masyarakat yang terobsesi pada kebahagiaan

10 hari yang lalu aku mengikuti tantangan 100 hari kebahagiaan, alias 100 days of happiness. Setelah mengikuti dengan dispilin selama 10 hari, hari ini ini aku memutuskan berhenti.

Kemudian aku menemukan banyak hal serupa. 100 days of happiness bukan satu-satunya. Berulang kali teman-teman di facebook juga menulis status yang isinya: tuliskan tiga hal yang membuatmu bahagia sebelum tidur.

Lalu pada kesempatan lain, aku juga menemukan iklan perawatan kecantikan pada situs pemutar video yang tagline pamungkasnya adalah: don't wait, start recording happiness, now!

Mencari satu hal yang membuat bahagian tiap harinya bukanlah hal yang sulit. Terutama buat manusia yang mudah girang macam aku. Tanpa perlu dipikirkan, apapun dapat membuat bahagia dengan mudahnya.

Banyaknya hal yang meminta menunjukan betapa bahagianya hidup ini membuatku secara konstan memikirkan tentang banalitas merasa bahagia sebagaimana didefinisikan oleh masyarakat dan media sosial. Juga tentang bagaimana media sosial, dan kehidupan bermasyarakat terobsesi pada kebahagiaan.

Media sosial seperti sedang berusaha untuk mendefinisi kebahagiaan pada tingkat tertentu saja, sekaligus sedang mempromosikan dan mengajarkan bahwa bahagia adalah sebener-benarnya perasaan yang harus dirasakan manusia. Sedang perasaan lainnya adalah kurang hakiki dibanding rasa bahagia.

Lalu aku memutuskan berhenti, dan menghapus seluruh unggahan betapa bahagianya hidupku dalam 10 hari terakhir ini.

Kita seperti hidup dalam tirani bernama kebahagiaan. Ribuan artikel ditulis mengenai bagaimana caranya menjadi bahagia, bagaimana menciptakan kebahagiaan, bagaimana mendapat kebahagiaan, bagaimana meningkatkan kebahagiaan, bagaimana menjaga kebahagiaan dan rasa bahagia, juga bagaimana caranya membuat kebahagiaan bertahan lama.

Apabila hari ini ada seseorang, atau sesuatu yang membuatmu TIDAK bahagia, jangan khawatir, ada banyak teknik menjaga emosi yang ditawarkan agar kita tetap bahagia. Karena menjadi bahagia adalah tugas dan tanggung jawab kita sendiri, bukan orang lain.

Tentu kita pada umumnya mengetahui apa-apa saja yang membuat kita bahagia, dan membuat kita tidak bahagia. Lalu kita berfokus pada hal-hal yang membuat kita bahagia saja. Menjadi lebih positif dan berbahagia atas hal-hal kecil adalah sesuatu yang baik. Namun merasa HARUS bahagia, adalah obsesi.

100 days of happiness merupakan bukti nyata begaimana masyarakat terobsesi pada kebahagiaan. Bahkan jauh sebelum 100 days of Happiness, aku yang masih SMA sempat membeli buku self-help book berjduul: menjadi remaja bahagia. Salah satu isinya adalah catatkan hal-hal menyenangkan pada hari ini.

Aku mungkin sudah depresif sejak SMA, menjadi murid sekolah unggulan bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Dengan nilai rata-rata 8, kamu hanya bisa menjadi terbaik seperempat terbawah di seluruh sekolah. Diterima di banyak perguruan tinggi negeri favorit juga cuma sebatas keriangan yang banal bahwa kita diterima oleh bagian kelompok masyarakat tertentu.

Lalu, apakah buku psikologi mandiri dapat membantu?

Buku ini sesungguhnya bertujuan menghindarkan depresi pada remaja. Namun, tekanan untuk menjadi bahagia alih-alih menerima (embracing) seluruh emosi dengan sehat menurut saya pada titik tertentu membuat remaja menjadi stress dan terobsesi untuk menjadi bahagia.

Menjadi bahagia adalah bentuk tekanan yang lain dari masyarakat. Sepeti semacam "kapan kawin", "kapan punya anak", dan "kapan lulus", kemudian manjadi kapan bahagia? Bukankah pertanyaan kapan kawin diajukan karena terjebak pada dikotomi bahwa orang yang kawin (atau berpasangan secara sah menurut norma sosial dan negara) dan punya anak adalah lebih bahagia dari mereka yang melajang?

Belum lagi tekanan untuk membuktikan bahwa kamu bahagia kepada masyarakat. Kebahagiaan bukan lagi suatu hal privat yang intangible. Kebahagiaan harus nampak dan tangible: memiliki mobil, sudah punya rumah, dan seorang anak lucu yang giginya baru tumuh satu. Begitulah definisi kebahagiaan yang juga membuat depresi pada saat yang sama.

Bahwa kamu memiliki pasangan yang menggenggam jemarimu sampai kamu tertidur sesudah histeris luar biasa dan hampir meloncat dari apartemen lantai dua-puluh-tiga tidak bisa didefinisikan sebagai bahagia karena tidak tangible.

Kita, masyarakat, kemudian dipaksa percaya tentang bagaimana kita harus merasa. Salah satunya adalah kita HARUS merasa bahagia, sementara perasaan lain yang bertentangan dengan kebahagiaan adalah sesuatu yang tidak semestinya kita rasakan.

Masyarakat menjadi terlalu terobsesi dengan kebahagiaan. Bahkan indeks kebahagiaan menjadi salah satu hitungan kuantitatif penting sesudah PDB dan koefisine Gini. Padahal, kita tidak harus SELALU merasa bahagia. Karena sesungguhnya kita juga butuh merasa sedih dan gagal secara sehat.

Tekanan untuk menjadi bahagia, pada satu sisi membuat kita merasa gagal saat bersedih. Konformitas membuat kita enggan menjadi berbeda. Lalu pada akhirnya kesedihan disimpan dalam-dalam karena menjadi sedih adalah menjadi gagal. Lalu kita terjebak pada obsesi bernama kebahagiaan, yang mungkin bukan kebahagiaan itu sendiri.

Tentu menjadi bahagia adalah hal baik, namun bahagia hanyalah salah satu bagian dari kepenuhan emosi manusia. Apabila pada suatu masa kita tidak merasa bahagia, bukanlah jaminan bahwa kualitas hidup sedang menurun. Adalah sangat sehat merasa sedih, kecewa, atau bahkan bingung.

Kita sepeti sedang meminta garansi bahwa melakukan susuatu yang positif pasti membawa pada rasa bahagia. Padahal melakukan hal yang positif, benar, lagi baik tidak akan pernah menggaransi bahwa kita pasti akan merasa bahagia. Menjadi orang baik tidak juga menjamin akan membawa kita berada pada jalan kebahagiaan.

Apakah kita bahagia dengan mengejar kebahagiaan? Seberapa keras kita harus mengejar kebahagiaan sehingga kehilangan banyak kesempatan menjajal definisi-defini bahagia yang berbeda?

People are too obsessed with happiness. It's just a different kind of pressure, a pressure to be happy. While actually we're not supposed to be ALWAYS happy. We also need a healthy kind of sadness and failure. It should be OK to confess that you're unhappy.

Comments

  1. Di level yang lain, orang-orang melatih diri dan mulai terlatih untuk menyangkal perasaan-perasaan ketidakbahagiaannya ketika ia datang. Seolah-olah emosi yang lain bukanlah sesuatu yang pantas untuk diakui. Pengen bahagia sih menurutku sah-sah aja, selama ia tidak menyangkal bahwa perasaan-perasaan atau emosi-emosi yang lain juga adalah bagian hidup yang berharga dan enggak apa-apa untuk diakui dan dirasakan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. betul banget, itu salah satu teknik menjaga kebahagiaan (paragraf 9): denial.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mimpi

Seminggu tanpa sabun dan sampo

Let’s talk about casual internalized racism in this island