Menyoal Perawat yang Perawan

Kamis kemarin sebuah media yang lambangnya berupa kotak kuning serupa bingkai berkicau kurang lebih begini: Perawan dari keluarga terpandang di Jakarta itu rela bergabung bersama pejuang Republik sebagai perawat.

Artikel tersebut aslinya berjudul: Zus Wiet, gadis Perawat dalam Laga Aksi Polisional 1947, dengan subjudul: Perawan dari keluarga terpandang di Jakarta itu rela bergabung bersama pejuang Republik sebagai perawat di pelosok Jawa Timur.

Pertanyaan saya sangat jelas, apa hubungannya menjadi perawan dengan menjadi perawat sehingga harus ditegaskan status perawan tersebut pada artikel yang tak ada hubungannya dengan menjadi perawan?

Pilihan kesukaan bahasa saja, kata seseorang yang meminta maaf atas nama media tersebut.

Jawaban tersebut tak bisa menjelaskan hubungan antara perawan dan turun ke laga perang sebagai perawat. Mengapa harus membawa-bawa konsep perawan?

Dugaan saya, penggunaan kata perawan digunakan untuk mendulang page view, membuat orang penasaran, sehingga membaca beritanya yang tak ada kait-mengait apapun dengan keperawanan, ataupun konsep kegadisan. (Isi artikelnya semata perempuan yang ikut berjuang. Titik. Selesai.)

Kata adalah simbol dan sandi-sandi yang dibelakangnya terdiri dari banyak rangkaian konsep sehingga manusia bisa paham satu sama lain. Kata (sebagai bagian dari bahasa) tidak bisa dicerai-berai begitu saja dari kultur dan konsep yang membentuknya, tidak bisa semena-mena dianggap berdiri sendiri. Misalnya saja konsep anjing, dog, dan asu tentu berbeda maknanya karena berbeda kultur yang membangunnya. Maka perawan bukanlah sekadar kata kosong, perawan adalah konsep.

Kata perawan sendiri dalam KBBI tak semata berarti remaja atau anak perempuan. Kata perawan memiliki arti yang lebih spesifik:

pe·ra·wan 1 n anak perempuan yg sudah patut kawin; anak dara; gadis; 2 a belum pernah bersetubuh dng laki-laki; masih murni (tt anak perempuan):meskipun umurnya 30 tahun, ia masih --; 3 a ki belum digarap (diusik-usik, dijamah tt hutan, daerah, dsb).

Perawan dalam hal ini terkait dengan obsesi kesucian, puritas. Maka pertanyaan saya tetap, apa hubungan menjadi suci, murni, sudah patut kawin, belum pernah bersetubuh, belum pernah digarap, dengan menjadi perawat dan ikut berjuang?

Kegelisahan terhadap penggunaan kata perawan dalam artikel tersebut bukan karena makna kata perawan bernuansa negatif--jika itu yang dikhawatirkan. Tak pernah saya lihat kata perawan berubah maknanya menjadi negatif atau tidak baik. Seperti misalnya superioritas kata perempuan atas wanita yang seperti banyak diumbar pada akhir tahun 90an. Sekalipun, tidak.

Sebaliknya, kata perawan memiliki makna yang sangat baik dalam masyarakat yang mengagungkan keperawanan, seperti di Indonesia. Namun bagaimana jika arah pertanyaannya dibalik, apakah dengan mempromosikan perawan akan membuat Zus Weit memiliki citra perempuan yang lebih baik? Apakah sebagai Zus Weit yang tidak perawan, maka Roswita akan menjadi perempuan yang tidak lebih baik dari pada Zus Weit yang perawan.

Konsep di balik kata perawan adalah keberadaan selaput dara sebagai pengatur perawan-tidaknya seorang perempuan. Kebanyakan orang percaya perempuan yang belum berhubungan seksual pasti memiliki selaput dara, artinya masih perawan. Selaput dara yang disebut-sebut melindungi vagina adalah simplifikasi yang menyesatkan.

Konsep perawan, alih-alih melindungi perempuan, justru meletakan perempuan dan anak-anak dalam risiko. Perawan merupakan konsep jahat yang bias terhadap perempuan. Penyebutan anak perempuan sebagai perawan adalah penekanan untuk menjaga selaput dara tersebut, dan seolah yang tak lagi perawan tak memiliki harga diri setara dengan mereka yang perawan.

Padahal hidup, menghidupi hidup, menjadi sukses, atau menjadi suster di laga perang tak ada hubungannya dengan menjadi perawan atau tidak.

Jurnalisme patriarki memang sudah bukan barang baru di Indonesia. Mulai dari berita perkosaan, berita politik, atau cerita sejarah--seperti artikel yang sedang dibicarakan ini--dibalut dengan gaya cerita yang maskulin. Selain disebut soal perawan, Zus Wiet juga dijelaskan sebagai sosok berparas menarik. Perempuan paling mudah dijelaskan secara fisik dalam jurnalisme konvensional yang patriarki, meskipun cerita besarnya adalah kemuliaan Roswita (Zus Wiet) yang meninggalkan kehidupan berlimpah harta untuk berjuang dan bersusah payah. Memangnya kenapa kalau dia cantik dan perawan lalu ikut perang? Apakah menjadi beda kalau dia berparas tidak menarik dan janda?

Media menjadi corong untuk memperluas ideologi dominan, juga bukan merupakan sesuatu yang baru. Sebagai instrumen patriarki, pesan gender semacam ini ditambah dengan kultur yang tak ramah perempuan kemudian terkonstruksi dalam benak khalayak. Mungkin juga itu yang terjadi dalam benak pembuat konten media yang dulunya merupakan khalayak yang malas: menerima saja, dan tak dikaji lagi.

Jurnalisme konvensional yang patriarki berpegang pada prinsip objektif dan apa adanya, padahal objektifitas juga dibentuk oleh ideologi dominan yang tidak objektif melihat perempuan. Sehingga kosa-kata yang digunakan pun menjadi bias.

Jurnalisme konvensional yang cenderung patriarki akan melihat fakta sebagai sesuatu yang berlaku universal. Jurnalisme yang sadar gender melihat fakta yang ada pada dasarnya merupakan bentukan dari ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender, dan berkaitan dengan dominasi kekuatan ekonomi-politik, dan sosial-budaya masyarakat. Kemudian, fakta-fakta tersbeut juga akan dijelaskan oleh tafsir-tafsir patriarkal.

Masyarakat memang memiliki hubungan benci-cinta yang sangat intens terhadap perempuan, lebih dari apapun. Perempuan didefinisi dan redefinisi berulang kali, diberi label sesuka hati: nona, nyonya, perawan, gadis tua, jalang, panjang sekali daftarnya.

Lalu saatnya perempuan mempertanyaan label-label tersebut, dia akan disebut terlalu sensitf.

Mengutip seorang teman yang menjelaskan dengan sangat baik:

"Men live in a different world than women do; a world in which they have the privilege of being recognized as human rather than thing. In their wolrd, a female person is either mother, sister. virgin, or whore -- all measured in relation to their status as men. Women live in a world in which we are labeled like this and have little leeway to break free of those imposed constraints."

Comments

Popular posts from this blog

Mimpi

Addressing Climate Crisis with Ummah