perihal pulang kampung
Saya baru mendarat dari Manila saat bertemu kawan dari kampung halaman di Soekarno-Hatta. Seperti biasa, percakapan basa-basi dari mana, mau ke mana, apa kabar, meluncur begitu saja. Sampai akhirnya muncul pertanyaan mudik lebaran. Tahun ini saya memutuskan untuk tidak pulang, dan si kawan menjawab: ah, bukannya kamu memang lebih sering pergi ke sana-sini tapi jarang pulang? Tentu saya menolak pernyataan tersebut.
Bagi saya, pulang kampung sudah tak bermakna pulang ke rumah. Namun jika ada satu hal yang sama pentingnya dengan menemukan rumah, mungkin pulang kampung salah satunya.
Tiga hari setelah percakapan tersebut, akhirnya baru menyadari bahwa ternyata pada tahun lalu tak mudik juga pada saat lebaran. Tidak pulang ke rumah. Aneh juga mendengar tidak pulang ke rumah, padahal rumah adalah di manapun saya berada. Namun tidak bagi sebagian orang, definisi rumah didominasi oleh keberadaan orang lain, ayah-ibu, atau suami/istri dan anak. Maka bagi yang belum berencana menikah, rumah adalah di mana orang tua berada.
Sebagai perantau sejak usia 16 tahun, saya tak pernah terpikir untuk pulang dan menetap di tempat Ibu saat ini berada, atau pulang ke rumah, kata si kawan. Mungkin begitu juga yang ada di pikiran banyak perantau lain. Sebagian bisa jadi beralasan sulit mencari pekerjaan di kampung halaman, sebagian lain mungkin mengejar nominal pendapatan yang lebih besar, kesempatan-kesempatan berbeda, pengalaman-pengalaman baru, infrastruktur yang lebih baik, atau juga mungkin soal pasangan hidup. Apapun alasannya, keengganan untuk pulang ke kampung halaman terjebak di banyak hati para perantau.
Bagi saya, proses menjadi perantau adalah proses pembebasan. Bebas untuk menemukan cara berpikir baru, kebiasaan-kebiasaan baru, tanggung jawab-tanggung jawab baru (atau mungkin juga untuk tidak bertanggung jawab). Dengan merantau, individu memiliki kekuatan, juga tanggung jawab penuh terhadap diri sendiri, terhadap identitas diri.
Menjadi perantau adalah menjadi individu, menjadi diri sendiri, bukan sekadar bagian dari keluarga ini-itu, atau bagian dari masyarakat ini-itu. Menjadi perantau adalah melepaskan segala ekspektasi dan tekanan masyarakat, dan tumbuh tanpa kekhawatiran. Menjadi perantau adalah soal menemukan diri sendiri.
Merantau adalah proses membongkar diri sendiri. Seperti mengambil jarak terhadap diri, lalu menimbang-nimbang, menilai-nilai, menambah-mengurang, lalu membentuk lagi si diri. Tak ada keluarga yang ikut campur secara langsung. Setiap individu bebas membentuk diri, sekaligus bertanggung jawab penuh atas diri bentukannya tersebut.
Bagi saya, ini proses pembebasan yang paling melegakan. Saya belajar banyak, dan mungkin ketagihan terhadap kenyamanan menjadi perantau. Bisa jadi perasaan lega itu juga yang berubah menjadi enggan pulang kampung.
Pulang ke kampung halaman adalah proses beradaptasi dengan nilai-nilai yang sudah begitu lama tak lagi saya anut. Misalnya menjadi perempuan harus bisa memenuhi pekerjaan domestik, kalau berumah tangga harus bisa memasak (ya bikin aja rumah makan kalau gitu dari pada rumah tangga), kalau sudah melewati batas usia tertentu maka perempuan akan kadaluarsa dan nggak laku lagi (jadi perempuan itu semacam jus buah atau susu karton?), atau bahkan anak perempuan ngapain sih sekolah tinggi-tinggi, punya gaji gede kalau ga mampu cari suami (padahal George Clooney aja jomblonya sampai usia 50 tahun).
Pulang kampung adalah proses tidak mengenakan saat tetangga menyodorkan bayi-bayi yang menurut saya tidak lucu sama sekali--dan saya enggan sekali menggendong bayi-bayi yang terus-menerus disodorkan itu. Hanya karena perempuan, bukan berarti harus tertarik dengan bayi-bayi, kan?
Pulang kampung adalah saat saya harus berusaha menahan kesal saat bapak-bapak di komplek perumahan, atau juga ibu-ibunya, tertawa berderai-derai atas bercandaan yang seksis.
Pulang kampung adalah…
melepas rindu terhadap ibu dan adik-adik.
Mungkin pulang kampung sudah bukan lagi pulang ke rumah. Bagi saya, pulang kampung adalah memberi gizi pada jiwa, meredakan kekerasan hati, menggantinya dengan teduh tatapan ibu, serta rasa hangat menjadi kakak ataupun adik. Juga, tak lupa, belajar bertoleransi, terutama terhadap tetangga usil dan tante-tante kepo.
Bagi saya, pulang kampung sudah tak bermakna pulang ke rumah. Namun jika ada satu hal yang sama pentingnya dengan menemukan rumah, mungkin pulang kampung salah satunya.
Membaca tulisa anda saya perkirakan anda akan membujang hingga berumur 50 tahun hehehehe
ReplyDelete