetensi lebih baik, menjadi sangat terbatas. Pemberitaan terhadap isu politik, ekonomi hingga olahraga dan sejumlah isu yang terkait dengan perempuan misalnya, sangat bias gender. Ini lagi-lagi karena banyaknya pengelola ruang redaksi diisi jurnalis yang belum mempunyai pemahaman gender, sehingga perspektif yang muncul masih sangat maskulin."

Saya pikir kutipan Suwarjono ini masih sangat halus, karena bias gender di media bukan hanya membuat perspektif jadi maskulin dan terbatasnya referensi dari narasumber perempuan, tetapi juga merugikan perempuan dan menutup banyak kesempatan bagi perempuan. Misalnya saja, dalam wawancara kerja pertama saya di salah satu media paling mumpuni di Indonesia, pertanyaan terakhir yang saya terima adalah "kamu sebetulnya sangat qualified, sayangnya kamu perempuan, kami cari calon wartawan laki-laki", ujar salah satu dari sembilan pewawancara saya, dan satu-satunya perempuan dalam forum tersebut. Kesetaraan gender bukan hanya sekadar narasumber perempuan, tetapi juga pola pikir yang setara dalam melihat laki-laki dan perempuan.

Sebuah laporan yang dipublikasikan pada bulan lalu oleh Common Sense Media menemukan bahwa stereotyping yang dilakukan oleh media akan persisten dan diamini dalam jangka panjang oleh otak anak.

Bayangkan kalau yang ditampilkan di media kita adalah gambaran-gambaran perempuan yang sebagaimana ditampilkan media dan pers dewasa ini. Berebut suami di sinetron. Menteri dilihat sebagai apakah rambutnya dilurusin atau pake wig, atau di mana mengecat rambutnya. Atlet dilihat dan diwawancara soal aksesorinya atau siapa pasangan terbarunya alih-alih strategi bertanding dan rezim latihannya. Atau model iklan yang haya ditampilkan untuk memuaskan male gazing saja.

Tidak heran kalau anak akan melihat perempuan sebagai objek, dan laki-laki sebagai pelaku. Bahwa laki-laki adalah mereka yang pintar, dapat mengerjakan pekerjaan-pekerjaan terkait mekanik dan ‘hal-hal sulit’, sementara perempuan pekerjaannya ya untuk memuaskan pandangan laki-laki saja: harus memiliki ukuran badan tertentu, pakai pakaian tertentu, dan bisa mengerjakan pekerjaan tertentu saja. Tak heran juga jika kemudian ada yang anoreksia, ada yang dipaksa menikah dengan pemerkosa, atau ada juga yang depresi karena dianggap tidak bisa memenuhi nilai-nilai masyarakat. Untuk point terakhir, bisa juga terjadi pada laki-laki lantaran dualisme perempuan harus feminin dan laki-laki harus maskulin. Sementara nilai feminin dan maskulin ini ya diciptakan dan dimanipulasi oleh media.

Kembali lagi soal Anniesa dan Andika, media tak hentinya mengorek keperempuanan Anniesa. Bahkan seorang teman di sosial media pun hanya memajang foto Anniesa ketika dia membuat opini tentang First Travel. Foto Anniesa tersebut tentunya foto ketika masih menggunakan pakaian desainer dengan make up, dan disandingkan dengan foto Anniesa ketika mengenakan pakaian oranye khas penjara.

Pemberitaan di media online pun begitu. Tak banyak judul yang menggunakan kata Andika, adanya ya Aniessa. Pilihan kata dalam judul kalau isinya tidak merujuk Anniesa, maka akan diganti menjadi: Bos First Travel. Saya tidak melakukan penelitian serius tentang ini. Namun, bagus juga kalau ada mahasiswa yang belajar soal media menyeriusi perihal seksisme dalam berita, meskipun hal ini juga bukan isu baru.

Misalnya saja tentang sindikat Saracen. Belakangan, pasti banyak yang melihat artikel menggunakan nama Sri Rahayu, lalu ditambah embel-embel perempuan, atau wanita dari Geng Saracen. Saya gemas betul membaca artikel ini. Dari tiga tersangka Saracen, nama Sri Rahayu yang paling sering dinarasikan, apalagi kalau bukan menjual keperempuanannya. Sementara itu, ada yang tau Jasriadi? Mungkin nama ini kalah populer dari Sri Rahayu lantaran media lebih sering menyebut kata tersangka ketika mereferensi Jasriadi. Berbeda dengan ketika Sri Rahayu Ningsih yang menjadi referensi dalam pemberitaan.

Media kita memang tak gentar dalam mengorek keperempuanan. Rambutnya, gaya berjalannya, jilbabnya, merek gincunya, sampai rokok dan tatonya. Lima tahun sesudah peluncuran indikator sensitif gender untuk media oleh UNESCO, media kita masih begitu saja, menjadikan korban perkosaan terkorbankan lagi dalam narasi pemberitaan, mengobjektifikasi perempuan, dan menggunakan bahasa yang tidak setara gender. Kritik terhadap media juga bukan barang baru. Kalau dikritik, palingan editor cuma bilang: sensitif amat, Bu.

Tak ada yang baru dalam catatan ini. Sebab gaya pemberitaan media terhadap Aniesa dan Andika cuma pengingat saja, soal betapa seksisnya media dan betapa tak setaranya pemberitaan terhadap laki-laki dan perempuan.

Kalaupun ada, foto Andika, seperti halnya banyak foto laki-laki di media lebih sering menampilkan ketika sedang beraktvitas, melakukan sesuatu, bukan hanya menjadi objek seperti foto Anniesa dan foto banyak perempuan lain di media.
Sumber: Republika


Comments

  1. Soalnya kalo yang dibahas si Andika, Buibu gak begitu tertarik komentar. Ngomongin sesama cewek terlihat lebih asique, dan buat cowok juga lebih asik ngomongin lawan jenisnya dibanding sesama jenisnya. Hihi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dib, Dib.. Tapi kok aku lebih seneng ngobrolin dosen kita yg bapak2 ya.. Terutama Pak Amo & Pak Chus hihihi.. *anomali

      Delete
  2. Aliansi Jurnalis Indonesia? Hehe.

    ReplyDelete
    Replies
    1. atau Aliansi Jurnalis Independent ? πŸ˜‰πŸ˜‰

      Delete
  3. itu yang nulis cuma berdasarkan opini orang biasa.. coba saja dia jadi korban pasti tulisnya jg berbeda...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau dia bukan korban ga boleh nyampein opini?

      Delete
  4. Mungkin juga karena anniesa ya yang lebih banyak pamer di sosmed... Jd semua postan di instagramnya bs dijadikan berita... Perempuan kan biasanya lebih cenderung pamer atau gatel berbagi dibanding laki-laki, hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya sendiri termasuk yang penasaran sama kehidupan andikanya kok.. Tp IGnya ga ada... πŸ˜‚ bukan maksudnya sexist nyerang anniesanya yaaa.. Thanks

      Delete
  5. tulisannya keren mbaak...tapi sayang komentarnya masih banayak yang miring dan memojokkan perempuan ...weeew....

    ReplyDelete
  6. Capek banget urusan ama orang seksis bin goblok. Bukannya mendukung si AH, tapi kesannya perempuan doang yang wajib jadi manusia baik-baik, sementara laki-laki bejad selalu dimaafkan. Stereotyping tanpa akhir yang menjijikan. Kalo bisa taruh semua pelakunya sekalian di headline secara merata. Media kita masih banyak yang terlalu pengecut untuk itu, selalu nyerangnya perempuan.

    ReplyDelete
  7. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  8. Menyayangkan comment2 atas postingan ini masih tetap saja seksis. Can we just stop objectifying women?

    ReplyDelete
  9. kayaknya kalo atlet ga pernah diwawancara soal busana atau pasangan deh..lebih ke strategi bertanding atau kesiapan. Lagian kalau ketik nama Susi Pudjiastuti di google dan masuk ke news yg keluar ya tentang kebijakannya di KKP, ada 10 tautan berita dalam satu halaman (halaman 1), sembilan tautan mengenai kebijakan dan hanya satu tentang gaya rambut.
    Begitu pula dengan Sri Mulyani, jika mengetikkan nama beliau di google, yang keluar ya soal kebijakannya sebagai Menteri Keuangan, bukan soal gaya hidup.

    Yang jelas untuk kasus First Travel, mungkin media hanya menonjolkan dari sisi kemewahannya. Toh, memang Aniessa Hasibuan cenderung tampil mencolok ketimbang si Andhika. Pun demikian dengan sang adik, Kiki yang memang gemar memamerkan foto di media sosial, tentu membuat media mudah memilih untuk memasang fotonya yang memang dia juga tersangka bukan.

    Tidak semua yang kita lakukan sehari-hari harus dihubungkan dengan bias gender.

    ReplyDelete
  10. Tulisan yang sangat bodoh. Media seksis darimana?

    Itu media membahas Andika Kangen Band, Nazar KDI, Saiful Jamil, bahkan Jokowi jaman pemilihan presiden dibahas terus sampai ke hal2 gak penting kaya sepatu dan kemejanya.

    Masih banyak media yang memberitakan sosok pria diluar. Situ aja bacaannya kurang banyak, pergaulannya kurang luas, mainnya kurang jauh

    ReplyDelete
    Replies
    1. duh mas-nya, keliatan situnya yang bias gender gara-gara komen yang kayak gitu :)

      Delete
  11. Apik mbak tulisane, emang media kita masih seksis banget. Ga cuma media aja sih, aku tertarik buat bahas bias gender dlm penafsiran teks agama, tapi merasa belum PD soale rodo sensitif bgt

    ReplyDelete
  12. Sebenernya pengen no komen, tapi hehe... ya gimana ya... entah juga... perempuan lebih mudah dibully apalagi tentang kecantikan dan keindahannya yang seolah2 palsu kalau dilihat dari perbuatannya.
    Kalau laki-laki biasa aja. Gak ada perbedaan mencolok.

    ReplyDelete
  13. Enggak bias gender juga sih :). Yang lebih sering pamer dan dielu-elukan kan memang kebetulan si Aniessa Hasibuan. Masih ingat dong tahun 2016 kemarin hebohnya dia yang konon sukses berat menembus NYFW. Yang banyak foto-foto instagramnya ya si Aniessa ini hehehe. Suaminya punya akun IG gak sih? Yang lebih sering muncul ke publik sebelum-sebelumnya kan memang si Aniessa ^_^. Yang tetiba pakai cadar pas ditangkap ya Aniessa, suaminya biasa-biasa saja kan? MUkanya enggak ditutup juga :). Jadi bias gender di kasus First Travel ini di bagian mananya kah? Btw di acara perhelatan Oscar, pas "red carpet" session yang sering dibahas penampilan dan baju-bajunya ya artis-artis perempuan sih. Yang laki hampir seragam semua pakai jas model standar ;). If you know what I mean ;).

    ReplyDelete
  14. Emang lebih enak ya kepoin wanita.. Lebih banyak yang bisa dibahas dan dijulid-in. Bahkan banyak yg ngga tau andhika pun punya akun IG yg sama aja narsisnya sama sang istri. πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚

    Tulisan yg keren mba. Saya juga mulai ngga betah nih dengan pemberitaan. Melebar kemana2. Membandingkan anisa dgn istrinya pendiri facebook. Bahkan membandingkan laudya cintya bella dengan mantan istri calon suaminya. Dalam hati cuma nanya, biar apaaaa gituuuu?

    ReplyDelete
  15. keknya emang udah jaman dari Nabi Adam dan Hawa deh klu perempuan jd objek. Sunatullah gitu laah....apalagi jumlah laki2 dan perempuan lbh byk perempuannya. Jd wajar aja klu ekploitasi perempuan lbh byk juga. Mayoritas lebih seksis wajar kan? Nggak ada yg bias menurut sy sih. Semua wajar2 aja mau diliat dr sudut pandang mana juga...

    ReplyDelete
  16. keknya emang udah jaman dari Nabi Adam dan Hawa deh klu perempuan jd objek. Sunatullah gitu laah....apalagi jumlah laki2 dan perempuan lbh byk perempuannya. Jd wajar aja klu ekploitasi perempuan lbh byk juga. Mayoritas lebih seksis wajar kan? Nggak ada yg bias menurut sy sih. Semua wajar2 aja mau diliat dr sudut pandang mana juga...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wow.. Mewajarkan... Keren LoL..
      Saya saja yang laki-laki melihatnya aneh..

      Delete
    2. hanya karena jumlah perempuan lebih banyak, lalu anda menjustifikasi ekploitasi, seksis, dan objektifikasi terhadap perempuan? Miris, doesn't make sense

      Delete
  17. Mungkin dianggapnya perempuan ini senang jadi pusat perhatian dan emang menarik buat diperhatikan.

    ReplyDelete
  18. Media Di Indonesia memang masih norak. Gender dijadikan dagangan menggiring pasar.
    Kita sih gak butuh-butuh amat kecap, tapi dipaksa Butuh.
    Belum lagi soal keseimbangan 4 unsur penting media massa Nihil...

    ReplyDelete
  19. Iya saya melihat perempuan lebih dijadikan komoditas pada saat diberitakan :(

    ReplyDelete
  20. cara pandang yang beda. iya, beberapa orang yang saya kenal juga membicarakannya si annisa bukan andika dan annisa.

    pelajaran buat kita ya supaya lebih hati-hati lagi dalam menilai sesuatu.

    ReplyDelete
  21. Karena yang lebih tampak di sosmed dan eksis emang lebih gampang dijadikan pemberitaan. Kenapa anniesa karena yg lebih banyak muncul dia dibanding andika. Semoga komenan ini bukan seksitisme ya ini.

    ReplyDelete
  22. Yess agree.. contoh lainnya adalah soal perselingkuhan, selalu aja sisi si perempuan yg biasanya diangkat dan dijadikan bulan2an masyarakat, seperti beberapa contoh artis yg inisialnya (RA - AT / AD - MJ) selaluuu saja sisi perempuan yg dipojokan, dan seolah tercipta opini publik yang memaklumkan kesalahan si laki2.. miris juga sih

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mimpi

Let’s talk about casual internalized racism in this island

Addressing Climate Crisis with Ummah