Hal-hal kecil tapi penting yang sering terlupa saat mendaftar beasiswa
Saat berusia 23, saya berjanji akan mencoba mendaftar beasiswa pada usia 25. Waktu itu saya sedang senang sekali menjadi wartawan, manalah sempat mendaftar beasiswa, yang saya kerjakan setiap hari cuma liputan, menulis, dan memantau berita lain (supaya nggak kebobolan). Hal-hal yang saya pedulikan cuma: hari ini mau nulis apa, semoga ga ada berita yang ditarik ke halaman satu (biar ga banyak-banyak nulis pengganti), semoga banyak iklan.
Jadilah saat memasuki usia 25, saya mendaftar sebuah beasiswa ke Australia. Saat itu saya belum paham caranya merefleksikan diri ke aplikasi, jadi sekadar mengisi kolom-kolom aplikasi saja. Apalagi saat itu saya baru berganti pekerjaan. Selain karena masih beradaptasi, pekerjaan baru yang menyenangkan, membuat saya bertemu banyak orang, dan banyak jalan-jalan, membuat saya lupa pada rencana mendaftar beasiswa. Barulah dua tahun kemudian, saya betul-betul niat mendaftar
beasiswa. Saking semangatnya, sudah dari jauh-jauh hari saya mengantongi LoA dari SOAS, University of London. Namun
ternyata jodohnya bukan ke Inggris.
Nah, selama dua tahun proses mendaftar hingga menuju keberangkatan ini, saya baru menyadari, saat mendaftar beasiswa, kita sering kali terlalu fokus pada bagaimana
caranya agar diterima, alih-alih memilih mana yang paling cocok untuk kita.
Jangan lupa, diri kita adalah asset, kita memang membutuhkan beasiswa, tetapi
beasiswa juga membutuhkan kita, minimal untuk membuktikan programnya berjalan.
Sering kali pendaftar beasiswa bersikap pokoknya keterima dulu, waktu mendaftar beasiswa Australia pun saya begitu. Lebih parah lagi ada juga yang pokoknya keterima beasiswa dulu agar ada alasan 'kabur' dari pekerjaan saat ini.
Saat diterima oleh sebuah beasiswa, saya sedang
senang-senangnya bekerja. Sebab itu jadwal pelatihan beasiswa yang sangat padat dan mengganggu pekerjaan sempat membuat saya hampir melepas beasiswa yang sudah diterima. Saya bahkan sudah berkorespondensi dengan donor mengenai rencana untuk tidak melanjutkan beasiswa. Belajar dari pengalaman ini, saya ingin berbagi mengenai hal-hal yang sering
terlupa saat mendaftar beasiswa:
1. Pastikan
kita mengetahui dengan menyeluruh program beasiswa yang akan didaftarkan. Tidak
semua detil dapat ditemukan di internet, sebab itu jangan ragu untuk mencari
kontak alumni, ataupun penerima beasiswa yang sedang bersekolah, tanyakan pada
mereka mengenai detil pelatihan yang harus dilakukan (kalau ada), perjanjian
dengan pihak beasiswa, nominal bantuan finansial yang akan didapat, benefit
(asuransi, administrasi), kegiatan yang harus dilakukan, bahkan kalau ada juga
pastikan tentang pinalti. Jangan malu bertanya karena ini menyangkut hidup kita nantinya, namun juga jangan memberi
pertanyaan malas, pastikan sudah browsing dan mencari tahu sebelum
bertanya.
2. Cari
tahu fokus dan tujuan pemberi beasiswa. Secara umum beasiswa akan menyebutkan
tujuan program di website, juga memberi tahu jurusan apa saja yang
menjadi fokus. Namun secara khusus mereka biasanya punya fokus berbeda setiap
tahunnya, misalnya dari sembilan fokus, pada tahun tertentu mereka akan menerima lebih banyak untuk
lingkungan, dan tahun lainnya ekonomi. Selain dapat mempengaruhi kesempatan untuk mendapatkan beasiswa, memahami fokus program beasiswa bisa jadi mengubah
pilihan kamu terhadap suatu beasiswa, misalnya karena tidak memiliki cara
pandang yang sama tentang pananganan suatu masalah.
3. Be
open minded. Jangan terlalu terpaku pada satu beasiswa atau satu kampus saja,
apalagi saat ini banyak sekali yang menawarkan beasiswa. Rasanya lebih dari
setengah teman main saya sudah bersekolah dengan beasiswa yang berbeda-beda
saking banyaknya pemberi beasiswa. Juga ada ratusan ribu kampus di dunia ini, masak
hanya satu kampus saja yang punya jurusan yang pas. Jurusan memang sulit
untuk ditawar, tapi negara, kampus, dan pemberi beasiswa mungkin masih bisa
dinegosiasi. Dulu saya mati-matian tidak mau mencoba mendaftar beasiswa ke
Amerika Serikat, saya takut di-Amerikanisasi, saya tidak suka pada kebijakan
senjata api di Amerika, saya tidak suka kebijakan perang Amerika, saya tidak
suka rasisme di Amerika… Namun ternyata setelah didorong-dorong oleh dua orang
teman, sampai ditunggui untuk mengirim aplikasi (thanks!), saya malah mendapat jawaban
dari dua beasiswa, dan dua-duanya ke Amerika Serikat. Baru kemudian setelah mempelajari
lebih lanjut soal sekolah di Negeri Paman Sam ini, saya justru menemukan jurusan yang jauh
lebih tepat dibandingkan dengan jurusan-jurusan yang ada di Eropa maupun
Australia.
4. Understand
yourself. Mengenal diri sendiri adalah awal yang paling penting. Saya menyadari
betul yang menggagalkan pada saat wawancara beasiswa Australia adalah karena tidak mengenal diri sendiri dengan baik, belum betul-betul yakin mau jadi
apa dan mau bagaimana nantinya. Mengerjakan aplikasi-aplikasi (baik
beasiswa maupun kerja) adalah salah satu cara baik untuk mengenal diri sendiri,
kita jadi bertanya: terus kalau sekolah mau apa? Sesudah itu apa yang bisa kita
kembalikan ke donor, ke masyarakat, ke diri sendiri? Apa yang mau dikembangkan?
Mau ada di mana 10 tahun lagi? Apa yang kita mau dan nggak mau?
Karena percuma berlatih wawancara ribuan kali dengan bantuan kisi-kisi
pertanyaan dan jawaban dari internet, kalau kita belum betul-betul mengenal
diri sendiri.
5. Revisi dan revisi lagi. Seperti di point sebelumnya, semakin sering mengisi aplikasi, semakin
kita paham diri sendiri. Gagal lagi, coba lagi, asal pastikan ada perubahan
positif dalam aplikasi. Minta pendapat banyak orang dengan latar belakang
berbeda. Mentor saya pernah bilang: jangan kirim aplikasi sebelum direvisi 10
kali. Proses beasiswa nggak selalu setahun jadi. Misalnya saya mendaftar pada
2013 untuk ke Australia. Berhenti mencoba pada 2014, dan baru mencoba lagi pada
2015 untuk Inggris dan Amerika. Namun baru berangkat 2016. Proses beasiswa ini
bisa bertahun-tahun, sebab itu jangan ditunda prosesnya. Bagi saya, proses
beasiswa tidak dimulai dengan mengisi aplikasi, tapi dimulai dengan meyakinkan
diri bahwa saya sungguh perlu dan niat bersekolah, karena saya bukan tipe
ilmuan, dan benci dengan bahasa jurnal yang sok pintar. Proses saya dimulai
dengan bertanya pada diri sendiri, mau jadi apa 10 tahun lagi, dan apa yang
saya butuhkan untuk berada di posisi tersebut, dan beasiswa adalah salah satu
alat untuk membantu saya berada di posisi tersebut. Proses kontemplasi ini akan sangat membantu saat mengisi aplikasi.
6. Beasiswa
dan bersekolah di luar negeri bukan jawaban, dan bukan tujuan. Dapat beasiswa
dan sekolah di luar negeri ga akan membuat seseorang jadi lebih baik dari
siapapun, karena sekolah di luar negeri ya cuma… sekolah! Bukan akan jadi lebih baik dari orang lain cuma karena sekolah, karena saya percaya
sekolah cuma alat, dan ga semua orang butuh sekolah sebagai alat. Jangan
jadikan beasiswa sebagai tujuan.
7. Menerima beasiswa bukan akhir drama. Justru drama baru dimulai ketika kamu diterima. Ketika menerima beasiswa, meski sekolah belum dimulai, saya sudah harus mengganti prioritas hidup dari bekerja ke mengurusi beasiswa karena ada banyak detil yang harus dikerjakan. Mengisi aplikasi beasiswa sih ndak ada apa-apanya dengan ngurusin segala
kerebekan administrasi, birokrasi, dan aplikasi-aplikasi lainnya, mulai dari
pelatihan (bisa jadi sebelum berangkat atau ketika sudah di negara tujuan),
cari tempat tinggal, imunisasi (kalau perlu), birokrasi visa, mengurus
asuransi, mendaftar kelas. Sebab itu poin satu menjadi penting, karena berbeda pemberi
beasiswa, berbeda juga tetek bengek yang diurusi. Ada pemberi beasiswa yang
memberi lebih banyak uang tunai bulanan, namun segala urusan administrasi, asuransi, birokrasi diurus sendiri. Sementara ada juga pemberi beasiswa yang
sudah mengurusi segala administrasi visa, birokrasi kampus, sampai asuransi,
dan kamu tinggal duduk manis dan tanda tangan kalau perlu, namun memberi nominal uang tunai yang jauh lebih sedikit.
8. Jangan
cuma lihat jurusan dan mata kuliah, tapi juga lihat opsi tugas akhir serta
detil-detil lain. Ada banyak kampus bagus, tapi fleksibilitas masing-masing
kampus pasti berbeda. Bagi yang tidak mau menulis thesis, mungkin lebih memilih
kampus yang memungkinkan mengerjakan project atau laporan magang sebagai opsi.
Ada banyak kampus yang terkenal secara akademis, tapi juga penting untuk
mencari tahu komunitas seperti apa yang nantinya akan dihadapi.
Jadi, mau mendaftar beasiswa yang mana?
Baca juga:
Baca juga:
Comments
Post a Comment