Kemenangan Trump adalah kekalahan Kemanusiaan
Hari Selasa lalu kami menyaksikan sejarah baru di Amerika
Serikat, seorang pemerkosa, patriarkis, rasis, misoginis terpilih oleh sistem
electoral college untuk menjadi presiden mulai Januari nanti, hingga empat
tahun ke depan. Bukan sejarah yang menyenangkan bagi mayoritas masyarakat
Amerika. Ya, mayoritas.
Amerika tidak memilih Presidennya langsung seperti di Indonesia, Electoral College lah yang memilih presiden. Kalau mereka memilih langsung, Hillary Clinton yang akan keluar sebagai pemenangnya karena menang suara meski tipis. Sebab itu saya katakan mayoritas. Donald Trump menang karena hitungan algoritma tertentu memilih electoral college yang pada akhirnya memilih Trump. Sudah tiga kali electoral college menggagalkan calon dari Partai Demokrat, termasuk pada tahun 2000, saat Al Gore urung menjadi presiden.
Pada hari rabu semua orang berusaha untuk saling simpati dan berempati. Namun, jelas terlihat wajah-wajah kuyu yang berusaha menenangkan temannya itu juga butuh ditenangkan, perlu diberi kepastian bahwa negaranya tidak akan berbuat gila seperti mengahalau muslim untuk memasuki Amerika, atau menghentikan progress terkait hak azazi manusia dan perubahan iklim. Meski demikian, tak sekalipun nama Trump disebut, tak sekalipun. Semua orang seperti memahami rasisme sudah ada jauh sebelum Trump, hanya saja Trump membuat rasisme seolah-olah wajar dan dapat diterima. Semua orang berusaha berbesar hati, sekesal apapun mereka terhadap bakal presiden terpilih, yang lebih penting dari pada mencela dan berkeluh kesah adalah mencari cara agar bisa berkontribusi positif dalam keadaan yang setidak enak apapun.
*PS. Teman-teman University of Michigan langsung bereaksi soal insiden jilbab tersebut, malam nanti mahasiswa akan melakukan aksi anti diskriminasi di Diag.
Amerika tidak memilih Presidennya langsung seperti di Indonesia, Electoral College lah yang memilih presiden. Kalau mereka memilih langsung, Hillary Clinton yang akan keluar sebagai pemenangnya karena menang suara meski tipis. Sebab itu saya katakan mayoritas. Donald Trump menang karena hitungan algoritma tertentu memilih electoral college yang pada akhirnya memilih Trump. Sudah tiga kali electoral college menggagalkan calon dari Partai Demokrat, termasuk pada tahun 2000, saat Al Gore urung menjadi presiden.
Satu hal yang agak mengganggu bagi saya adalah bahwa
pemerintah tidak mengakomodasi warga negara untuk menggunakan hak suara. Bahkan
angka Golput di Amerika mencapai 46%. Hal ini bisa jadi karena mereka memang
tidak peduli, atau juga karena tidak memiliki akses lantaran hari Pemili
bukanlah hari libur, sehingga banyak pekerja dengan jam kerja intensif tidak
dapat memilih.
Saya tak pernah melihat hal begini seumur hidup, begitu juga
menurut teman-teman yang berasal dari Amerika. Rabu pagi, semua orang terlihat
begitu khawatir, sedih, frustrasi, kecewa, marah. Namun juga berusaha untuk saling
memberi semangat dan energi positif kepada satu-sama lain. Saya tak pernah
melihat solidaritas sebesar ini, saat semua orang berusaha saling menguatkan,
dan memberi ruang untuk harapan. Sangat menarik berada di Ann Arbor dan
menyaksikan semua emosi di sekitar saya sejak Selasa malam, saat beberapa teman
mulai menangis menyadari perubahan besar yang akan terjadi.
Ann Arbor adalah semacam kantung kecil masyarakat
teredukasi, liberal, dan cenderung lebih progresif dari kota-kota di
sekitarnya. Ann Arbor berada di Michigan, yang merupakan swing state, alias
tidak teguh haluan politiknya. Pada Pemilu lalu Michigan menjadi basis
Republikan, namun 90% penduduk Ann Arbor memilih Demokrat. Saking berbedanya
dengan kota sekitar, seorang herbalis yang saya wawancara sepekan sebelum hari
Pemilu bercanda bahwa Ann Arbor ini kota iluminati, dan sering dianggap tidak
ada dalam keputusan pemerintahan.
Di kantung liberal ini, pekan lalu bisa jadi pekan terburuk
bagi penduduknya. Saya dikelilingi oleh wajah kuyu dan pucat pasi. Mungkin
wajah saya juga begitu. Kemenangan Trump adalah kekalahan bagi kemanusiaan.
Kekalahan bagi para pembela iklim, penjaga lingkungan, dan ilmuwan. Beberapa
hari lalu saja dia sudah mulai menunjuk Myron Ebell, seorang yang sangat
skeptis soal perubahan iklim, untuk memimpin EPA, badan lingkungan Amerika.
Kemenangan Trump adalah kekalahan bagi perempuan di seluruh
dunia. Sebagai pemimpin negara besar, Trump akan menjadi panutan jutaan orang,
padahal mulutnya Trump comberan banget kalau sudah bicara soal perempuan.
Santai saja dia merendahkan perempuan dan mengomentari tubuh perempuan, sambil
melegitimasi bahwa perempuan harus memuaskan tatapan laki-laki (male gazing).
Belum lagi komentar penuh kebencian terkait ras dan agama lain yang terus
menerus dilancarkan selama masa kampanye. Saya nggak ngerti lagi sih Fadli Zon
seakrab apa sama Trump sampe bisa bilang Trump baik-baik saja sama Islam.
Sehari sejak kemenangan Trump, teman yang tinggal di negara
bagian lain mendapat surat edaran dari asosiasi mahasiswa muslim. Menurut surat
tersebut serangan terhadap muslim di Amerika adalah yang tertinggi sejak
kejadian 9/11. Mereka menyarankan perempuan sebaiknya ditemani laki-laki jika
ingin beraktivitas di luar rumah. Lalu, baru saja lima menit yang lalu saya
mendapatkan surel peringatan kejahatan yang mengatakan bahwa ada laporan tentang seorang pria kulit putih yang memaksa perempuan berjilbab untuk membuka jilbabnya. Pria itu mengeluarkan korek api dan mengancam akan membakar perempuan tersebut apabila dia enggan membuka jilbabnya*. Dikatakan bahwa polisi sedang menyelidiki kasus ini. Sangat mengerikan bahwa minoritas pendukung Trump di Ann Arbor bisa sebegitu vokalnya di ruang publik, di kota yang begitu liberal. Halo Fadli Zon?
Trump dengan kampanyenya yang terus menerus merendahkan
manusia lain menjadi semacam melegitimasi bagi banyak perbuatan dan perkataan tercela. Tak
lagi ada suci sejak dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Adanya kebencian
dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Cuma butuh sehari saja hingga teman
saya yang berkewarganegaraan ganda Puerto Rico dan Amerika Serikat didatangi
pria kulit putih di tempat umum sembari berkata “You go home to your country,
Trump doesn’t want you to be here, this is for white only,” begitu kalau tidak
salah ucapan mereka kepada teman yang jelas-jelas lahir di Amerika. Hal yang
sama juga terjadi pada pacarnya teman yang keturunan Asia-Amerika. Bukan
berarti kamu boleh berkata demikian kepada mereka yang tidak lahir di Amerika,
hanya saja, yang lahir di Amerika saja dibegitukan, apalagi saya yang cuma
numpang sekolah dan dibayari pula sama pemerintahnya. Bisa muntab mereka.
Hari berkabung
Rabu lalu, adalah hari berkabung. Sebelum berangkat kuliah,
saya hanya bisa memeluk teman serumah yang terisak. Dia terus-terusan berkata:
I can’t believe this; many people are going to suffer from this result, the
poor are going to be even more vulnerable.
Setiap professor mengambil waktu untuk membicarakan dan
memahami apa yang baru saja terjadi. Beberapa orang mulai terisak, bahkan ada
yang menangis tak henti. Salah satu professor memainkan “We shall overcome”
(anthem dari gerakan masyarakat sipil di Amerika, mungkin setara dengan Darah
Juang kalau di Indonesia) saat kelas dimulai, dan meminta maaf kepada mahasiswa
non-Amerika, memastikan bahwa hasil pemilu tidak merepresentasikan masyarakat
Amerika pada umumnya. Profesor lain menyarankan mahasiswa untuk meninggalkan
kelas apabila butuh kontemplasi untuk memahami apa yang sedang terjadi.
Sementara bagi mereka yang membutuhkan teman bicara, kampus menyediakan ruangan
khusus. Rektor dan Dekan bahkan mengirimkan surat edaran kepada seluruh
mahasiwa agar tetap bersemangat dan tidak patah arang, persoalan
lingkungan tak bisa menunggu empat tahun lagi, kita pasti bisa berbuat sesuatu. Juga memberi daftar 10 acara
terkait hasil pemilu ini bagi mereka yang membutuhkan dukungan dari rekan-rekan
sekitar.
Salah satu professor menyarankan untuk tidak mengecek media
sosial hingga akhir pekan guna menenangkan hati. Pada kuliah terakhir mengenai
transisi, kami mengganti percakapan menjadi: bagaimana premis dan prinsip dalam
mata kuliah tersebut dapat diaplikasikan untuk Amerika saat ini, bagaimana kita
bertransisi ke pemerintahan baru tanpa kehilangan resiliensi. Sementara dari
kejauhan, yel-yel dan orasi dari teman-teman yang sedang protes di ruang
terbuka kampus masuk ke ruang-ruang kuliah.
Lalu saat kuliah berakhir, dia cuma berkata: “be kind to each other,
even when that person has a different opinion than you. Be kind to that person
in order to be kind to yourselves, don’t projecting your anger to him. We’re
all hurts, hurting each other won’t help. Show your empathy, that is the best
way to heal,”
Pada hari rabu semua orang berusaha untuk saling simpati dan berempati. Namun, jelas terlihat wajah-wajah kuyu yang berusaha menenangkan temannya itu juga butuh ditenangkan, perlu diberi kepastian bahwa negaranya tidak akan berbuat gila seperti mengahalau muslim untuk memasuki Amerika, atau menghentikan progress terkait hak azazi manusia dan perubahan iklim. Meski demikian, tak sekalipun nama Trump disebut, tak sekalipun. Semua orang seperti memahami rasisme sudah ada jauh sebelum Trump, hanya saja Trump membuat rasisme seolah-olah wajar dan dapat diterima. Semua orang berusaha berbesar hati, sekesal apapun mereka terhadap bakal presiden terpilih, yang lebih penting dari pada mencela dan berkeluh kesah adalah mencari cara agar bisa berkontribusi positif dalam keadaan yang setidak enak apapun.
Kemenangan Trump adalah dukungan bagi rasisme, islamophobic, dan sikap misoginis. Kemanangan Trump adalah kekalahan bagi kemanusiaan, sebab itu kita tetap harus bersikap manusiawi agar bisa menunjukan bagaimana kemanusiaan sebenarnya.
*PS. Teman-teman University of Michigan langsung bereaksi soal insiden jilbab tersebut, malam nanti mahasiswa akan melakukan aksi anti diskriminasi di Diag.
Comments
Post a Comment