Paris dan Rasa Cemburu

Saya baru kembali dari Laut Maumere setelah berhari-hari berburu tuna dengan kapal huhate, saat lima notifikasi dari Guardian berkedip-kedip di pojok telepon selular, katanya 158 orang meninggal dalam serangan di Paris. Tak lama facebook memberi notifikasi, katanya lima teman saya selamat dari serangan di paris. Beberapa hari sebelumnya, sebelum terisolasi di laut lepas, seorang teman membuat status yang mengatakan bahwa dia aman karena serangan di sisi lain dari Beirut.

Pada titik ini saya merasa notifikasi facebook ini membantu betul, andaikan ada juga untuk Beirut. Belum selesai saya berpikir, beberapa teman mulai mengganti foto profil dengan avatar bendera Perancis. Ah, solidaritas!

Lalu saya mulai menelusuri laman facebook, dan status yang pertama saya temukan adalah kecemburuan dari seorang teman, katanya mengapa baru sekarang semua orang peduli pada tragedi kemanusiaan, mengapa pada saat asap melanda separuh Indonesia, tidak ada yang menggantikan foto profilenya dengan avatar berlapis bendera Indonesia. Mengapa kamu tidak, pikir saya saat membaca status tersebut.

Saya tak tahu pasti sejak kapan, namun beberapa tahun belakangan, setiap kali ada solidaritas dan doa-doa dipanjatkan melalui laman media sosial terkait serangan terhadap kemanusiaan di negara maju, kecemburuan langsung muncul. Mengapa tragedi di negara lain tak mendapat perhatian sebesar negara maju, mengapa media tak meliput tragedi di negara lain, mengapa hanya kulit putih saja yang penting.

Saya bukan orang media, tidak paham agenda media. Mungkin karena media yang punya jangkauan seluas bola dunia memang media yang dimiliki orang putih, jadi mereka lebih cepat bereaksi ketika yang diserang adalah negara maju (dengan catatan salah satu serangan di Perancis sebetulnya terjadi di restoran Kamboja, artinya bukan milik orang putih, yah). Dulu ketika kuliah saya belajar bahwa kedekatan adalah faktor terpenting, jadi, bisa jadi, karena media-media besar ini pasar terbesarnya adalah pembaca jadi negara maju, maka berita dari negara maju jadi lebih legit. Toh berita ekonomi di media besar juga lebih seru ngomongin kebijakan The Fed dari pada Bank Sentral Zimbabwe, misalnya. Sama saja dengan media nasional yang lebih update saat membicarakan banjir Jakarta, dari pada bencana di Yahukimo.

Namun demikian, ya bisa jadi juga media-media besar ini bias dan rasis, lebih responsif pada berita-berita terkait negara besar, seolah-olah yang di luar negara-negara maju bukanlah manusia yang sama berharganya. Sama juga seperti media nasional yang jawasentris dalam pemberitaan. Namun, sebetulnya pernyataan mendasarnya, kalau bukan diberitakan oleh media, bagaimana bisa tahu ada tragedi kemanusiaan di Beirut, Syiria, dan negara lainnya?

Baiklah, saya bukan pakar media, tidak akan membicarakan media. Karena setahu saya media punya pemodal sendiri, punya pasar sendiri, punya tujuan sendiri. Pil pahitnya, media tak selalu idealis. Telan saja itu dulu.

Saya masih berputar-putar pada laman facebook, setelah berhari-hari terapung-apung di laut, penasaran juga pada cerita-cerita di peradaban facebook. Makin lama saya berputar-putar makin banyak bermunculan status yang menunjukan kecemburuan, mengapa teman-temannya hanya banyak yang berdoa untuk Paris, tidak berdoa untuk Syria, tidak berdoa untuk Lebanon, tidak berdoa untuk negara-negara lain. Kira-kira begitu.

Awalnya saya apatis saat membaca status-status penuh rasa cemburu itu. Ya sudah, saat Ibu lebih perhatian pada abang atau adik, saya juga pasti cemburu. Saya juga ingin diperhatikan lebih. Pikir saya saat itu. Namun, makin lama, kecemburuan tersebut kok agak mirip dengan ujaran kebencian. Mungkin saya orang yang dangkal, pikiran saya sesederhana, apa yang salah dengan orang lain yang berdoa untuk keselamatan manusia lainnya? Kalau memang mau minta didoakan juga untuk kasus lain, atau diperhatikan, apakah marah-marah dan mengumpat akan membuat orang lain peduli lalu ikut mendoakan? Sepertinya tidak begitu.

Lagi pula, mengapa kita harus mengatur untuk hal apa orang lain oleh berdoa, dan yang paling penting mengapa harus membanding-bandingkan musibah? Setiap musibah memiliki alasan masing-masing, memiliki aktor masing-masing, tetapi setiap musibah jelas melukai hal yang sama: kemanusiaan. Lalu dengan mengejek solidaritas, bukankah kita tambah melukai kemanusiaan itu sendiri?

Sepakat bahwa bom di Beirut, atau serangan di banyak wilayah lain di Timur Tengah tidak mendapat porsi yang cukup di media, sehingga mungkin pada akhirnya kesadaran dan pengetahuan soal serangan tersebut juga tidak masal seperti serangan pekan lalu. Namun bukan berarti kita juga memiliki cukup legitimasi untuk mengerdilkan serangan di Paris, atau serangan di belahan bumi madanapun. Bukan berarti serangan di Paris lebih penting dari serangan di Beirut, juga bukan berarti kematian di Perancis lebih menyedihkan dari pada kematian di Meksiko, Jepang, Syria, atau bahkan di Indonesia. Saya pikir tak satupun yang berpikiran demikian.

Tentu bagus juga meningkatkan kesadaran dan pengetahuan bahwa penjahat kemansuiaan tak hanya beraksi di Paris, tapi juga di banyak belahan lain dunia. Namun, mengerdilkan korban paris dan merundung teman yang bersolidaritas untuk Paris juga tidak akan membantu korban di Beirut. Bagi saya, mengerdilkan korban Paris sambil menunjuk-nunjuk teman yang bersolidaritas justru menunjukan teroris sudah menang. Mereka berhasil merusak kedamaian hingga sisi tersempit kemanusiaan kita, membuat kita berpandangan dengan pola yang sama dengan mereka, yang setuju dengan kami adalah kawan, dan yang tidak adalah lawan, ayo kita ganggu sampai mereka sepaham, atau musnahkan saja.  

Mengapa kita merasa berhak menentukan kepada siapa media sosial boleh bersedih, bersimpati, bersolidaritas, dan berdoa? Padahal, kalau memang mau berdoa, bersimpati, bersolidaritas ya lakukan sajalah, boleh untuk Paris, untuk kota atau negara lain, untuk siapapun yang ingin didoakan. Berdoa dan bersolidaritas juga untuk kemanusiaan, perdamaian untuk seluruh dunia. Karena dunia saat ini butuh lebih banyak cinta, dari pada teman-teman yang marah-marah di sosial media.

Comments

Popular posts from this blog

Seminggu tanpa sabun dan sampo

Let’s talk about casual internalized racism in this island

Mimpi