Perempuan Sukabumi dan laki-laki Arab
Taksi terakhir yang saya tumpangi
di Jakarta adalah taksi hijau yang biasa mangkal di apartemen di bilangan
Benhil. Hal pertama yang ditanya pengemudi
taksi saat itu adalah sudah berapa lama saya tinggal di apartemen tersebut, dan
apakah saya berasal dari Sukabumi.
Rupanya apartemen tersebut tipikal sebagai tempat tinggal pria Arab dan perempuan asal Sukabumi. Saya tak mengerti mengapa si pengemudi berbicara dengan nada merendahkan perempuan Sukabumi, tapi saya mendapat kesan bahwa nilai-nilai yang dia anut menganggap perempuan Indonesia yang tinggal di apartemen tersebut adalah bukan perempuan baik, sekali lagi, menurut nilai yang dia percaya.
Rupanya apartemen tersebut tipikal sebagai tempat tinggal pria Arab dan perempuan asal Sukabumi. Saya tak mengerti mengapa si pengemudi berbicara dengan nada merendahkan perempuan Sukabumi, tapi saya mendapat kesan bahwa nilai-nilai yang dia anut menganggap perempuan Indonesia yang tinggal di apartemen tersebut adalah bukan perempuan baik, sekali lagi, menurut nilai yang dia percaya.
Saya jelaskan kepada pengemudi
bahwa saya tak lagi tinggal di Jakarta dan baru tiba dari Kamboja malam
sebelumnya. Saya hanya akan menumpang selama dua hari di apartemen tersebut.
Anehnya, dia terus mendesak bahwa saya pasti berasal dari Sukabumi karena fisik
saya adalah tipikal kesukaan pria Arab, entah bagaimana maksudnya.
Terlepas dari pandangan dia tentang perempuan asal Sukabumi, saat itu saya marah betul. Bukan karena dianggap perempuan Sukabumi, tetapi karena diobjektifikasi sedemikian rupa. Namun, marah kepada si pengemudi hanya akan membuang energi sia-sia. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah mengedukasi mereka. Marah kepada mereka yang seksis (terutama lantaran betapa buruknya infrastruktur di masyarakat terkait pendidikan kesetaraan gender) hanya akan membuat saya sama buruknya. Ketika saya bilang sama buruknya, saya tidak menyangkut-pautkan dengan level sekolah formal atau pekerjaan mereka, tetapi semata pada betapa seksisnya mereka.
Terlepas dari pandangan dia tentang perempuan asal Sukabumi, saat itu saya marah betul. Bukan karena dianggap perempuan Sukabumi, tetapi karena diobjektifikasi sedemikian rupa. Namun, marah kepada si pengemudi hanya akan membuang energi sia-sia. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah mengedukasi mereka. Marah kepada mereka yang seksis (terutama lantaran betapa buruknya infrastruktur di masyarakat terkait pendidikan kesetaraan gender) hanya akan membuat saya sama buruknya. Ketika saya bilang sama buruknya, saya tidak menyangkut-pautkan dengan level sekolah formal atau pekerjaan mereka, tetapi semata pada betapa seksisnya mereka.
Saya katakan kepada si pengemudi
bahwa saya sudah tidak tinggal di Jakarta sesudah bekerja di Jakarta selama
tujuh tahun dan tinggal di daerah Kuningan. Saya juga akan pindah ke Amerika
esok hari, sebab itu kenapa saya hanya menumpang saja di apartemen teman dan
tidak mencari tempat tinggal sendiri. Komentar pengemudi kemudian adalah: 1. Pakaian
saya terlalu sederhana untuk seseorang yang akan pindah ke Amerika dan sudah
pernah ke luar negeri(!), 2. Saya pasti pindah ke negara "maju" lantaran ikut suami
(surprise! Not!).
Rupanya dalam mental map si
pengemudi, perempuan dianggap tidak bisa mencapai apapun tanpa laki-laki.
Kira-kira begini:
1. Perempuan
tidak mampu tinggal di tempat layak semacam Apartment B tanpa sokongan dari
laki-laki è
pernyataan soal perempuan Sukabumi dan pria Arab.
2. Perempuan
tidak mampu dapat pekerjaan layak dan kehidupan yang dia inginkan kalau bukan
karena laki-laki è
pernyataan soal ke luar negeri karena (jalan-jalan dengan) suami.
3. Perempuan
Indonesia yang pindah ke negara "maju" tidak bisa melakukan hal tersebut dengan
kemampuan sendiri è
perempuan Indonesia cuma bisa tinggal di negara maju karena ikut suami.
4. Lebih
parah lagi, perempuan tidak bisa sukses kalau tidak memuaskan male-gazing è berpakaian terlalu
sederhana.
Lebih dari tiga hal tersebut, saya
masih ingat betapa tidak nyaman dan marahnya saya saat dia terus menerus mengobjektifikasi tubuh saya sampai pada akhirnya saya harus berkata: Pak, saya tidak suka sama
pembahasannya, deh. Dan dia dengan entengnya menjawab: saya kan hanya memuji
harusnya bangga dong. Saya marah betul sampai akhirnya berceramah: Pak saya sudah
bangga sama diri saya dan pencapaian saya tanpa harus dipuji dengan cara yang
merendahkan, dan dengan pandangan yang menelanjangi. Kalau istri bapak atau anak
bapak “dipuji”—kalau pakai istilah bapak—dengan cara yang sama, apa bapak
bangga atau bapak harap mereka bangga? Nggak dong, karena ini bukan memuji, ini
menghina, dilihat dengan pandangan dan omongan yang menelanjangi dan menghakimi. Juga merendahkan derajat saya sebagai manusia yang punya hak dan
kemampuan yang sama dengan laki-laki. Ujar saya sembari menahan kesal.
Saya tak mau marah dengan cara yang
tak santun, karena amarah hanya akan mendistraksi inti pesan yang berusaha saya
sampaikan. Saya juga tak mau langsung keluar begitu saja dari taksi, karena tak adil kalau saya men-judge tanpa membuka ruang diskusi, juga, karena dia harus tahu bahwa perbuatannya tersebut tidak terpuji, lagi pula, saya ogah memendam rasa marah sendirian. Saya masih ingat betapa saya gemetar karena menahan amarah dan
berusaha mengatakan hal tersebut dengan tegas namun santun. Saya marah kepada
pengemudi karena dia merasa berhak mengobjektifikasi saya sedemikian rupa dan
mengaggap hal tersebut lumrah-lumrah saja. Saya marah kepada pengemudi karena
perempuan dianggap begitu rendahnya sebagai barang yang siklus hidupnya cuma
berkutat pada disukai dan tidak disukai laki-laki. Lebih dari itu, saya marah
dan merasa dicurangi oleh masyarakat, tatanan masyarakat dan sistem sosial.
Masyarakat macam apa yang melanggengkan tindakan, sikap, dan pikiran manusia
yang bisa-bisanya menghina perempuan sebegitu dalamnya?
Comments
Post a Comment