Duh, majalah perempuan!
Sebulan belakangan ini saya dan teman serumah memutuskan untuk berbelanja pekanan di sebuah supermarket tak jauh dari tempat tinggal. Setiap kali berbelanja, mata saya tertegun pada lembar-lembar mengilap majalah perempuan yang tertata rapi di sebelah meja kasir.
Pekan lalu, karena penasaran, akhirnya saya ambil salah duanya, dan melihat-lihat isinya. Isinya mungkin 80% iklan, sisanya adalah sugesti bahwa kamu kurang cantik, terlalu gendut, terlalu kurus, terlalu hitam, terlalu putih, terlalu banyak kerutan, terlalu kekanakan, terlalu ini, terlalu itu.
Sulit betul jadi perempuan.
Sulit betul jadi perempuan.
Tipikal majalah lain adalah majalah gosip, yang isinya juga lebih banyak iklan, lalu soal perceraian, pertengkaran, seleb perempuan mana yang operasi plastik, seleb perempuan mana yang penampilannya kurang oke, seleb perempuan mana yang begini begitu.
Terakhir kali saya membeli majalah adalah saat masih bersekolah, mungkin SMP atau SMA. Masih ingat betul bagaimana majalah remaja mempengaruhi cara pandang soal diri sendiri, bagaimana mereka mengajarkan untuk tidak mencintai diri sendiri. Bagaimana tidak, kalau satu halaman artikel mengatakan kamu harus PD, tapi ada 20 halaman iklan yang bilang kamu harus khawatir sama jerawat, bau badan, kegendutan, dan rambut yang awut-awutan, sama saja bilang: kamu nggak akan pernah bener. You just can't never win.
Transisi dari majalah anak-anak ke majalah remaja bagi adalah lompatan besar. Lompatan besar dari pola pikir bahwa saya bisa jadi apa saja, menuju pola pikir bagaimana caranya supaya anak laki-laki seganteng Taylor Hanson bisa suka sama saya, bagaimana supaya tubuh bisa ideal seperti model di iklan Hammer, bagaimana supaya kulit saya mulus seperti mbak di iklan Ponds.
Tak lama kemudian, saya berhenti membeli majalah remaja. Bukan cuma karena majalah remaja sangat Jakarta sentris (saya sempat pindah ke provinsi lain di usia remaja), tetapi juga pada saat itu saya pikir ini majalah hanya akan jadi sampah.
Kembali ke pekan lalu, saat membalik-balik halaman mengilap majalah perempuan itu, saya jadi penasaran, siapa penulisnya, apakah mereka perempuan, siapa pemimpin editornya, apakah dia perempuan, siapa pemilik medianya, apakah dia perempuan. Banyak majalah perempuan yang penulisnya perempuan, dan memiliki pemimpin editor perempuan, tetapi tidak pemiliknya.
Saya jadi bertanya-tanya, kalau mereka punya anak perempuan, atau keponakan perempuan, apakah para penulis, dan para editor ini mau anak, adik, atau keponakan mereka jadi persis seperti perempuan yang mereka gambarkan dalam majalah yang mereka tulis?
Comments
Post a Comment