Memanfaatkan patah hati

Dulu sekali, saya sempat patah hati mahadahsyat. Kalau dingat-ingat, rasanya berlebihan, tapi waktu itu sakitnya bukan main. Bukan cuma mental, tetapi juga fisik. Kerjaan saya menangis saja berhari-hari, jadi malas makan, atau kadang jadi terlalu banyak makan yang tak sehat. Malas keluar rumah, malas bergaul, rasanya depresi betul. Rasanya ingin pergi ke dunia baru yang isinya orang-orang baru yang tidak saya kenal. Rasanya ingin tidur terus, tidak bangun-bangun sampai rasa sakitnya tiba-tiba hilang. Bahkan ketika bergaul pun, kerjaan saya curhat melulu. Mungkin sampai  teman-teman jengah mendengar curhatan saya.

Tulisan ini tidak akan bicara tentang hubungan tersebut, melainkan soal bagaimana bertumbuh paska hubungan. Belakangan saya sering membaca artikel soal hubungan dan proses pencarian hubungan, tetapi, hampir tidak ada yang berbicara soal bagaimana mengatasi kegelisahan paska hubungan. Bagaimana rebound dari patah hati. Kita ini masyarakat yang mengagung-agungkan punya pasangan, tapi menegasikan efek samping dari punya pasangan: patah hati.

Maka jadilah kita sekelompok orang yang senang betul mengolok-olok mereka yang tidak punya pasangan. Kita jadi manusia yang gagap memahami kesedihan dan patah hati, lalu melahirkan remaja yang ingin bunuh diri karena diputusin, atau jadi jadi susah konsentrasi di sekolah gara-gara cowok yang disukai memilih cewek dari kelas sebelah.

Lebih parah lagi, orang tua juga gagap ketika berkomunikasi dengan anaknya dalam perkara patah hati. Tidak pernah ada yang mengajari saya bahwa patah hati adalah lumrah, bahkan penting untuk menjadi dewasa. Tak pernah ada yang memberi tahu saya bahwa pengalaman yang tidak menyenangkan macam patah hati justru bisa jadi sangat positif.

Saya masih ingat perasaan nyeri di ulu hati dan rasa tertohok ketika saya mengetahui pacar memilih berdusta agar bisa hang out dengan perempuan lain, lalu kami beradu argumen. Menurutnya, saya tak boleh cari masalah dengan perempuan tersebut, karena kami akan terugikan. Katanya, si teman perempuan memiliki jejaring yang sangat luas. Sebab itu kami berpotensi kehilangan banyak teman. Kesal betul saya mendengar itu. Kesannya, jejaring saya sedikit dan tidak lebih baik dari si teman perempuan. Saya pun jadi kompetitif, ingin membuktikan diri lebih baik, juga berjejaring lebih luas.

Dari situ, petualangan dimulai. Saya mulai memikirkan skenario terbaik untuk membalas perlakuan mengesalkan ini, dan memutuskan bahwa satu-satunya cara membalas yang paling baik dan efektif adalah dengan menjadi manusia yang lebih baik dari perempuan yang dia kagumi ini.

Namun, satu yang perlu diingat, jangan pernah menyalahkan perempuan saja. Masyarakat sering menempatkan perempuan dalam posisi memperebutkan laki-laki. Duh, amit-amit. Padahal dalam setiap perselingkuhan, laki-lakinya juga pasti salah, tetapi masyarakat dan media yang seksis lagi patriarkis sering kali menempatkan laki-laki sebagai pemenang dan perempuan lah yang akan berkelahi dan berebut laki-laki.

Kembali ke soal bertumbuh dari energi patah hati, energi yang tadinya saya gunakan untuk menangis bermalam-malam, kemudian dialihfungsikan untuk berkompetisi. Meski saya tetap putus juga dari pacar, saya jadikan si teman perempuannya sebagai motivasi untuk menjadi lebih baik, saya jadikan dia sebagai kompetitor. Bukan kompetisi untuk mendapatkan perhatian si mantan pacar, tetapi sekadar pembuktian, bahwa saya tidak lebih rendah.

Saya tak perlu berkompetisi langsung, apalagi mengumumkan hal tersebut. Kompetisi hanya terjadi dalam pikiran saja. Saya jadikan dia sebagai benchmark. Saya betulan mencari tahu apa kelebihan dia, sejauh apa karirnya, dan seberapa pintar dia secara akademis. Lalu saya menargetkan untuk bisa lebih baik. Tak ada yang tahu soal kompetisi ini selain diri saya. Lama kelamaan, kompetisi yang tadinya untuk membalas sakit hati, mulai berubah menjadi penyemangat untuk rebound.

Bertahun-tahun saya berkompetisi tanpa diketahui. Kalau katanya dia jago bahasa Inggris, saya harus jago Bahasa Inggris dan bahasa lain. Maka saya mulai les Bahasa Jerman, juga berlatih menulis dan berbicara Bahasa Inggris setiap malam. Dia jurnalis? Saya harus jadi jurnalis yang lebih andal, maka saya mendaftar fellowship menulis untuk jurnalis, juga untuk creative writing.  Apa saja yang saya dengar dia bisa, saya harus lebih bisa. Begitu saja bertahun-tahun. Bahkan proses pencarian beasiswa pun saya lihat sebagai bentuk competitive advantage.

Semakin lama, kompetisi yang saya bangun ini jadi semakin positif. Karena sudah tidak pacaran, saya jadi punya banyak waktu luang, jadi lebih sering ke gym dan rutin berolah raga. Lama-lama jadi hidup lebih sehat, lemak berkurang, otot bertambah. Karena katanya dia punya banyak teman, saya jadi semangat memperluas jaringan dan bertemu banyak orang. Dari orang-orang ini saya mendapat banyak pengalaman dan ide-ide baru, juga mendapat banyak kesempatan. Saya jadi sering mengerjakan kerjaan-kerjaan sampingan, dari situ jadi punya cukup uang untuk solo traveling ke Lombok, Jerman, Thailand, bahkan juga Papua.

Lama-lama, saya jadi memikmati proses ini sebagai pengembangan diri. Alih-alih berkompetisi untuk menjadi lebih baik dari teman perempuannya itu, akhirnya proses ini bertransformasi menjadi kompetisi terhadap diri sendiri, agar jadi lebih baik dari diri saya yang kemarin. Proses ini, bertahun-tahun kemudian, membuat saya menjadi manusia yang berbeda. Proses ini membawa saya ke dunia baru.

Saya sudah tidak lagi peduli apakah saya menulis lebih baik, atau berjejaring lebih luas dari dia. Saya tak lagi peduli apa pekerjaannya sekarang, dan sesukses apa dia. Saya sempat mengintip dan mengikuti sosial medianya beberapa bulan lalu. Mengingatkan saya pada masa dulu sekali, saat dia ngetweet: "I just want to make friends go get a life, bitch!" Membaca itu, kesalnya sampai ke ubun-ubun, ngotot betul ingin berteman sampai harus kucing-kucingan, pikir saya yang sedang emosional. Saat itu juga saya kirimkan pesan singkat. Hal yang langsung saya sesali, bahkan hingga kini. Karena pemenang bukanlah soal siapa yang benar, tetapi siapa yang bisa menahan emosi dan tetap tenang. Seharusnya saya tak perlu tersulut sampai berkirim pesan segala. Makanya, saya sempat ingin meminta maaf saat mengintip sosial media beberapa bulan lalu itu. Namun, saya urungkan niat, karena beberapa hal terkadang lebih baik untuk tidak disampaikan.

Akhirnya, proses ‘kompetisi’ ini, membuat saya percaya bahwa hidup itu proses belajar yang tak habis-habis, untuk mengembangkan diri, dan mengendalikan emosi. Proses untuk tumbuh yang tidak pernah selesai, untuk menjadi versi dari diri kita yang lebih baik dari yang kemarin. Dan untuk menjadi manusia yang lebih baik, kita bisa dapat energi dari mana saja, bahkan dari patah hati sekalipun.



Comments

  1. saya nggak sengaja nemu tulisan ini dan saya bisa relate dgn kemarahan dan kekesalan Mba Rika. Bedanya, saya belum tiba di tahap Mba Rika memetik buah pengembangan diri yg awalnya datang dari semangat "kompetisi." semoga saya bisa tiba di tahap itu juga karena rasanya sudah cukup saya menyiksa diri sendiri selama hampir setahun belakangan ini. Terima kasih ya Mba Rika sudah menuliskan cerita ini.

    Cheers.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi DEM, terima kasih sudah membaca dan komentar. Kadang cara orang lain terlihat berhasil, tapi ternyata nggak cocok buat kita. Bisa jadi, cara coping dan adaptasi kita terhadap patah hati berbeda. Misalnya, "berkompetisi" mungkin pas buat aku, tapi bisa jadi emang nggak kamu banget. Mungkin kamu bisa coba berdamai dengan ikut meditasi, atau olah raga, atau menyibukan diri. Apapun itu, semoga bisa segera lega, yah!

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mimpi

Ustad yang berfikir dengan penisnya

Takut