Keberpihakan penonton Indonesia
Jaringan bioskop 21 pernah ngambek 4 tahun lalu, mereka bilang pemerintah semena-mena dalam menetapkan biaya untuk impor film. Bagi mereka penambahan biaya ini mengganggu operasional bisnis, sehingga tak sanggup lagi mengimpor film-film Hollywood. Sebab itu mereka ngambek, berhenti mengimpor film, dan menyetir opini publik bahwa pajak adalah tidak benar.
Waktu itu aku mewawancara pihak pemerintah. Dengan mengejutkan pihak pemerintah mengatakan pajak yang dikenakan sesungguhnya adalah pajak pertambahan nilai karena mereka ingin menghargai impor seluloid berisi film, dan membedakan dengan impor seluloid kosong.
Terdengar masuk akal.
Namun karena tak mau percaya begitu saja dengan pemerintah, maka aku mewawancara Ananda Siregar, Raam Punjabi, dan Rudy S Sanyoto. Ketiganya menjelaskan dengan sangat jelas bahwa nilai pajak tersebut bagi mereka masuk akal, juga bisa memberi ruang bagi film lokal. Karena dengan adanya tambahan pajak bagi film Hollywood, sama saja memberi insentif bagi film lokal.
Lalu apa kita tidak bisa impor?
Ketiganya menyanggupi untuk mengimpor film Eropa, Thailand, Jepang, Korea, juga film-film festival.
Aku sontak girang. Artinya akan lebih banyak film bermutu alih-alih film yang peran utama perempuannya dengan konsisten berganti gaya rambut, anting-anting, serta make up di tengah perang antar robot raksasa dari luar angkasa.
Nyatanya, hal ini tak pernah terjadi.
Tak lama mengikuti isu perfilman, aku dipindah ke halaman perbankan. Lalu tak lagi mengikuti kelanjutan isu tersebut. Namun yang aku tahu, impor masif atas film yang bukan Hollywood tak pernah terjadi.
Waktu itu masyarakat menggerutu berjamaah, berbondong-bondong ke Singapura untk menonton film Hollywood. Lalu Jero Wacik yang entah apa kerjanya, mulai berpendapat di media, katanya ia merasa malu kalau masyarakat harus ke Singapura cuma untuk menonton bioskop.
Penonton dan menterinya mematikan kans untuk memberi ruang untuk film Indonesia bermutu, dan film impor selain Hollywood.
Jero Wacik sudah bukan menteri, 4 tahun kemudian, hari ini, film Hollywood tetap dalam daftar putar dan daftar antri paling banyak.
Aku tak anti film Hollywood, tak ada yang salah dengan film Hollywood. Tapi juga kurasa tak ada yang salah dengan film Indonesia.
Tak kalah dari film Indonesia, film Hollywood juga banyak yang cuma jual tetek dan bercanda tak lucu. Tapi, film-film ini mungkin tak laku, tak jadi besar, sehingga kita tak tahu banyak.
Sementara di Indonesia, dominasi film-film Indonesia di layar lebar adalah tetek, setan, dan bullying. Sementara film bagusnya diputar keliling di bioskop-bioskop kecil, dengan proyektor yang lebih pantas untuk menayangkan presentasi power point laporan keuangan tahunan.
Jelas keberpihakan bioskop patut dipertanyakan, namun, apakah keberpihakan penonton tak perlu dipertanyakan?
Bulan lalu aku menonton salah satu film Indonesia yang ciamik, Selamat Pagi, Malam. Buru-buru mencari waktu untuk menonton film ini, terlambat sedikit dia sudah tak ada di daftar putar jaringan bioskop 21.
Tak lama berselang, Vakansi Yang Janggal Dan Penyakit Lainnya muncul di jaringan bioskop 21. Aku pun memasukan film ini ke daftar wajib tonton meski dia hanya diputar di Plaza Senayan. Selain harus membelah kemacetan, menonton di Plaza Senayan adalah lebih mahal dan lebih banyak upaya yang harus dilakukan kalau dibandingkan dengan menonton bioskop di Setiabudi One yang cuma berjarak tempuh kurang dari 5 menit dari kamar tidur.
Sayangnya, belum sempat menonton, Vakansi Yang Janggal sudah binasa dari Plaza Senayan.
Jaringan bioskop 21 yang dahulu memonopoli dan kini tetap pemain terbesar, memang tak ramah film Indonesia. Ralat: tak ramah terhadap film Indonesia yang bukan setan, tetek, dan komedi sarkas tak lucu macam bullying.
Kenyataan ini bahkan membuat Selamat Pagi Malam mengirim surel yang menyebalkan: mewanti-wanti penonton untuk meluangkan waktu ke bioskop dan memilih film tersebut sebelum diturunkan, kalau tidak nanti bioskop Indonesia akan dipenuhi bule yang bikin film kungfu. (Padahal sebenarnya Jalanan juga cukup lama beredar di bioskop tanpa harus kirim surel begitu)
Sesungguhnya, ke mana penonton film Indonesia?
Setiap kali aku mengajak teman menonton film, sebagian selalu mewanti-wanti: film Indonesia ya? Malas ah.
Bisa jadi pandangan buruk ini muncul lantaran pihak jaringan bioskop terlalu sering menampilkan tetek, setan dan bullying, sehingga calon penonton pun “trauma” menonton film Indonesia.
Namun seperti halnya bioskop yang selalu berlindung di balik alasan kampret bernama rating dan profit (juga sebenarnya sulit dibantah kalau mereka murni berbisnis, jelas mereka akan pasang film yang laku saja. Walaupun sebenarnya yang laku juga persoalan ayam dan telur, apakah kuasa ada pada bioskop atau penonton?), apakah penonton mau ikut-ikutan berlindung di balik alasan kampret film Indonesia pasti tidak bagus?
Teknologi bernama internet sudah berkembang massif 14 tahun terakhir ini. Masak iya calon penonton tidak bisa menggali informasi mengenai film Indonesia yang ada? Masak penonton tidak punya alat untuk membedakan film Indonesia yang kampret dan kece? Kalau belum tahu, informasi saja nih, teknologi internet bisa membantu menilai apakah suatu film sungguh bagus atau cuma jualan tetek, loh.
Persoalannya tak banyak juga penonton Indonesia yang mau menonton film bagus a la Indonesia. Mereka selalu berkiblat dengan gaya dan pola film a la Hollywood dan langsung enggan ketika tahu film yang akan aku tonton adalah film Indonesia.
Sekali lagi, ini persoalan ayam dan telur. Bisa didebatkan bahwa penonton bersikap demikian lantaran 'edukasi' dari 21 dan stasiun televisi, ya g mendidik untuk menonton film Hollywood. Duh, kok mengandalkan 21 untuk diedukasi? Masak iya penonton tidak berdaya?
aku menulis ini karena tergelitik dengan Keberpihakan Bioskop
aku menulis ini karena tergelitik dengan Keberpihakan Bioskop
Comments
Post a Comment