takbir ramah, bukan takbir marah
Setiap kali mendengar takbir, aku selalu berpikir, ini
kalimat yang sangat rendah hati. Bahwa yang akbar, yang besar, yang
segala-galanya hanya Allah, Tuhan segala alam.
Muslim bertakbir pada banyak sekali kesempatan, saat
bahagia, saat bersemangat, saat bersedih, saat bersembahyang, bahkan saat
melakukan protes. Pada banyak kesempatan inilah diingatkan bahwa ada sesuatu yang amat
besar, di luar nalar kita, di luar kemampuan manusia berpikir, yang mengatur
semua ini. Sesuatu yang tak terjabarkan, tak terbandingkan.
Dengan kalimat yang sangat rendah hati seperti itu aku
percaya bahwa sesungguhnya yang beragama adalah orang-orang yang sangat rendah
hati, dan tidak judgemental. Alias tidak suka menghakimi orang lain, tidak
menilai-nilai dan merendah-rendahkan. Karena mereka sadar hanya ada satu zat di
atas segala-galanya. Siapalah kita hendak
merendah-rendahkan orang lain.
Mereka yang beragama dan bertuhan, dengan rendah hati mengakui ada zat yang jauh lebih tinggi. Kerendahan hati menghindarkan dari merendah-rendahkan orang lain. Karena siapa sangka kalau ternyata yang kita rendah-rendahkan itu ditinggikan oleh yang maha agung.
Menghakimi (siapa benar, siapa salah, siapa masuk surga,
siapa masuk neraka) adalah job desc, alias pekerjaan Tuhan. Sehebat apapun
manusia, kita terlalu sederhana untuk menghakimi. Sehebat apapun kita beribadah
bisa jadi kita yang paling buruk di mata Sang Maha Akbar. Tak pernah bisa kita
tahu.
Sayangnya banyak ceramah agama, dan kehidupan
sehari-hari beberapa kelompok beragama justru sering yang paling
menghakimi.
Sayangnya kalimat rendah hati ini tak jarang diucapkan dengan nada marah alih alih nada ramah.
Bertakbir sambil menceritakan betapa agama lain itu menyembah berhala
dan mereka tidak akan masuk surga, atau menunjuk-nunjuk cara solat yang berbeda
sebagai sesat, dan cara solat kelompoknyalah yang paling benar.
Bertakbir sembari menunjuk-nunjuk kafir kepada yang ini dan itu, dan
mengatakan darahnya halal untuk ditumpahkan.
Takbir berkumandang saat menghabisi kelompok-kelompok yang bergama dengan cara
berbeda, memukuli, membubarkan saat mereka bersembahyang.
Atau saat berbisik-bisik mengenai tetangga yang pulang
malam dan pasti tidak benar, atau menggosipkan janda di sebelah yang tidak
pernah teraweh bersama.
Bagaimana bisa mengumandangkan Tuhan maha besar sambil mengambil alih tugas Tuhan? Mengatakan ada dzat yang akbar dibatas segala-galanya sembari sendirinya merasa besar dengan menunjuk-nunjuk
dosa orang, bahkan menunjuk-nunjuk level neraka mana yang paling ampuh membakar
dosa orang di sekitarnya. Bukankah dosa dan pahala itu urusan Tuhan yang maha
akbar?
Memangnya kamu, aku, kita, pasti tidak punya salah dan dosa?
Memangnya kamu, aku, kita, pasti lebih baik dari si anu dan si itu, atau kalau
dalam buku yang ke arab-araban, lebih baik dari si fulan?
Atau, apakah si maha akbar serta seperangkat malaikatnya dianggap tak mampu menjalankan tugasnya
untuk menilai manusia dan memilihkan imbalan yang pas bagi manusia (baik dosa
ataupun pahala) sehingga kamu, aku, kita harus ikutan menilai dan memilihkan
imbalan buat sesama manusia?
Semoga tak perlu ada lagi yang bertakbir sambil menghunus kebencian dan memperuncing perbedaan. Tak perlu ada lagi takbir di atas simbahan darah karena kelompok tertentu dianggap salah.
Semoga ada lebih banyak takbir yang diucap dengan ramah, bukan dengan marah.
Semoga ada lebih banyak takbir yang diucap dengan ramah, bukan dengan marah.
Comments
Post a Comment