Ciyeh, relawan Jokowi


Politik Indonesia memang tak pernah tak gaduh. Saya bahkan tak bisa lagi membedakan pengalihan isu atau memang Indonesia banyak masalah aja.

Kegaduhan terkini adalah penangkapan wakil Ketua KPK yang tiba-tiba "diculik" pagi-pagi oleh Bareskrim.

Yang menarik dalam kegaduhan kali ini, beberapa kelompok yang belum mampu bergerak dari sentimen kekalahan pada Pemilu Presiden tahun lalu jadi mendapat bahan ejekan untuk para relawan yang dulu mengusung Joko Widodo menjadi Presiden.

Bersyukur banyak media sosial saat ini punya fitur untuk memilih tampilan informasi dalam lini masa, sehingga saya tidak harus menonton cemoohan ganjil dari laskar susah move on tersebut. Cukup unfollow saja, maka dunia kembali damai.

Namun, tak pelak melihat juga komentar-komentar janggal nan nyinyir. Komentar janggal tersebut, membuat saya berpikir, mungkin memang karakter sebagian kelompok masyarakat: suka memprovokasi, gampang terprovokasi, dan suka akan kegaduhan/ membuat gaduh.

Meskipun saya bukan relawan Jokowi, dan tidak pernah jadi anak kandang banteng, gemes juga sih lihat tiga pertanyaan nyinyir yang paling banyak ditudingkan kepada relawan (atau mantan relawan?) Jokowi.

1.     Kemana Presiden Kalian?

Dalam kasus penahanan BW, muncul pertanyaan Kemana Presiden Kita, bentuk singkatan dari KPK. Beberapa kelompok susah move on menggantinya menjadi Kemana Presiden Kalian?

Untuk persoalan ini saya cuma mau tanya: Loh, presiden kalian bukan Joko, tapi kartu identitas kalian masih warga negara Indonesia? Gimana sih maksudnya?

2.     Dulu mendukung, sekarang mengritik. Menyesal?

Pertanyaan ini justru membuat saya ingin bertanya balik: kalau capres jagoan jadi presiden, apa artinya tidak akan mengritik kalau dia mulai tidak konsisten? Terus kalau capres jagoan jadi presiden, tidak diperkenankan mengawal proses pemerintahannya?

Rasanya dikritik itu sudah jadi sifat inheren presiden, siapapun orangnya. Apakah ada Presiden yang tidak dikritik? Ya ada  aja sih mungkin, misalnya Kim Jong Il, atau Presiden Syria Bashar Al-Assad, atau Robert Mugabe dari Zimbabwe. Mati sudah kalau jadi rakyat terus berani mengritik terbuka di bawah pemerintahan mereka.

Tapi kita di Indonesia, jadi Syahrini aja dikritik, apalagi jadi Presiden. Kalau memang ada yang nggak bener, jelas sepantasnya dikritik. Masak diam saja. Masak nggak boleh mengritik karena pernah jadi relawan. Ya namanya saja relawan, kadang rela, kadang melawan.

Mengritik dan mengawal presiden paska terpilih justru berarti memahami bahwa jabatan setingkat presiden tidak mungkin bebas dari kepentingan, tidak mungkin menyenangan semua orang. Tetap ada budi yang harus dibalas, dan hutang yang kudu lunas.

Pers dan masyarakat sipil sudah sepantasnya mengawasi dari dekat, jangan sampai Presiden terpilih berlebihan bayar hutangnya sampai-sampai harus mengorbankan orang banyak. Rasanya ini esensi yang sedang dikawal. Boleh dong kritik.

3.     Relawan jokowi tidak boleh mendukung KPK dong kalau mau konsisten?!

Loh, rumus dari mana ini? Menurut saya konsistensi itu bukan pada siapa manusianya, tapi apa nilai yang kita dukung. Justru konsisten dong kalau para mantan relawan sekarang mendukung KPK dan melawan blundernya keputusan Joko.

Kenapa konsisten? Karena yang mereka dukung bukanlah Joko sebagai Joko itu sendiri. Bagi saya yang mereka dukung adalah Joko sebagai simbol harapan atas perubahan dan pemerintahan bersih karena kita semua muak sama korupsi dan tipikal pemerintahan Indonesia yang birokratis, lambat, dan asal bapak senang.

Kemunculan Joko (juga Ahok, Risma, Ridwan Kamil) merupakan angin segar yang menunjukan kamu nggak perlu jadi anak presiden untuk jadi sekretaris partai, atau jadi anak begawan ekonomi untuk bisa jadi Capres.

Kalau kemudian Joko sudah tak lagi menyuarakan simbol itu dan justru ingkar terhadap harapan yang dibawa, justru melawan keputusan-keputusan Joko yang dianggap tidak sesuai adalah bentuk konsistensi para relawan.

Kalau begitu, relawan (atau mantan relawan) Joko sudah boleh mengritik belum? Selain soal BW, bisa juga mulai mengritik ekspor bahan mentah freeport, Wantimpres yang sangat gemuk, rencana hak imunitas KPK, atau tarif taksi yang tak kunjung turun meski harga bensin sudah 'disesuaikan' kembali.

Akhirnya, selamat mengritik dengan penuh suka cita, baik para relawan, para haters, dan siapapun di antaranya. Selamat menikmati kegaduhannya.

Comments

  1. Tulisan kamu menarik kawan.
    Jika berkenan mampir ke blog saya untuk beri komentar
    efrialruliandi.blogspot.com

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Seminggu tanpa sabun dan sampo

Let’s talk about casual internalized racism in this island

Mimpi