untuk Rika 10 tahun lalu
Hi Rik,
Menjadi 18 di kota orang memang tak pernah mudah. Setelah pada 16 tahun diburu-buru memilih masa depan dan perkuliahan yang tak tahu akan bagaimana juntrungannya, pindah ke kota orang sendirian sebelum cukup usia untuk punya KTP pula (yang sangat menyulitkan), lalu tiba-tiba saja kamu menjadi 18, penuh rasa ingin tahu, grasa-grusu, lalu patah hati melulu. Patah hati pada kehidupan, pada pelajaran agama dari guru ngaji di kampung, patah hati pada laki-laki, bahkan patah hati pada ayah.
Katanya hati yang terluka adalah yang paling banyak belajar, tak perlu menyesal. Kabar baiknya, kita belajar untuk memiliki rasa percaya diri--setelah bertahun-tahun merasa paling buruk rupa. Kabar buruknya, kita menggantungkan kepercayaan diri tersebut pada orang lain. Aku masih ingat, pada usia 17 tahun yang lalu kita pikir kita jatuh cinta, lalu menghabiskan tiga tahun berikutnya bersama pria yang memberikan kita kepercayaan diri dan (kita sangka) cinta, pria yang tak hanya mencuri harta benda, tetapi juga rasa percaya. Kepercayaan pada diri sendiri, juga pada hubungan.
Kita memang tak melulu bisa memilih yang terbaik saat baru 18. Tak cuma keteteran mengatur jadwal belajar dan perkuliahan, hati juga keteteran mengatur hidup percintaan. Kamu belum tahu saat ini, namun nanti ada saatnya kamu sadar bahwa kita telah mengambil pilihan yang tidak bijak. Namun juga, kita sama-sama tahu kita tidak akan pernah menyesali kesalahan-kesalahan dan kebodohan-kebodohan tersebut. Karena toh hidup bukan soal andai saja dan apabila. Kebodohan dan ketidakbijakan itu juga yang akhirnya membuat kita menjadi kita. Seberapapun buruknya, kita cuma punya satu pilihan, mencintai diri kita sendiri.
Aku tak lagi ingat apa yang sedang sibuk kita kerjakan pada November 2005. Mungkin kita sedang menimbang-nimbang agama mana yang paling ramah dan tidak membuat kita membenci manusia, mungkin kita sedang menimbang-nimbang apa masih perlu memakai jilbab, mungkin kita sedang menraskrip hasil wawancara demi tiga lembar seratus ribuan yang bisa dipakai makan hingga setengah bulan ke depan, mungkin kita sedang menangis di pojok perpustakaan saat menyadari betapa tak mudah menjadi 18 tahun dan sendirian.
Kalau kita bisa berbicara, cuma satu yang perlu kita bicarakan: atasi rasa takut, bermimpilah yang tinggi. Jangan takut hidup tanpa ayah, karena kamu akan baik-baik saja pada akhirnya. Jangan membatasi mimpi, jangan selalu merasa tidak bisa begitu-tidak bisa begini, jangan rendah diri.
Jangan terus-menerus ingin bunuh diri.
Jangan lupa jatuh cinta pada diri sendiri, setiap hari.
28 tahun Rika,
xx
Comments
Post a Comment