Jogja Jangan Marah
Pekan lalu jejaring pertemanan Path ramai membicarakan
seorang perempuan muda yang memaki-maki Jogja. Sebagai alumnus yang mencintai
Jogja melebihi Jakarta sebagai kota kelahiran, saya mengernyit juga. Tak pernah
saya melihat Jogja sebagai kota yang menyebalkan. Bagi saya, meski Bali selalu
menyenangkan, dan Jakarta penuh hal asik, Jogja adalah kota favorit.
Orang Jogja, atau mereka yang pernah tinggal di Jogja, atau
setidaknya yang saya kenal pernah tinggal di Jogja, biasanya menyelipkan
kebanggaan terhadap kota luar biasa ini. Kota ini dicinta dan dipuja. Impian
para alumnus Jogja sangatlah sederhana: kembali ke Jogja. Entah untuk berlibur,
sekadar singgah, atau pulang.
Kembali pada si perempuan muda, pekan ini dia dilaporkan ke
polisi.
Saya tak mengikuti betul ceritanya. Tebakan saya dia terkena
pasal penghinaan, pencemaran nama baik (kalau tidak salah pasal karet ini
bukannya sudah tidak lagi ada), menyebarkan kebencian, ya smeacam itulah.
Mungkin dia juga bisa terjerat UU ITE.
Namun, bagi saya reaksi banyak pihak yang sampai melakukan
protes di gerbang UGM, atau bahkan melaporkan perempuan pemarah lagi pengeluh
ini adalah berlebihan.
Saya menggunakan Path sebagai jejaring pertemanan yang
sangat personal. Tak seperti Facebook yang saya gunakan untuk berkampanye dan
lebih banyak membicarakan masalah sosial, Path saya gunakan untuk menceritakan
hal probadi, lagi tak penting. Lelucon antara saya dan pacar, atau kekesalan
terhadap pelayanan publik. Semacam: Path aing, kumaha aing.
Ucapan si perempuan muda ini memang kasar betul, setidaknya
bagi saya. Namun, karena Path sangatlah privat, anggaplah dia sedang bercerita
dengan sekelompok temannya. Kalau sampai curhat kekesalan ini sampai ke
mana-mana, apakah juga salah si perempuan muda?
Seperti kasus video porno. Kalau video porno tersebut dibuat
hanya untuk pribadi, maka yang dijerat sesungguhnya adalah si penyebar video
porno itu. Maka bagi saya, curhat ini memang hanya ditunjukan untuk dikonsumsi
oleh publik pada akun jejaring media sosial yang privat itu saja. Kalau sampai
muncul ke luar akun itu, kenapa tak ada yang mencari siapa penyebarnya?
Bukankah si penyebarnya juga bisa dijerat pasal menyebarkan kebencian?
Kebencian kepada si perempuan muda.
Saya tidak sedang membela si perempuan muda yang mungkin
pada saat itu sedang merasa lebih pintar dari sebagian besar orang Jogja. Hanya
saja, saya percaya amukan seorang perempuan pemarah lagi pengeluh, dan suka
berkata kasar ini tak akan merendahkan Jogja. Lagi pula kalau dia tak hendak
kawan-kawannya pindah ke Jogja, bukankah Jogja akan lebih menyenangkan karena
kemacetan akibat mobil anak orang kaya akan berkurang?
Jogja yang saya kenal adalah pemaaf, heterogen, dan
anggun. Seperti kata Gandhi, kalau setiap mata yang hilang harus dibalas
dengan mata, maka dunia ini cuma berisi orang buta. Mari memaafkan, bukan
melupakan.
Comments
Post a Comment