Kerjaanku selain berak dan kencing adalah makan dan berfikir. Aku banyak berfikir soal kemungkinan-kemungkinan. Rupanya terlalu banyak berpikir adalah gejala tak terelakan bagi mereka yang memiliki persoalan kecemasan. Aku juga berfikir soal doa-doa. Aku pernah kecewa dengan doa-doa. Merapal doa apapun, sebanyak apapun, bagaimanapun caranya, tak akan berguna untuk membuat ayah terjaga. Saat petinya tiba di jakarta, aku merapal doa, tak juga berandai-andai pada kemungkinan bertemu lebih awal, saat hangat masih ada. Kucium keningnya, dingin. Subuh itu aku terjaga, meronta. Siang sebelumnya aku telepon ibu. Saat itu aku mengatakan dengan bimbang akan segera pulang, tapi ibu bilang ayah membaik. Ayah sudah bisa berjalan-jalan keliling komplek perumahan, bahkan ikut mencoblos pada pemilu kali itu. Dia juga minta diajak ke tukang cukur. Ayah begitu taat pada negara. Bahkan pada hari akhir, hal terakhir yang dilakukan adalah menggunakan hak pilih dalam Pemilu. Dan aku, sebagai an
Tiga tahun lalu, saya bertanya kepada seorang rekan kerja yang paham betul persoalan lingkungan. Pertanyaan saya sederhana: saya tahu program penanaman sejuta pohon bukanlah program yang baik, karena selain mahal, kesuksesan menanam pohon sangatlah kecil. Jadi yang paling baik tentu saja adalah dengan tidak menggunduli hutan. Namun, apa kesalahan fundamental dari menanam pohon? Rekan kerja cuma tersenyum kecil sambil tertawa: panjang kalau diceritakan. Percakapan terhanti sampai di sini. Pertanyaan saya tidak terjawab, dan jadi merasa bodoh betul. Pekan lalu seorang teman bertanya kepada saya: kenapa program menanam sejuta pohon itu tidak baik? Lalu saya teringat kembali percakapan tiga tahun lalu tersebut. Saya pikir, ini kesalahan ilmuwan, atau kebanyakan orang pintar. Terlalu malas menjelaskan kepada orang bodoh seperti saya, atau mungkin tidak tahu cara menjelaskan persoalan rumit dengan bahasa sederhana. Bisa juga terlalu arogan, merasa waktunya terlalu berharga u
Hari ini menandai tepat seminggu percobaan mandi tanpa sabun dan keramas tanpa sampo. Awalnya saya pikir ide ini biasa saja. Toh manusia sebelum kenal sampo dan sabun juga hanya mandi dengan air mengalir. Apalagi, sudah banyak juga ornag lain melakukan percobaan yang sama. Namun, ketika saya bercerita kepada teman kantor bahwa sudah hampir seminggu saya tidak menggunakan sabun, reaksi mereka sungguh mengagetkan. Menurut mereka, ini adalah percobaan yang aneh. Sebab itu, saya jadi ingin membagikan pengalaman ini. Kenapa awalnya saya terpikir untuk melakukan percobaan ini? Karena kulit saya sangat sensitif. Kulit wajah sih biasa saja. Tapi kulit tubuh sangat sensitif terhadap sabun mandi. Sabun biasa membuat kulit sangat kering, rasanya seperti retak-retak, dan kadang terasa panas karena iritasi. Sebab itu saya hanya dapat menggunakan sabun mandi merek tertentu yang betul-betul alami, atau sabun bayi. Itu pun terkadang masih terasa kering di ruangan ber-AC, belum lagi kalau mandi seb
Comments
Post a Comment