desa yang tumbuh kumuh
Desa nenek saya, Desa Cihuni di Tangerang Selatan, pada
tahun 1990-an adalah wilayah indah dengan pematang sawah, empang kaya ikan, dan
latar belakang pegunungan. Nenek kami tak perlu membeli air di dalam galon, air
tanah yang begitu jerih hanya perlu direbus sampai mendidih. Segala pohon buah
tumbuh di halaman rumah, alpukat, berbagai jenis rambutah, jambu susu, hingga
durian yang menyimpan koloni semut merah. Kenanga, melati, geranium, jengger
ayam, tumbuh begitu saja di sekitar pepohonan buah. Saya masih ingat bagaimana
setiap kali berkunjung saya akan memanjat pohon rambutan, dan setiap kali juga
nenek meminta saya turun dan menyuruh main rumah-rumahan saja.
Malam hari, kami berjalan membawa senter ke rumah guru
ngaji. Kalau lampu senter dimatikan, ada banyak kunang-kunang. Tak jauh dari
rumah guru ngaji adalah Kali Cisadane yang salah satu sisinya dihuni pohon
mangga besar, dan sebuah warung. Dari situ kami menaiki perahu melintasi kali
jika ingin masuk dan keluar desa.
Pesantren kami berada di antara masjid besar, dan musholla.
Jalan terdekat ke sana melewati sawah. Sawah satu dan lainnya
dipisahkan rerimbunan pohon jarak, dan bunga-bunga berwarna ungu. Setiap sore, sehabis mengaji, kami menangkap serangga warna-warni. Kalau menengok ke barat,
kami bisa melihat pegunungan nun jauh di sana.
Ingatan saya berhenti di situ, lupa kalau desa terus tumbuh.
Hingga akhirnya saya berkunjung beberapa waktu lalu, dan menyadari bagaimana
desa-desa dan pemukiman di sekitar Jakarta bertransformasi menjadi wilayah kumuh.
Akhir tahun 90an pengembang mulai membangun ini-itu. Sebagai orang desa, kami senang saja datang ke ‘rumah
contoh’, begitu kami menyebutnya. Tak lama kemudian rumah contoh menjadi
perumahan sungguhan, lapangan golf semakin luas, dan pusat perbelanjaan tumbuh
satu per satu. Desa kami, perlahan menghilang, digusur dari segala penjuru.
Kemudian saya
mengira-ngira, jangan-jangan pemerintah memang tidak sungguh-sungguh memiliki
rencana tata ruang. Satu-satunya hal yg membuat Tangerang Selatan kini terlihat rapi
adalah karena seluruhnya dilakukan pengembang, dengan menggusur desa-desa yang
dipaksa menjadi kota.
Dua dekade kemudian, sawah dan empang menjadi petakan-petakan rumah dengan gang
sempit di antaranya. Lapangan bola entah ke mana, dan Kali Cisadane yang jernih
kini cokelat, terkadang hitam, bahkan merah muda, hadiah dari pabrik tekstil di
sekitarnya.
Hal yang sama terjadi di Palembang. Saya pindah ke kota ini
berbarengan dengan gelombang reformasi. Kami terhindar dari keriuhan di
Jakarta, dan mendapati kota kecil dengan jalanan tanah merah. Di samping rumah
adalah anak sungai yang jernih dan dangkal. Setiap sore kami menyusuri sungai
dengan sepeda, saat tak lagi ada jalan, kami tinggal sepeda di mana saja, lalu
berjalan mengikuti aliran sungai. Adik laki-laki biasanya pulang dengan ikan
tangkapan. Saya dan adik laki-laki, takjub pada capung, anak kodok, dan hutan
di belakang rumah.
Pagi tadi, saya terbangun di rumah Ibu di Palembang lantaran
bau sampah yang dibakar tetangga. Dari teras lantai dua, saya tertegun
menyadari anak sungai jernih di samping rumah, kini menjadi got lebar berwarna
hitam. Capung berwarna merah, kuning, hijau, biru, tidak terlihat lagi. Tanah
lapang di dekat rumah sudah menjadi rumah-rumah bedeng kontrakan, tak ada lagi
kunang-kunang saat saya melintas pulang malam sebelumnya. Hanya ada deretan
mobil murah, dan kemacetan hingga gang di depan rumah.
Mungkin pada akhirnya semua wilayah akan berubah, atas nama
pembangunan, GDP, dan modernisasi. Pertumbuhan kota diserahkan kepada swasta.
Desa-desa disulap menjadi perumahan bergaya Eropa dan pusat belanja. Penduduk yang sudah ada sejak mula-mula, diminta hengkang dengan
iming-iming uang. Mungkin tak lagi dianggap layak tinggal di dekat marmer
mengilat dan rumput lapangan golf yang tertata rapi. Jika di Yogya pemukiman di
sekitar Kali Code yang dulu kumuh kemudian disulap menjadi rumah-rumah berwarna-warni
yang begitu apik dalam gambar, pemukiman di kali-kali sekitar Jakarta dilenyapkan
begitu saja, dengan alasan penertiban. Persoalan sejak zaman Soeharto belum
lagi usai: pemerintah dan masyarakat miskin kota tak menemukan jalan tengah.
Ah, saya berharap pernah mengambil gambar desa nenek dan rumah ibu pada tahun 1990an. Sayangnya tidak.
Comments
Post a Comment