Teman Perempuan
Saya tumbuh besar tanpa punya teman dekat karena domisili selalu berpindah-pindah setiap 5 tahun. Saya tidak pernah punya teman yang, misalnya, sudah 20 tahun berteman baik. Yah, paling-paling saya cuma punya satu teman yang saya kenal sejak TK kecil, itu pun tak terlalu dekat, dan teman yang saya kenal sejak kelas 6 SD. Namun, tak satupun yang dekat-dekat amat sampai saya bisa ceritakan urusan percintaan, atau karir ke mereka.
Saya tak pernah memikirkan urusan pertemanan ini sebelumnya, sampai pekan lalu ketika sahabatnya Giles berkunjung dan membicarakan soal best man. Katanya, dia kecewa kami tak melakukan upacara pernikahan, karena dia ingin sekali berpidato di pernikahan Giles. Lalu saya pikir, siapa yang kira-kira akan saya pilih untuk berpidato kalau kami memutuskan untuk mengadakan acara pernikahan?
Ketika saya bilang saya tak memikirkan urusan pertemanan, bukan berarti saya pikir teman itu tidak penting. Sebelumnya, saya hanya tak pandai saja menjaga hubungan pertemanan jarak jauh. Harus tulis surat, beli perangko, kirim-kirim ke kantor pos. Menjaga pertemanan dalam hubungan jarak jauh, terutama sebelum era internet, tak selalu mudah.
Apalagi, teman bukan sekadar benda mati yang bisa saya apa-apakan sesukanya. Saya tidak bisa jadi orang egois yang sesukanya kapan mau menghubungi teman, kapan mau menjauh dari teman, kapan mau mencak-mencak sama teman, kapan mau sayang-sayang teman. Teman juga punya perasaan, pikiran, dan juga kegiatan lain. Teman bisa jadi punya kehidupan lain yang kadang lebih sulit, dan lebih fatal akibatnya kalau tidak didahulukan.
Saya tidak bisa serta-merta menceritakan masalah hubungan saya, tapi lalu marah-marah ketika si teman bertanya dan memberi selamat soal hubungan yang pernah saya ceritakan kepadanya itu. Saya juga tidak bisa sekadar jadi radio, cerita saja semaunya sama teman, tapi selalu sibuk saat teman butuh bercerita. Hubungan pertemanan itu resiprokal. Tidak bisa berat sebelah, tidak bisa mau enaknya sendiri saja. Saat teman memuji teman disayang, saat teman memberi kritik dan masukan, malah pergi ke orang lain sambil menjelek-jelekan teman.
Punya teman itu gampang-gampang susah. Susah kalau sudah terlanjur jadi orang egois, maunya dimengerti saja oleh teman, tapi tak mau mengerti teman. Mungkin saya pernah begitu, mungkin teman saya pernah begitu. Ya namanya juga manusia, kadang-kadang mau menang sendiri.
Saya sempat punya teman akrab saat kelas 2 atau 3 SD, tapi dia harus pindah tanpa perpisahan saat kami kelas 4 atau 5 SD. Pertemanan kami juga kerap dibully “Ih, Kristi kan Kristen,” begitu kata mereka. Saya masih patah hati sampai sekarang. Masih ingat betul jalan dari rumah ibu ke rumah Kristi, pohon jambu di halaman rumah Kristi, Ibu Kristi yang mengajari cara memasak indomi (pertama kalinya saya tahu indomie goreng tidaklah digoreng), dan ayahnya yang pengemudi taksi. 20 tahun kemudian, saya tak pernah tahu lagi kabar Kristi.
Sering saya baca tulisan-tulisan bijak di sosial media. Katanya, semakin kita tua, semakin sedikit pula teman yang kita punya. Hanya tinggal segelintir saja. Apa iya?
Saya kira, semakin bertambah usia, teman saya justru bertambah-tambah. Terutama teman perempuan.
Lahir di lingkungan misoginis dan patriarki, sering kali berteman dengan perempuan dianggap tidak sekeren berteman dengan laki-laki. Geng perempuan sering direndahkan menjadi geng centil. Belum lagi masyarakat terlalu sibuk membuat sesama perempuan agar saling bersaing alih-alih saling bantu.
Namun, semakin bertambah usia, semakin bertambah juga teman-teman perempuan saya. Saya sekarang punya sekelompok teman perempuan tempat curhat, terutama sebagai sesama perempuan Asia/ Indonesia yang sering kerja/ berurusan dengan orang asing. Karena ada bercandaan-bercandaan dan curhatan-curhatan kultural, yang cuma lucu dan relevan kalau kamu curhatin ke sesama temen perempuan, sambil komentarin bule-bule white savior yang kalo ke Asia suka sok kaya dan sok jadi pahlawan. Ups… LOL.
Saya juga punya sekelompok teman yang awalnya cuma teman yoga saja, tapi kemudian malah jadi seperti support group. Saling membantu soal karir, saling update isu terbaru di Indonesia/ Asia Tenggara, saling berbagi skill, juga berbagi liburan!
Ada juga teman-teman sekolah yang sedia setiap saat ketika saya membutuhkan bantuan mereka. Atau teman-teman di Jakarta yang mau meluangkan bolos makan siang agak panjang cuma supaya kita bisa saling crita-cerita yang nggak terlalu penting juga. Belum lagi teman-teman waktu sama-sama berjuang mendapatkan beasiswa, teman-teman di perantauan Paman Sam, dan teman-teman kantor lama yang mengajarkan banyak hal.
Intinya, saya mungkin bukan teman yang ideal. Saya memang tidak punya sahabat masa kecil yang berteman dengan saya selama 20 tahun atau lebih. Saya tak memiliki banyak referensi tentang cara berteman yang baik. Namun, saya selalu berbenah untuk jadi teman yang baik, dan bahagia—juga bangga—betul dengan teman-teman yang saya miliki sekarang. Terima kasih banyak sudah mau berteman. Juga terima kasih sudah keep up dengan saya yang sering kali egois dan lupa mengontak balik dan bertanya apa kabar. Saya kadang cuma awkward and anxious aja, kelamaan mikir pesan apa yang sebaiknya dituliskan.
Jadi, siapa yang akan berpidato pada pernikahan saya?
Duh, nanti mereka hompimpa saja!
Saya tak pernah memikirkan urusan pertemanan ini sebelumnya, sampai pekan lalu ketika sahabatnya Giles berkunjung dan membicarakan soal best man. Katanya, dia kecewa kami tak melakukan upacara pernikahan, karena dia ingin sekali berpidato di pernikahan Giles. Lalu saya pikir, siapa yang kira-kira akan saya pilih untuk berpidato kalau kami memutuskan untuk mengadakan acara pernikahan?
Ketika saya bilang saya tak memikirkan urusan pertemanan, bukan berarti saya pikir teman itu tidak penting. Sebelumnya, saya hanya tak pandai saja menjaga hubungan pertemanan jarak jauh. Harus tulis surat, beli perangko, kirim-kirim ke kantor pos. Menjaga pertemanan dalam hubungan jarak jauh, terutama sebelum era internet, tak selalu mudah.
Apalagi, teman bukan sekadar benda mati yang bisa saya apa-apakan sesukanya. Saya tidak bisa jadi orang egois yang sesukanya kapan mau menghubungi teman, kapan mau menjauh dari teman, kapan mau mencak-mencak sama teman, kapan mau sayang-sayang teman. Teman juga punya perasaan, pikiran, dan juga kegiatan lain. Teman bisa jadi punya kehidupan lain yang kadang lebih sulit, dan lebih fatal akibatnya kalau tidak didahulukan.
Saya tidak bisa serta-merta menceritakan masalah hubungan saya, tapi lalu marah-marah ketika si teman bertanya dan memberi selamat soal hubungan yang pernah saya ceritakan kepadanya itu. Saya juga tidak bisa sekadar jadi radio, cerita saja semaunya sama teman, tapi selalu sibuk saat teman butuh bercerita. Hubungan pertemanan itu resiprokal. Tidak bisa berat sebelah, tidak bisa mau enaknya sendiri saja. Saat teman memuji teman disayang, saat teman memberi kritik dan masukan, malah pergi ke orang lain sambil menjelek-jelekan teman.
Punya teman itu gampang-gampang susah. Susah kalau sudah terlanjur jadi orang egois, maunya dimengerti saja oleh teman, tapi tak mau mengerti teman. Mungkin saya pernah begitu, mungkin teman saya pernah begitu. Ya namanya juga manusia, kadang-kadang mau menang sendiri.
Saya sempat punya teman akrab saat kelas 2 atau 3 SD, tapi dia harus pindah tanpa perpisahan saat kami kelas 4 atau 5 SD. Pertemanan kami juga kerap dibully “Ih, Kristi kan Kristen,” begitu kata mereka. Saya masih patah hati sampai sekarang. Masih ingat betul jalan dari rumah ibu ke rumah Kristi, pohon jambu di halaman rumah Kristi, Ibu Kristi yang mengajari cara memasak indomi (pertama kalinya saya tahu indomie goreng tidaklah digoreng), dan ayahnya yang pengemudi taksi. 20 tahun kemudian, saya tak pernah tahu lagi kabar Kristi.
Sering saya baca tulisan-tulisan bijak di sosial media. Katanya, semakin kita tua, semakin sedikit pula teman yang kita punya. Hanya tinggal segelintir saja. Apa iya?
Saya kira, semakin bertambah usia, teman saya justru bertambah-tambah. Terutama teman perempuan.
Lahir di lingkungan misoginis dan patriarki, sering kali berteman dengan perempuan dianggap tidak sekeren berteman dengan laki-laki. Geng perempuan sering direndahkan menjadi geng centil. Belum lagi masyarakat terlalu sibuk membuat sesama perempuan agar saling bersaing alih-alih saling bantu.
Namun, semakin bertambah usia, semakin bertambah juga teman-teman perempuan saya. Saya sekarang punya sekelompok teman perempuan tempat curhat, terutama sebagai sesama perempuan Asia/ Indonesia yang sering kerja/ berurusan dengan orang asing. Karena ada bercandaan-bercandaan dan curhatan-curhatan kultural, yang cuma lucu dan relevan kalau kamu curhatin ke sesama temen perempuan, sambil komentarin bule-bule white savior yang kalo ke Asia suka sok kaya dan sok jadi pahlawan. Ups… LOL.
Saya juga punya sekelompok teman yang awalnya cuma teman yoga saja, tapi kemudian malah jadi seperti support group. Saling membantu soal karir, saling update isu terbaru di Indonesia/ Asia Tenggara, saling berbagi skill, juga berbagi liburan!
Ada juga teman-teman sekolah yang sedia setiap saat ketika saya membutuhkan bantuan mereka. Atau teman-teman di Jakarta yang mau meluangkan bolos makan siang agak panjang cuma supaya kita bisa saling crita-cerita yang nggak terlalu penting juga. Belum lagi teman-teman waktu sama-sama berjuang mendapatkan beasiswa, teman-teman di perantauan Paman Sam, dan teman-teman kantor lama yang mengajarkan banyak hal.
Intinya, saya mungkin bukan teman yang ideal. Saya memang tidak punya sahabat masa kecil yang berteman dengan saya selama 20 tahun atau lebih. Saya tak memiliki banyak referensi tentang cara berteman yang baik. Namun, saya selalu berbenah untuk jadi teman yang baik, dan bahagia—juga bangga—betul dengan teman-teman yang saya miliki sekarang. Terima kasih banyak sudah mau berteman. Juga terima kasih sudah keep up dengan saya yang sering kali egois dan lupa mengontak balik dan bertanya apa kabar. Saya kadang cuma awkward and anxious aja, kelamaan mikir pesan apa yang sebaiknya dituliskan.
Jadi, siapa yang akan berpidato pada pernikahan saya?
Duh, nanti mereka hompimpa saja!
Salah satu sahabat perempuan sejati justru baru ketemu pas kerja. Bahkan saat dia menikah dan pindah ke luar kota, kami masih keep in touch. Emang bener, di lingkungan patriarki dan misoginis, cewek-cewek harus lebih kompak dan gak saling menjatuhkan, tapi sayangnya masih ada aja perempuan yang malah ikutan hobi menjelek-jelekkan sesamanya - entah karena perbedaan ideologi, standar moral, dan lain-lain. Kalo gak setuju mah, gak setuju aja. Gak usah pake menghina dan mempermalukan.
ReplyDeletecari sahabat itu juga jodoh-jodohan, yah, Mb. Kita ga tau jodohnya kapan datangnya <3
ReplyDelete