Posts

Showing posts from August, 2014

Jogja Jangan Marah

Pekan lalu jejaring pertemanan Path ramai membicarakan seorang perempuan muda yang memaki-maki Jogja. Sebagai alumnus yang mencintai Jogja melebihi Jakarta sebagai kota kelahiran, saya mengernyit juga. Tak pernah saya melihat Jogja sebagai kota yang menyebalkan. Bagi saya, meski Bali selalu menyenangkan, dan Jakarta penuh hal asik, Jogja adalah kota favorit. Orang Jogja, atau mereka yang pernah tinggal di Jogja, atau setidaknya yang saya kenal pernah tinggal di Jogja, biasanya menyelipkan kebanggaan terhadap kota luar biasa ini. Kota ini dicinta dan dipuja. Impian para alumnus Jogja sangatlah sederhana: kembali ke Jogja. Entah untuk berlibur, sekadar singgah, atau pulang. Kembali pada si perempuan muda, pekan ini dia dilaporkan ke polisi. Saya tak mengikuti betul ceritanya. Tebakan saya dia terkena pasal penghinaan, pencemaran nama baik (kalau tidak salah pasal karet ini bukannya sudah tidak lagi ada), menyebarkan kebencian, ya smeacam itulah. Mungkin dia juga b

Menutup jalan

Jalan di depan tempat tinggal di tutup. Jadilah taksi yang kutumpangi harus memutar agak jauh. Padahal tempat tinggal mungkin hanya berjarak 30 meter—50 meter dari tempat kami dihentikan. Kuputuskan melanjutkan perjalanan dengan kaki saja, sambil bertanya apa gerangan yang terjadi. Oh, rupanya ada yang meninggal. “Loh, kenapa mobil itu bisa lewat?” “Iya kak, ini jadi satu arah.” “Kenapa meninggal harus tutup jalan?” Para ABG yang menutup jalan ini terlihat kesal saat ditanya. Seolah saya tidak berempati pada keluarga yang meninggal, mereka langsung mengeroyok dengan tudingan saya tak seharusnya tinggal di wilayah ini. Padahal, saya sungguhan hanya bertanya situasi: apakah pelayat sebegitu membludaknya karena yang saya lihat sih sepi sepi aja. *** Jalan di depan tempat tinggal saya adalah jalan umum dua arah. Jalan ini menjadi bercabang dua sekitar 30 meter—50 meter sebelum tempat tinggal. Pada cabang yang lain adalah satu arah. Yang d

Keberpihakan penonton Indonesia

Jaringan bioskop 21 pernah ngambek 4 tahun lalu, mereka bilang pemerintah semena-mena dalam menetapkan biaya untuk impor film. Bagi mereka penambahan biaya ini mengganggu operasional bisnis, sehingga tak sanggup lagi mengimpor film-film Hollywood. Sebab itu mereka ngambek, berhenti mengimpor film, dan menyetir opini publik bahwa pajak adalah tidak benar. Waktu itu aku mewawancara pihak pemerintah. Dengan mengejutkan pihak pemerintah mengatakan pajak yang dikenakan sesungguhnya adalah pajak pertambahan nilai karena mereka ingin menghargai impor seluloid berisi film, dan membedakan dengan impor seluloid kosong.  Terdengar masuk akal.  Namun karena tak mau percaya begitu saja dengan pemerintah, maka aku mewawancara Ananda Siregar, Raam Punjabi, dan Rudy S Sanyoto. Ketiganya menjelaskan dengan sangat jelas bahwa nilai pajak tersebut bagi mereka masuk akal, juga bisa memberi ruang bagi film lokal. Karena dengan adanya tambahan pajak bagi film Hollywood, sama saja memberi insenti

I don't like you

Image
I don't like you as much as you like me. Scary Oil pastel on used recycle paper

Nightmare

Image
If I can conquer the fear I can conquer the world haha :D nightmare oil pastel on used paper

Nurturing the pain

Image
you are my cup of tea but I drink coffee now... nurturing the pain oil pastel on used recycle paper