Menutup jalan
Jalan di depan tempat tinggal di tutup. Jadilah taksi yang
kutumpangi harus memutar agak jauh. Padahal tempat tinggal mungkin hanya
berjarak 30 meter—50 meter dari tempat kami dihentikan.
Kuputuskan melanjutkan perjalanan dengan kaki saja, sambil
bertanya apa gerangan yang terjadi.
Oh, rupanya ada yang meninggal.
“Loh, kenapa mobil itu bisa lewat?”
“Iya kak, ini jadi satu arah.”
“Kenapa meninggal harus tutup jalan?”
Para ABG yang menutup jalan ini terlihat kesal saat ditanya.
Seolah saya tidak berempati pada keluarga yang meninggal, mereka langsung
mengeroyok dengan tudingan saya tak seharusnya tinggal di wilayah ini.
Padahal, saya sungguhan hanya bertanya situasi: apakah pelayat sebegitu membludaknya karena yang saya lihat sih sepi sepi aja.
***
Jalan di depan tempat tinggal saya adalah jalan umum dua
arah. Jalan ini menjadi bercabang dua sekitar 30 meter—50 meter sebelum tempat
tinggal. Pada cabang yang lain adalah satu arah.
Yang dilakukan oleh para ‘petugas’ ini adalah, mengubah
jalan satu arah tersebut menjadi dua arah, dan menjadikan jalan dua arah di
depan tempat tinggal menjadi satu arah.
Saya memiliki dua pertanyaan mendasar:
1.
Mengapa jalan satu arah itu tidak dibiarkan
tetap satu arah sesuai dengan arah sebenarnya, lalu jalan dua arah di depan
tempat tinggal saya mengikuti alur jalan satu arah tersebut. Dengan demikian
meski dengan seenaknya mengubah ajaln dua arah menjadi satu arah, tetapi
setidaknya mereka tidak mengganggu jalan lain yang sebenarnya tidak dipakai
oleh keluarga yang ditinggalkan.
2.
Mengapa
banyak sekali alasan yang bisa digunakan untuk seenaknya menutup jalan? Mulai
dari pengajian, kumpul-kumpul orang meninggal, orang kaya yang membayar (baca:
menyuap) polisi agar bisa melewati macet seenak jidat, sampai parkiran mall atau parkiran kuburan. Semuanya
seenaknya mengambil hak pengguna jalan yang bayar pajak dalam ketentuan yang
sama dengan mereka.
Secara hukum jelas sih, mereka tidak punya hak. Namun apalah
arti hukum di Indonesia ini kalau habib aja bisa nutup Tanah Abang, tempat di
tengah Jakarta raya ini, buat pengajian.
Bukannya tak empati, atau terlalu kaku. Cuma saya selalu
heran kenapa si penutup jalan pemilik hajatan tak memberi tahu beberapa meter
sebelum jalan yang ditutup, juga tak ada rambu jelas pengalihan jalan. Langsung
saja ditutup dengan bendera kuning di mana-mana, atau janur kuning.
Mungkin ini tidak penting, tetapi setelah korupsi fasilitas publik, mengucap maaf mungkin sebenarnya membuat mereka jadi terlihat jauh lebih menyenangkan.
Dan orang-orang yang terugikan jadi lebih berbesar hati ketika harus jalan kaki
atau memutar jauh.
FYI, prosedur menutup jalan yang benar:
Comments
Post a Comment