wartawan pria kulit putih dan perempuan kulit berwarna

Pada akhir musim semi (atau mungkin awal musim panas) tahun ini, saya mengikuti liputan investigasi seorang wartawan penerima Pulitzer. Seorang kulit putih, tinggi besar, berusia matang, berkewarganegaraan Amerika. Tak hanya buku, bahkan katanya karya tulisnya pernah juga difilmkan.

Perjalananan selama seminggu di kapal patroli pulau-pulau terluar milik kementerian, lalu di kapal nelayan sewaan untuk menginvestigasi kapal karam dari Perang Dunia Kedua, berjalan terbilang lancar. Saya yakin, salah satu yang membuat lancar adalah karena si wartawan ciamik penerima Pulitzer ini adalah kulit putih, dan pria. Kalau dia perempuan, akan lain cerita.

Misalnya saja, saat kami harus mewawancara puluhan mantan pelaut yang terugikan oleh sebuah perusahaan pelayaran asal Korea. Dia memberi perintah yang sangat detil kepada beberapa orang yang dia hire untuk membantu proses wawancara puluhan mantan pelaut. Sangat detil sampai ke bagaimana jenis jawaban yang dia cari, dan apa yang dia harapkan ada dalam tulisannya nanti. Karena dia adalah laki-laki, putih pula, orang melihatnya sebagai pribadi yang sigap, tegas, dan pemimpin. Sementara saat perempuan melakukan hal yang sama, orang akan berkata: dia bossy, tukang nyuruh-nyuruh, dan cerewet.

Cerita lain adalah saat intepreter bahasa Vietnam kami meminta dibayar jauh lebih banyak dari yang sudah disepakati. Kesepakatan kami adalah jumlah tertentu yang dihitung satu hari kerja. Meski si intepreter hanya bekerja 2-3 jam saja, dia tetap akan dihitung bekerja sehari penuh. Namun, menurut si intepreter, ketika dia bekerja untuk sebuah agane pemerintahan, dia dibayar per lambung kapal. Jadi jumlah ongkos dihitung berapa lambung kapal berbeda dari tiap awak yang kami wawancara. Bagi kami ini tidak adil karena ketika mewawancara per lambung kapal, dia bisa mewawancara belasan bahkan puluhan orang. Sedang dalam pekerjaan kali ini, secara total, kami tak sampai mewawancara 10 orang. Sebab itu, si jurnalis langsung mengatakan: tidak ada negosiasi lagi, itu sudah jumlah uang yang kamu terima. Para pekerja pria di lembaga pemerintahan yang bekerja sama dengan kami langsung melihat si jurnalis sebagai pribadi yang tegas. ‘Untungnya’ dia bukan perempuan, karena dia pasti dibilang pelit.

Lalu saat makan siang di sebuah ibu kota provinsi sebelum kami mulai berlayar. Para pegawai pemerintahan serta merta mengajaknya ke KFC. Tak heran langsung ditolak mentah-mentah olehnya sedetik begitu sampai di pintu KFC. Lalu, para pegawai pemerintahan ini dengan senang dan riang gembira mengajaknya ke restoran yang menghidangkan sajian lokal dan hidangan laut. Katanya, dia vegetarian most of the time, tapi dia lebih pilih makan hidangan laut ketimbang daging kalau memang terpaksa. Coba kalau dia perempuan, alih-alih dianggap sehat, dan menghargai selera lokal, dia pasti sudah dibilang ribet, sulit, menyusahkan. Belum lagi ditambah pertanyaan “Kamu lagi diet yah?”

Kepada saya, tentu mereka berbeda. Penuh bercandaan seksis dan mengobjektifikasi. Sikap para ‘pejabat’ daerah ini baru berubah baik ketika mereka mengetahui saya bersekolah di Amerika, dan bersuami. Jadi, mungkin mereka pikir kalau saya tidak sekolah di Amerika dan belum bersuami, boleh saja bersenda gurau yang seksis dan mengobjektifikasi.

Comments

  1. Sekalian aja, ya. Laki guyon cabul dibilang normal, giliran perempuan dibilang ngeres dan dianggap "gampangan". Terus, laki mukul orang dibilang jantan. Giliran perempuan dibilang kasar, gak inget kodrat, ampe "Ini dia akibat feminisme kebablasan." (Entah apa maksudnya.) --> Bukan berarti saya suka guyonan cabul sama mukul orang. (Sayangnya, sebagai perempuan saya harus menjelaskan, karena pasti yang baca sekelebat komentar dan opini di atas langsung menyangka saya yang "enggak-enggak"...lagi-lagi hanya karena saya perempuan.)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Seminggu tanpa sabun dan sampo

Let’s talk about casual internalized racism in this island

Mimpi