Pertanyaan tiga tahun lalu: kenapa menanam sejuta pohon merugikan?

Tiga tahun lalu, saya bertanya kepada seorang rekan kerja yang paham betul persoalan lingkungan. Pertanyaan saya sederhana: saya tahu program penanaman sejuta pohon bukanlah program yang baik, karena selain mahal, kesuksesan menanam pohon sangatlah kecil. Jadi yang paling baik tentu saja adalah dengan tidak menggunduli hutan. Namun, apa kesalahan fundamental dari menanam pohon?

Rekan kerja cuma tersenyum kecil sambil tertawa: panjang kalau diceritakan.

Percakapan terhanti sampai di sini. Pertanyaan saya tidak terjawab, dan jadi merasa bodoh betul.

Pekan lalu seorang teman bertanya kepada saya: kenapa program menanam sejuta pohon itu tidak baik? Lalu saya teringat kembali percakapan tiga tahun lalu tersebut.

Saya pikir, ini kesalahan ilmuwan, atau kebanyakan orang pintar. Terlalu malas menjelaskan kepada orang bodoh seperti saya, atau mungkin tidak tahu cara menjelaskan persoalan rumit dengan bahasa sederhana. Bisa juga terlalu arogan, merasa waktunya terlalu berharga untuk digunakan menjelaskan persoalan rumit kepada orang yang tidak paham.

Padahal, keengganan ini adalah kesalahan fatal. Ketidakpedulian adalah awal mula fanatisme. Tertawa kecil tersebut bisa membuat orang jadi rendah diri, atau bahkan sakit hati, karena merasa dicap bodoh.

Orang biasa seperti saya, yang sungguh-sungguh bertanya dan ingin tahu, bisa padam semangatnya, lalu menganggap hal-hal yang terdengar rumit adalah tidak relevan bagi kehidupan saya, sehingga akhirnya tidak lagi peduli. Belum lagi ditambah perasaan tidak setara dengan orang pintar, lalu terciptalah jarak.

Lebih gawat lagi kalau ketidakpedulian dirangkul oleh orang-orang yang yang ingin memanfaatkan kenaifan, dirangkul oleh mereka yang berpersepsi yang sempit.  Lalu, sebelum kita sadari, muncullah fanatisme, atas nama apapun, agama, suku, ras, golongan. Karena mereka yang merasa pintar enggan berbagi. Lalu ketika nasi sudah menjadi bubur cuma bisa mencemooh: ini pasti karena kurang pendidikan. 

Mengapa sulit betul turun dari menara gading, dan berbicara dengan bahasa yang dimengerti khalayak ramai? Mengapa ilmu harus menjadi sesuatu hal yang tinggi dan tidak dibagi-bagi? Apakah orang-orang pintar ini terlalu arogan, atau justru khawatir kehilangan hak istimewa apabila ada lebih banyak orang yang memahami masalah-masalah ruwet dengan bahasa yang sederhana?

Saya tidak bisa menjawab pertanyaan soal kenapa orang pintar sulit bagi-bagi ilmu. Tapi, kira-kira begini penjelasan kenapa menanam sejuta pohon merugikan, dengan bahasa yang mudah saya pahami.
  1. Tidak semua area alami yang mendukung flora dan fauna (juga disebut bioma) harus berbentuk hutan. Setiap area punya keunikan masing-masing, dan mendukung jenis flora dan fauna yang berbeda-beda. Hutan yang sehat bisa jadi bioma yang baik, namun bukan berarti bioma yang bukan hutan adalah tidak baik. Misalnya saja, hutan hujan tropis yang sangat lebat tidak bisa mendukung bibit pohon jenis tertentu untuk tumbuh karena banyak jenis bibit pohon tropis membutuhkan pencahayaan matahari langsung, sementara di hutan tropis yang rimbun, cahaya matahari tidak mencapai ke bagian bawah dan tertahan di kanopi rerimbunan daun.
  2. Sistem akar di padang rumput juga bisa menyimpan banyak karbon. Merusak padang rumput dengan menanam pohon bisa merusak sistem penyimpanan karbon ini, dan malah melepas karbon ke udara.
  3. Penyimpanan Karbon di sistem akar tidak akan terganggu meski terjadi kebakaran hutan. Sementara hutan menyimpan karbon di atas tanah, yang akan terlepas ketika terjadi kebakaran hutan. Sistem penyimpanan karbon di bawah tanah, bisa jadi lebih aman dari kemungkinan terlepas ke atmosfir.
  4. Rawa gambut juga salah satu bioma yang mendukung flora dan fauna yang unik, selain juga dapat menyimpang banyak karbon. Mengganti rawa gambut dengan pohon atau kebun akan melepas banyak karbon, dan sebanyak apapun pohon yang ditanam tidak bisa menggantikan penyimpanan karbon yang terlanjur dibuang ke udara.
  5. Sejak SD kita selalu diajarkan bahwa hutan hujan tropis memiliki lapisan tanah yang sangat kaya, padahal belum tentu. Lapisan tanah di hutan hujan tropis bisa jadi sangat kekurangan nutrisi karena curah hujan yang tinggi akan membasuh nutrisi tanah. Sementara laju penguraian yang tinggi juga mengurangi tumpukan daun yang bisa menjadi tempat tinggal banyak serangga, reptil, atau sarang burung.
  6. Suksesi area tertentu untuk menjadi hutan bukanlah hal mudah yang sim salabim langsung jadi cuma karena kita menanam pohon. Jika pohon tertentu tidak bisa ditanam di area tertentu, bisa jadi karena memang area tersebut tidak memiliki komponen-komponen yang mendukung pohon untuk tumbuh.
  7. Berapa biaya untuk bobot pohon? Berapa karbon yang dikeluarkan untuk memindahkan bibit pohon? Berapa kemungkinan bibit tersebut sukses menjadi pohon? 
  8. Menanam pohon dengan serampangan bisa jadi menguras air tanah di kawasan tersebut, mengganggu habitat padang rumput alami, mengikis lapisan air tanah, dan merusak lanskap.
Bukan berarti tidak boleh menanam pohon. Menanam boleh-boleh saja, tapi banyak yang harus diperhatikan. Apalagi kalau menanamnya sampai sejuta pohon. Belum lagi mikirin pohon apa yang ditanam, apalagi kalau pohonnya ternyata bukan pohon asli dari daerah tersebut. Pohon datangan dari daerah lain yang bersifat invasif biasanya bersifat semacam menyerbu dan mengancam pohon lokal. Merebut lahan dan nutrisi, dan tidak memiliki musuh alami.

Sekali lagi, bukan berarti tidak boleh menanam pohon. Hanya saja kalau Kementerian yang itu niatnya adalah mengurangi pemanasan global dan mengurangi karbon, programnya lebih tepat kalau: nol deforestasi, dilarang menebang pohon, dilarang merusak padang rumput, jangan mengalihfungsikan lahan, dan semacamnya, alih-alih tanam sejuta pohon yang nda jelas pohonnya bisa hidup apa nda.

Mungkin masih banyak alasan lain, semoga nanti orang-orang pintar yang lebih paham persoalan ini, bisa juga berbagi dengan bahasa yang bisa dimengerti.

Comments

Popular posts from this blog

Mimpi

Seminggu tanpa sabun dan sampo

Let’s talk about casual internalized racism in this island