Selfie dan Follback
Sebagai generasi internet yang menghabiskan 1-2 jam setiap hari di media sosial untuk kesenangan pribadi, serta 1-2 jam untuk urusan pekerjaan, permintaan 'follow back' tentu bukan barang baru. Aku kira tradisi follow back ini dimulai dari twitter yang konsepnya sharing informasi, tidak seperti facebook yg pertemanan. Maka salah satu alasan utama mengikuti akun di twitter, dan belakangan instagram, adalah karena tertarik dengan konten.
Namun, seringkali orang tidak menganggap konten suatu akun cukup penting atau cukup menarik untuk diikuti. Ya tidak apa-apa, kan tergantung tujuan membuat akun, ada yang digunakan untuk sekadar mengikuti konten tertentu, ada juga yang bertujuan untuk menyebar konten yang dirasa penting. Tujuan apa saja boleh, mana suka.
Namun, jarak kemudian tercipta saat pasar tidak menyukai suatu konten, sementara si produser konten sangat ingin pasar mengonsumsi konten yang dia buat tersebut. Bisa jadi pasar tidak tahu saja kalau kontennya bagus, sehingga dibutuhkan buzzer, atau dibutuhkan upaya 'marketing' dari diri sendiri. Namun, dari produser konten juga perlu melihat kesukaan target digitalnya itu dong, agar kontennya mudah dilempar, dan mudah diserap.
Persoalan muncul ketika si pembuat konten berkeras memproduksi konten yang tidak menarik, sambil hard sell marketing dengan cara mengganggu.
Misalnya dengan cara mengirim pesan: "follback", "follow back".
Saya punya pertanyaan mendasar, ketika menyuruh orang lain mengikuti akun media sosial, apakah sudah menyiapkan konten yang menarik, atau minimal tidak mengganggu?
Sebenarnya bertahun-tahun menggunakan internet, saya termasuk tipe manusia yang tidak terganggu dengan permintaan follow back ini. Hingga akhirnya muncul instagram. Lebih tepatnya, hingga akhirnya memasuki tahun keempat main di instagram.
Berulang kali menerima permintaan follow back setengah memaksa membuat saya akhirnya merasa: ya udah, ikutin aja, it won't hurt. Awalnya alasan utama tidak mau menyanggupi permintaan tersebut adalah karena isi aku. Tersebut cuma selfie dengan berbagai angle. Saya nggak segitu mengidolakan dia sih, sampai harus mengikuti foto muka terbarunya setiap beberapa jam sekali. Atau bahkan beberapa menit sekali.
Lalu benar saja, ketika sudah diikuti, foto muka mulai dari manyun sampe ketawa lebar pun membanjiri.
Seperti halnya mengikuti Hakaulana karena menyukai konten pantai dan free diving, konten selfie mungkin bagus kalau memang ada ketertarikan kepada wajah tersebut. Kalau tidak tertarik dan dipaksa mengikuti, aneh juga.
Persoalan ini sebenarnya semudah follow-unfollow, namun satu yang tidak saya paham, seriously, people? You ask me to follow your account just to see hundreds of pictures of your face?
Pola seperti ini jadi semacam narsistik ganda, tingkat pertama adalah mengunggah ratusan foto sendiri (yang hampir mirip semua) di media sosial, lalu menyuruh orang lain mengikuti konten yang isinya wajah bangun tidur, wajah abis make up, wajah mau makan, wajah lagi kerja, dan ratusan pose lainnya yang akan diulangi lagi dari hari ke hari.
Apakah hal tersebut terjadi akibat dari ketidakmampuan diri mengaktualisasikan diri melalui cara lain, misalnya menulis, menggambar, atau apalah? Atau memang sekadar narsistik ganda menganggap foto diri sendiri sebegitu menariknya sampai semua orang harus mengikuti?
Apakah hal ini terkait dengan buruknya literasi internet di Indonesia? Lebih dari 30% orang Indonesia yang mengakses facebook tidak tahu kalau mereka sedang mengakses internet, begitu data yang pernah saya baca. Juga sebagian besar orang lebih dulu memiliki akun facebook tanpa pernah memiliki surat elektronik (email).
Jadi, saya ingin tahu, mengapa kamu mengambil ratusan selfie dan memaksa orang mengikuti ratusan selfie-mu itu?
Comments
Post a Comment