Kenapa kamu harus berkunjung ke Myanmar?

Tahun ini saya dua kali ke Myanmar, pertama kali adalah pada Mei, dan Desember (saya masih di Myanmar saat memposting ini). Keduanya merupakan waktu yang asik buat berkunjung. Pada Mei Myanmar sudah mengakhiri musim panas, dan mulai masuk musim penghujan. Musim panas/ kering di Myanmar bisa sangat panas, maka berkunjung di penghujung musim panas dan menuju musim hujan lebih menyenangkan. Sementara pada awal Desember, musim hujan sudah berakhir, namun cuaca belum terlalu panas.

Pertama kali menginjakan kaki di Yangon, saya berpikir: wah, kota ini seperti Jakarta tahun 80an di film Dono (well, karena lahir pada penghujung 80an, saya tak punya memori bagaimana Jakarta pada masa itu). Penduduknya, baik laki-laki maupun perempuan, di kota besar atau provinsi, masih menggunakan Lonji, semacam kain sarung, memakai bedak dingin di pipi, dan menyirih di sana-sini. Gedung pencakar langit belum banyak, sepeda masih mudah dijumpai, merpati memenuhi sudut-sudut kota--bertengger di kabel apa saja atau di jalanan, dan pembangunan ada di mana-mana. Dalam jarak 7 bulan saja, Yangon sudah berubah, pada kunjungan kedua, kota kecil ini sedang sibuk membangun jembatan layang, macet makin merajalela. Prediksi saya, dalam beberapa tahun mereka akan jadi jauh lebih modern, saat ini saja sudah ada beberapa daerah seperti Bangkok kecil. Bedanya dengan Jakarta dan Bangkok, di Yangon sepeda motor dilarang. Sebab itu tak ada opsi naik ojek untuk menghindari macet.

Meski ibu kota negara pindah ke Napitaw, Yangon tetap menjadi kota dengan penduduk terbanyak, dan pusat ekonomi. Kalau berjalan-jalan di Yangon, akan banyak ditemui gedung-gedung bekas kementerian. Sebagian kosong, sebagian lagi dialihfungsikan. Napitaw adalah kota bentukan pemerintah militer pada 90an. Melalui literatur yang saya baca saat kuliah, pemerintah militer pada saat itu diam-diam membangun kota baru dan pelan-pelan memindahkan ibu kota agar gelombang perubahan tak mudah menerpa pemerintahan.

Meski pemerintah militer masih berjaya, menurut saya tak perlu takut menjadi turis di Myanmar. Justru sebaliknya, mendatangi negara yang sedang dalam gelombang perubahan justru membuat kunjungan menjadi lebih menarik. Dari sisi sosial-politik, Myanmar juga sedang bebenah. November lalu mereka baru mengadakan Pemilu pertamanya sejak Pemilu tahun 90an, yang dimenangkan NLD. Pemilu kali ini NLD kembali berjaya, namun belum ada yang tahu apa yang akan terjadi sesudah ini, apakah pemerintahan militer akan melunak, atau tetap jalan terus.

Contoh lain yang begitu nyata dari perkembangan Myanmar, selain pembangunan gedung dan jalan, adalah akses internet yang semakin baik. Seorang teman berkunjung ke Myanmar pada 2014 bercerita kalau harga SIM Card pada saat itu masih mencapai ratusan ribu hingga jutaan kalau dirupiahkan. Seperti di Indonesia pada akhir tahun 1990an. Namun saat saya berkunjung, SIM Card sudah jauh lebih terjangkau, baik dari segi harga, maupun akses untuk membeli. Meski demikian, jangan berharap internet Myanmar sudah seperti negara Asia Tenggara lainnya. Internet Myanmar adalah yang paling kacrut. Bahkan saat saya di Raja Ampat saja, internet masih jauh lebih bagus dari pada di pusat kota Yangon. Jadi, bersiap-siap untuk tidak terlalu sering posting foto keren dulu di Instagram.

Oya, tentu Myanmar bukan cuma Yangon. Seperti Indonesia yang memiliki keindahan alam berbeda di tiap provinsi, keindahan alam di pelosok pelosok Myanmar tak kalah dengan negara Asia Tenggara lainnya, ribuan candi di Bagan, pengunungan karst di Hpa An, atau pantai-pantai pasir putir yang tenang.

Tak cuma alamnya yang luar biasa, penduduk Myanmar yang saya temui juga ramah betul. Beberapa dari mereka memang suka menatap saya dengan penuh curiga, dikira saya adalah penududuk lokal yang arogan dan tak mau berbahasa Burma karena main-main dengan kelompok anak kulit putih. Bahkan sekali waktu supir taksi pernah melengos begitu saja saat teman (yang kauskasoid) menawar taksi sementara saya diam saja di belakang. Si supir taksi menatap saya dengan tajam sebelum tancap gas. Namun pada kali lain seorang ibu yang sedang bersepeda, turun dari sepedanya dan mengejar kami, hanya untuk bilang: you are so beautiful, kepada saya. Keramahan yang tak diduga-duga.

Hal lain yang membuat kunjungan ke Myanmar menjadi lebih menarik adalah, pemegang paspor Indonesia dibebaskan visa untuk berkunjung ke Myanmar. Meski bagian dari ASEAN, namun tidak semua negara di Asia Tenggara memiliki kerja sama serupa dengan Myanmar, Thailand yang bertetangga dekat saja harus memiliki visa untuk berkunjung ke sana. Pemegang paspor Indonesia bebas visa selama 14 hari kunjungan di Myanmar. Namun Myanmar agak lebih rewel dibanding negara Asia Tenggara lainnya. Sebaiknya cantumkan alamat hotel dengan lengkap di arrival card. Bahkan, saya dengar-dengar, kalaupun nantinya akan menginap di rumah teman, cantumkan saja alamat hotel apapun yang bisa ditemukan di internet, pemerintah tidak terlalu suka turis yang tidak menginap di hotel.

Selain visa yang gratis, tiket ke Myanmar juga tak semahal yang dibayangkan. maskapai merah yang murah meriah memiliki tarif terendah hingga Rp1,2 juta untuk satu kali perjalanan. Atau kalau rajin-rajin mengecek tarif, mungkin bisa mendapatkan harga yang jauh lebih murah.

Tentu saja saya tidak mendapatkan apa-apa dari pemerintah Myanmar untuk mempromosikan negaranya. Hanya merasa negara selucu ini (iya, Myanmar ini, kalau anak manusia, mungkin sedang lucu-lucunya) harus dikunjungi sebelum Yangon berubah menjadi Jakarta atau Bangkok lainnya. Selalu ada yang menakjubkan dari Myanmar!

Misalnya... Mixagrip yang ada di mana-mana, dan kaleng Khong Guan yang featuring anak bule nyasar ;)





(Cerita lebih lengkap soal tempat-tempat yang bisa dikunjungi di Myanmar, serta tips dan trik akan coba diceritakan pada posting-posting selanjutnya)

Comments

Popular posts from this blog

Seminggu tanpa sabun dan sampo

Let’s talk about casual internalized racism in this island

Mimpi