Matahari
Langit baru berisi semburat, burung gereja belum bergegas mencari betina. Jangankan tukang bubur, matahari saja belum muncul. Namun, aku yakin Ibu sudah hampir menyelesaikan sarapan super sehatnya: susu kedelai hangat tanpa gula, dan muesli yang dicampur madu.
“Matahari, kemarin Ibu lihat kamu nggak rapi baju kerjanya. Untuk hari ini Ibu sudah pilihkan buat kamu. Pakai yang digantung di pintu lemari kamu. Jangan sampe baru seminggu kerja uda malu-maluin Ibu.”
Kubiarkan gema perintah Ibu menguap, sampai hening, sampai cericip burung kembali terdengar. Tak ada gunanya menjawab, lebih baik melanjut tidur barang 5 menit—10 menit. Lumayan.
“Kamu ga mau turun cium pipi Ibu?”
Sekarang Ibu pasti sudah menyesap tetes terakhir susu kedelainya, memastikan gincu dan rambut tertata baik, menggamit tas besar berisi komputer jinjing, berkas-berkas, dan entah apa lagi.
“Matahari!”
Demi teriakan tertahan Ibu, tak satu pun mahluk yang berani-beraninya sekadar mengerjap, otakku tahu betul kalau wajahku tak berhadapan dengan Ibu dalam 5 menit, sengsaranya tak akan sebanding dengan nikmat tambahan tidur 10 menit.
***
Air pancuran menderas, uap air bergerak ke arah sebaliknya. Kulitku mengerut dilapisi air hangat. Jemari menggosok-gosok busa di kepala, sedang cermin di seberang semakin buram.
Mandi dengan pancuran air panas setidaknya menghabiskan 18 menit, dengan komposisi 3 menit mandi dan keramas, lalu 15 menit lainnya dihabiskan untuk memikirkan apa saja yang bisa terjadi di alam semesta, misalnya kenapa aku dan Ibu bisa-bisanya berbagi zodiak yang sama, tapi sifat kami jauh berbeda. Siapapun paham Ibu yang begitu tegas (atau galak menurutku), dan aku yang begitu santai cengengesan.
Ah sial, aku lupa meminta akta kelahiran pada Ibu.
Begitulah bagusnya mandi di bawah pancuran air hangat, seringkali tetiba ingat banyak hal yang terlupa.
***
Kamar Ibu begitu besar, terlalu besar buat Ibu sendirian. Isinya barang-barang yang begitu besar, ranjang besar, lemari baju besar, dan lemari berkas yang tak kalah besar. Lemari yang mungkin menyimpan akta kelahiran sialan.
Ibu belum juga membalas pesan singkat yang cepat-cepat kukirim begitu keluar kamar mandi, masih dengan jemari yang basah. Pesan yang belum juga dibalas sampai aku siap bergegas.
Malas betul kalau harus membongkar lemari sebesar ini tanpa instruksi Ibu. Dari seluruh tumpukan kertas yang sudah tua baunya, aku cuma butuh selembar akta kelahiran yang sudah diminta sejak pekan lalu.
Tentu saja departemen SDM begitu baik mau menunggui akta kelahiran hingga seminggu lamanya, apalagi kalau bukan karena aku anak Ibu.
Aku mengecek ponsel sekali lagi, belum ada pesan baru yang masuk.
Mencari akta kelahiran seharusnya tak sulit. Aku hanya malas. Malas mencari akta kelahiran, malas ke SDM, malas membayangkan aku benar-benar jadi karyawan di majalah ini.
Aku sarjana politik dari Universitas tertua di negeri ini, sudah seminggu cuma mengurusi horoskop di majalah perempuan, laman yang begitu penting menurut Pemimpin Redaksi yang dulunya bawahan Ibu. Katanya horoskop adalah rubrik yang paling dicari oleh pembaca. Sebab itu tak satupun majalah perempuan yang tak memiliki laman tersebut. Banyak lah alasan untuk membesarkan hatiku, yang tak kunjung bertambah besar.
Bagaimana hati bisa besar untuk pekerjaan remeh temeh yang tak sekalipun memberi kesenangan. Apalagi ramalannya melulu salah untukku. Tak usah ramalan, sifat dasarku saja tak tepat penjabarannya.
Scorpio si sensual, misterius, teguh pendirian, berorientasi tujuan, manipulatif, tukang unjuk gigi, mandiri, tegas, keras, dan pencemburu. Terdengar seperti Ibu, bukan seperti aku. Harusnya aku jadi Pisces saja, si penonton dan pendengar, sensitif, penuh keraguan, eskapis, atau singkatnya dalam kesimpulan Ibu: klemar-klemer.
Terakadang kupikir keren betul kalau bisa jadi seperti Ibu. Namun juga capek betul, harus begitu galak sepanjang hari. Lalu aku jadi membayangkan ekspresi galak Ibu kalau sampai aku mengobrak-abrik lemari berkas kesayangannya ini demi selembar akta kelahiran.
Ibu membuatku tak berhubungan baik dengan lemari ini. Waktu SD aku pernah dimarahi habis-habisan, sampai kupikir aku akan ditelan, waktu ketahuan sedang bermain-main dengan lemari ini.
Kalau begitu aku sarapan dulu sajalah, sambil menunggu SMS dari Ibu.
***
“Ibu tidak bisa angkat telepon. Coba kamu cari akta kelahiran di lemari berkas di kamar ibu, laci kedua dari atas, paling kanan. Oya, Ibu extend sampai kamis.” Isi pesan singkat Ibu sungguh mengharukan, aku harus membongkar lemari berkas itu sendirian, dan Ibu tak pulang sampai hampir akhir pekan. Blah.
Kutinggalkan sarapan sehat a la Ibu, yang rasanya membosankan. Melesat ke laci kedua dari atas, paling kanan di lemari berkas Ibu. Laci itu sama tinggi dengan dahiku, biar jemari bisa mengorek-ngorek isinya, mataku tak bisa lihat isi laci. Susah payah kutarik kotak cokelat itu sampai keluar dari selot. Berat.
Ijazah Ibu banyak betul, belum lagi beragam penghargaan ini-itu, bertumpuk-tumpuk dalam map merah. Mual rasanya membayangkan punya Ibu begitu pintar. Orang-orang akan berharap banyak padaku sebagai anak satu-satunya. Maka, dari pada tambah berkecil hati sebaiknya map merah ini dilewatkan saja. Aku sudah bisa memastikan isinya cuma ijazah dan berbagai macam sertifikat Ibu.
Tersebutlah map hijau mudah di bawah map merah, pada mukanya tertulis MATAHARI. Seluruh hidupku pasti ada di sini.
Tak sesulit yang dibayangkan, kurang dari 10 menit sejak kutemukan map hijau sampai kemunculan akta lahir atas nama Matahari dengan cap Pemerintah Kota Jakarta Timur.
Akta lahir kusimpan baik-baik di dalam tas. Biar saja laci tetap berserak di lantai. Aku tak mau berurusan lagi dengan lemari berkas Ibu, termasuk lacinya.
Lagi pula, ramalan zodiak minggu ini harus disetor sebelum makan siang.
***
Belum pernah aku sampai rumah sesepi ini. Ibu tak ada, Bibik pulang kampung.
Sepi begini kamar Ibu jadi terlihat begitu jumawa; besar, elegan, rapi, tapi gelap dan dingin. Seperti Ibu. Lampu teras menerobos dari jendela, menyinari ambal merah tempat laci dan berkas berserakan. Duh, tak pantas betul ada hamparan berkas dan ceceran laci di atas ambal merah kesayangan Ibu yang mulia.
Sebaiknya kubereskan saja sebelum kemarahan Ibu menggelegar meruntuhkan kehidupanku selama seminggu.
Lalu aku berjingkat masuk kamar Ibu. Bodoh, untuk apa berjingkat, seolah bersembunyi dari Ibu seperti yang dulu selalu ku lakukan tiap hendak mendekati lemari berkas. Bahkan dadaku ikut berdebar, sama kencang dengan 15 tahun lalu, waktu Ibu akan memakanku.
Merasa konyol, aku langsung menyalakan lampu dan mencoba bersikap sebiasa mungkin.
Tiap berkas yang berserak ku teliti satu per satu, sebelum dikembalikan ke laci. Mana tau ada yang tidak pada tempatnya karena pagi tadi aku begitu terburu waktu.
Pada ijazah-ijazah itu ada foto-foto Ibu, Ibu saat bersekolah dasar, saat SMP, SMA, kuliah, hingga jadi Ph.D. Semacam ziarah kenangan yang tak pernah diketahui, kerinduan yang tak pernah ada, tetapi terasa begitu dekat.
Saat merapikan berkas-berkas Ibu yang luar biasa itu kutemukan selembar foto terselip. Gambar bayi berpipi merah, bertuliskan Matahari Suriatanwidjaja, 19 Maret 1989.
Aku tak pernah punya foto diri saat masih bayi merah begini. Kata Ibu, banyak foto tercecer saat pindah rumah, lalu hilang entah ke mana. Bisa jadi ini foto yang berhasil tersimpan, bisa jadi bayi ini aku. Namun, entah apa arti tanggal di sana.
Aku jadi penasaran, jangan-jangan ada foto lain dalam lemari ini.
Setelah mengembalikan laci ijazah pada tempatnya, kutarik semua laci satu-persatu. Tak ada yang terlalu menarik. Hanya saja, ada satu laci teratas yang terkunci rapat.
Aneh, kenapa laci itu harus terkunci.
Aku menoleh ke kanan-kiri, memastikan tak ada Ibu, atau bayangan Ibu. Padahal sudah pasti tak ada juga.
Nafasku jadi panjang dan berat. Keringat mengucur di dahi, jantung berlompatan. Ibu bahkan tak mengunci lemari pakaian, tapi satu laci lemari berkas teratas, kenapa harus begitu rapat.
Ibu memiliki sebuah tas penyimpanan kunci yang isinya seluruh kunci yang dibutuhkan di rumah ini. Sayang sekali tak satupun dapat memutar lubang di laci teratas.
Otakku berpikir keras, mencari-cari kemungkinan tempat penyimpanan kunci. Aku setengah berlari ke lemari pakaian Ibu, kubuka laci perhiasan dengan kunci duplikat dari Ibu. Satu-satunya kunci yang tak disimpan di tas kunci, melainkan selalu dibawa Ibu, dan satu duplikatnya diberikan padaku.
Pada salah satu kotak beludru yang seharusnya berisi cincin, di situ aku temukan sebuah kunci.
***
Laci paling kecil dan yang satu-satunya terkunci, terbuka lebar. Ada lebih banyak foto bayi berpipi merah dengan mata segaris. Ini pasti aku. Sedang foto perempuan cantik ini pasti Ibu.
Ada begitu banyak foto dalam laci yang terkunci. Bayi bermata segaris dan berpipi merah ini ada di mana-mana, baik di dalam kereta dorong pada taman kota, atau sedang dijemur di pekarangan.
Kenapa Ibu harus menyembunyikan foto bagus begini.
Aku terus saja mengorek-ngorek laci. Memperhatikan satu per satu foto di dalamnya, sampai menemukan selembar kertas yang menguning dimakan waktu. Inti lembar tersebut hanya ingin menyatakan:
Birth of Certificate
Matahari Suriatanwidjaja
Charlottesville, March 19th, 1990.
He? Apalah ini. Jelas-jelas foto kopi akta kelahiran yang kuserahkan ke HRD pagi tadi menyatakan aku ini anak Jakarta Timur yang lahir 19 November 1990. Mana yang benar?
Ah, kalau aku tanya Ibu, dia pasti memakanku karena sudah membongkar lemari keramat.
***
Di antara foto bayi dan gambar Ibu (tak ada satupun foto ayah), buku cokelat tersibak di dasar laci. Semacam buku harian.
***
Ibu hamil saat berkuliah di negeri orang, usiaku sebagai janin sudah 9 minggu saat diketahui, tak mungkin lagi aborsi. Aku ngeri membayangkan Ibu ingin menghilangkan aku dari hidupnya. Tak habis pikir bagaimana ayahku (siapapun dia) enggan memakai kondom, atau bagaimana bisa Ibu tak mau minum pil cuma karena takut gemuk. Lalu keduanya tak memikirkan bagaimana membesarkan anak kalau sampai hamil.
Halaman-halaman selanjutnya hanyalah catatan teknis kehamilan, dan essay-essay ibu soal betapa pentingnya pendidikan seks ada di Indonesia untuk menekan angka kehamilan tidak diinginkan, juga penyakit menular seksual. Ibu memang perempuan Indonesia yang progresif, sudah memikirkan pendidikan seks pada tahun 1980an, tapi Ibu juga ternyata sudah tak punya emosi sejak berpuluh tahun yang lalu. Bisa-bisanya dia membuat analisa dan tulisan ilmiah mengenai pentingnya pendidikan seks sambil ingin menghilangkan aku.
Meski begitu sesak dadaku, pada saat yang sama, belum pernah aku merasa sebegitu dekat dengan Ibu, belum pernah sedekat ini dengan masa lalu Ibu. Seperti menemukan dongeng yang tak pernah diceritakan Ibu sepanjang hidupku. Jangankan Cinderella, atau Thumbellina, tentang masa kuliahnya di Jogja atau Alabama saja Ibu tak pernah cerita, apalagi kisah masa SMA atau kencannya yang pertama.
Selama ini Ibu ada, tapi tak ada.
Buku itu begitu tebal, aku tak merasa harus terburu-buru menyelesaikannya. Toh Ibu tak akan pulang sampai minggu depan. Kunikmati setiap cerita Ibu, kunikmati kebencianku pada Ibu. Seumur hidup aku dibohongi tentang kelahiranku sendiri.
***
Satu hari menuju kepulangan Ibu, aku sudah menyiapkan segala amarah yang harus ditumpahkan. Sengaja kuendapkan lama-lama, aku tak ingin marah melalui telepon, apalagi pesan singkat. Aku ingin mendengar dari Ibu, kenapa Ibu menyembunyikan kelahiranku yang sesungguhnya. Karena aku anak haram?
Kasihan betul aku, baru lahir saja sudah menanggung dosa moral sebagai anak haram, disembunyikan kebenaran keberadaannya. Orang-orang dewasa ini sungguh tak adil pada anak-anak mereka, sudah tak bisa memilih ingin lahir di mana dari Rahim siapa, masih pula dituduh haram.
Makin mendekati halaman akhir, kemarahanku makin membuncah. Tak ada nada kasih sayang dalam tulisan Ibu. Semuanya datar, hanya soal apa yang dilakukannya selama kehamilan, apa yang dimakannya, olah raga apa yang harus dilakukan, tips dokter dan teman-teman, serta barang-barang yang harus dipersiapkan. Perempuan macam apa sih yang melahirkan aku ini.
Itu halaman akhir, dan menurut catatan Ibu, aku belum genap sebulan.
***
Koper Ibu masih tergeletak di ruang tamu. Ibu sedang mandi air hangat, uapnya membebaskan diri melalui celah pintu kamar mandi. Buku kehamilan Ibu—aku tak sudi menyebutnya buku harian, dalam bayangku buku harian seharusnya lebih intim—rapi dalam laci teratas, terkunci. Begitu juga bundelan foto bayi berpipi merah dengan mata segaris.
Subuh belum berlalu saat Ibu sampai rumah. Matahari masih semburat, dan ayam tetangga mungkin sedang mematuk-matuk beras yang dihambur ke halaman, seperti aku mematuk-matuk sarapan di meja makan.
Aku masih belum sepenuhnya menerima kenyataan bahwa Ibu sempat berfikir untuk melakukan induksi haid, cara aborsi buatan, untuk menghilangkanku dari hidupnya. Juga belum bisa menerima sepenuhnya bahwa salah satu hal dasar yang kutahu soal hidupku adalah kebohongan belaka. Namun setidaknya terjawab sudah kenapa ramalan bintang tak pernah sepadan dengan hidupku, bagaimana tidak, aku ini pisces, tapi selalu mencari ramalan scorpio.
Usai mengembalikan buku kehamilan Ibu, dan merapikan segala sesuatunya, aku tak bisa tidur semalaman. Mungkin begitu juga yang dirasa ibu saat tahu aku mulai berdetak dalam rahimnya.
Bisa saja aku tak ada di sini saat ini, selalu ada opsi adopsi tertutup, atau adopsi terbuka. Artinya bisa saja saat ini aku berada di salah satu rumah keluarga Amerika yang menginginkan anak Asia, atau mungkin sudah tak ada. Siapa yang bisa menjamin manusia dingin seperti Ibu tak berbuat nekat.
Bisa saja aku diserahkan ke panti sosial. Eh, bisa tidak sih? Atau apalah, selalu ada pilihan untuk tidak usah susah-susah mebesarkan anak, lalu pulang saja ke Indonesia sendirian. Tak perlu susah-susah mengatur-atur tanggal di akta asli tapi palsu, agar sesuai dengan tanggal perkawinan, agar anaknya tak disebut anak haram di masa depan.
“Ibu, aku berangkat kerja duluan ya,” kataku dari mulut kamarnya, yang tak lagi terasa sedingin kemarin.
Untung saja aku pisces, kalau aku scorpio pasti aku sudah meledak-ledak meminta penjelasan Ibu. Biar sajalah. Scorpio seperti Ibu tak mungkin tak punya alasan, dan tak mungkin tak punya rencana, tak mungkin juga tak bersiap-siap saat membiarkanku mendekati laci keramat.
Kalau saat itu tiba, aku sudah lebih dulu berdamai dengan Ibu, lebih lagi, dengan diriku. Sampai saat itu, biar saja Ibu menikmati detik-detik akhir kemisteriusannya.
“Matahari, kemarin Ibu lihat kamu nggak rapi baju kerjanya. Untuk hari ini Ibu sudah pilihkan buat kamu. Pakai yang digantung di pintu lemari kamu. Jangan sampe baru seminggu kerja uda malu-maluin Ibu.”
Kubiarkan gema perintah Ibu menguap, sampai hening, sampai cericip burung kembali terdengar. Tak ada gunanya menjawab, lebih baik melanjut tidur barang 5 menit—10 menit. Lumayan.
“Kamu ga mau turun cium pipi Ibu?”
Sekarang Ibu pasti sudah menyesap tetes terakhir susu kedelainya, memastikan gincu dan rambut tertata baik, menggamit tas besar berisi komputer jinjing, berkas-berkas, dan entah apa lagi.
“Matahari!”
Demi teriakan tertahan Ibu, tak satu pun mahluk yang berani-beraninya sekadar mengerjap, otakku tahu betul kalau wajahku tak berhadapan dengan Ibu dalam 5 menit, sengsaranya tak akan sebanding dengan nikmat tambahan tidur 10 menit.
***
Air pancuran menderas, uap air bergerak ke arah sebaliknya. Kulitku mengerut dilapisi air hangat. Jemari menggosok-gosok busa di kepala, sedang cermin di seberang semakin buram.
Mandi dengan pancuran air panas setidaknya menghabiskan 18 menit, dengan komposisi 3 menit mandi dan keramas, lalu 15 menit lainnya dihabiskan untuk memikirkan apa saja yang bisa terjadi di alam semesta, misalnya kenapa aku dan Ibu bisa-bisanya berbagi zodiak yang sama, tapi sifat kami jauh berbeda. Siapapun paham Ibu yang begitu tegas (atau galak menurutku), dan aku yang begitu santai cengengesan.
Ah sial, aku lupa meminta akta kelahiran pada Ibu.
Begitulah bagusnya mandi di bawah pancuran air hangat, seringkali tetiba ingat banyak hal yang terlupa.
***
Kamar Ibu begitu besar, terlalu besar buat Ibu sendirian. Isinya barang-barang yang begitu besar, ranjang besar, lemari baju besar, dan lemari berkas yang tak kalah besar. Lemari yang mungkin menyimpan akta kelahiran sialan.
Ibu belum juga membalas pesan singkat yang cepat-cepat kukirim begitu keluar kamar mandi, masih dengan jemari yang basah. Pesan yang belum juga dibalas sampai aku siap bergegas.
Malas betul kalau harus membongkar lemari sebesar ini tanpa instruksi Ibu. Dari seluruh tumpukan kertas yang sudah tua baunya, aku cuma butuh selembar akta kelahiran yang sudah diminta sejak pekan lalu.
Tentu saja departemen SDM begitu baik mau menunggui akta kelahiran hingga seminggu lamanya, apalagi kalau bukan karena aku anak Ibu.
Aku mengecek ponsel sekali lagi, belum ada pesan baru yang masuk.
Mencari akta kelahiran seharusnya tak sulit. Aku hanya malas. Malas mencari akta kelahiran, malas ke SDM, malas membayangkan aku benar-benar jadi karyawan di majalah ini.
Aku sarjana politik dari Universitas tertua di negeri ini, sudah seminggu cuma mengurusi horoskop di majalah perempuan, laman yang begitu penting menurut Pemimpin Redaksi yang dulunya bawahan Ibu. Katanya horoskop adalah rubrik yang paling dicari oleh pembaca. Sebab itu tak satupun majalah perempuan yang tak memiliki laman tersebut. Banyak lah alasan untuk membesarkan hatiku, yang tak kunjung bertambah besar.
Bagaimana hati bisa besar untuk pekerjaan remeh temeh yang tak sekalipun memberi kesenangan. Apalagi ramalannya melulu salah untukku. Tak usah ramalan, sifat dasarku saja tak tepat penjabarannya.
Scorpio si sensual, misterius, teguh pendirian, berorientasi tujuan, manipulatif, tukang unjuk gigi, mandiri, tegas, keras, dan pencemburu. Terdengar seperti Ibu, bukan seperti aku. Harusnya aku jadi Pisces saja, si penonton dan pendengar, sensitif, penuh keraguan, eskapis, atau singkatnya dalam kesimpulan Ibu: klemar-klemer.
Terakadang kupikir keren betul kalau bisa jadi seperti Ibu. Namun juga capek betul, harus begitu galak sepanjang hari. Lalu aku jadi membayangkan ekspresi galak Ibu kalau sampai aku mengobrak-abrik lemari berkas kesayangannya ini demi selembar akta kelahiran.
Ibu membuatku tak berhubungan baik dengan lemari ini. Waktu SD aku pernah dimarahi habis-habisan, sampai kupikir aku akan ditelan, waktu ketahuan sedang bermain-main dengan lemari ini.
Kalau begitu aku sarapan dulu sajalah, sambil menunggu SMS dari Ibu.
***
“Ibu tidak bisa angkat telepon. Coba kamu cari akta kelahiran di lemari berkas di kamar ibu, laci kedua dari atas, paling kanan. Oya, Ibu extend sampai kamis.” Isi pesan singkat Ibu sungguh mengharukan, aku harus membongkar lemari berkas itu sendirian, dan Ibu tak pulang sampai hampir akhir pekan. Blah.
Kutinggalkan sarapan sehat a la Ibu, yang rasanya membosankan. Melesat ke laci kedua dari atas, paling kanan di lemari berkas Ibu. Laci itu sama tinggi dengan dahiku, biar jemari bisa mengorek-ngorek isinya, mataku tak bisa lihat isi laci. Susah payah kutarik kotak cokelat itu sampai keluar dari selot. Berat.
Ijazah Ibu banyak betul, belum lagi beragam penghargaan ini-itu, bertumpuk-tumpuk dalam map merah. Mual rasanya membayangkan punya Ibu begitu pintar. Orang-orang akan berharap banyak padaku sebagai anak satu-satunya. Maka, dari pada tambah berkecil hati sebaiknya map merah ini dilewatkan saja. Aku sudah bisa memastikan isinya cuma ijazah dan berbagai macam sertifikat Ibu.
Tersebutlah map hijau mudah di bawah map merah, pada mukanya tertulis MATAHARI. Seluruh hidupku pasti ada di sini.
Tak sesulit yang dibayangkan, kurang dari 10 menit sejak kutemukan map hijau sampai kemunculan akta lahir atas nama Matahari dengan cap Pemerintah Kota Jakarta Timur.
Akta lahir kusimpan baik-baik di dalam tas. Biar saja laci tetap berserak di lantai. Aku tak mau berurusan lagi dengan lemari berkas Ibu, termasuk lacinya.
Lagi pula, ramalan zodiak minggu ini harus disetor sebelum makan siang.
***
Belum pernah aku sampai rumah sesepi ini. Ibu tak ada, Bibik pulang kampung.
Sepi begini kamar Ibu jadi terlihat begitu jumawa; besar, elegan, rapi, tapi gelap dan dingin. Seperti Ibu. Lampu teras menerobos dari jendela, menyinari ambal merah tempat laci dan berkas berserakan. Duh, tak pantas betul ada hamparan berkas dan ceceran laci di atas ambal merah kesayangan Ibu yang mulia.
Sebaiknya kubereskan saja sebelum kemarahan Ibu menggelegar meruntuhkan kehidupanku selama seminggu.
Lalu aku berjingkat masuk kamar Ibu. Bodoh, untuk apa berjingkat, seolah bersembunyi dari Ibu seperti yang dulu selalu ku lakukan tiap hendak mendekati lemari berkas. Bahkan dadaku ikut berdebar, sama kencang dengan 15 tahun lalu, waktu Ibu akan memakanku.
Merasa konyol, aku langsung menyalakan lampu dan mencoba bersikap sebiasa mungkin.
Tiap berkas yang berserak ku teliti satu per satu, sebelum dikembalikan ke laci. Mana tau ada yang tidak pada tempatnya karena pagi tadi aku begitu terburu waktu.
Pada ijazah-ijazah itu ada foto-foto Ibu, Ibu saat bersekolah dasar, saat SMP, SMA, kuliah, hingga jadi Ph.D. Semacam ziarah kenangan yang tak pernah diketahui, kerinduan yang tak pernah ada, tetapi terasa begitu dekat.
Saat merapikan berkas-berkas Ibu yang luar biasa itu kutemukan selembar foto terselip. Gambar bayi berpipi merah, bertuliskan Matahari Suriatanwidjaja, 19 Maret 1989.
Aku tak pernah punya foto diri saat masih bayi merah begini. Kata Ibu, banyak foto tercecer saat pindah rumah, lalu hilang entah ke mana. Bisa jadi ini foto yang berhasil tersimpan, bisa jadi bayi ini aku. Namun, entah apa arti tanggal di sana.
Aku jadi penasaran, jangan-jangan ada foto lain dalam lemari ini.
Setelah mengembalikan laci ijazah pada tempatnya, kutarik semua laci satu-persatu. Tak ada yang terlalu menarik. Hanya saja, ada satu laci teratas yang terkunci rapat.
Aneh, kenapa laci itu harus terkunci.
Aku menoleh ke kanan-kiri, memastikan tak ada Ibu, atau bayangan Ibu. Padahal sudah pasti tak ada juga.
Nafasku jadi panjang dan berat. Keringat mengucur di dahi, jantung berlompatan. Ibu bahkan tak mengunci lemari pakaian, tapi satu laci lemari berkas teratas, kenapa harus begitu rapat.
Ibu memiliki sebuah tas penyimpanan kunci yang isinya seluruh kunci yang dibutuhkan di rumah ini. Sayang sekali tak satupun dapat memutar lubang di laci teratas.
Otakku berpikir keras, mencari-cari kemungkinan tempat penyimpanan kunci. Aku setengah berlari ke lemari pakaian Ibu, kubuka laci perhiasan dengan kunci duplikat dari Ibu. Satu-satunya kunci yang tak disimpan di tas kunci, melainkan selalu dibawa Ibu, dan satu duplikatnya diberikan padaku.
Pada salah satu kotak beludru yang seharusnya berisi cincin, di situ aku temukan sebuah kunci.
***
Laci paling kecil dan yang satu-satunya terkunci, terbuka lebar. Ada lebih banyak foto bayi berpipi merah dengan mata segaris. Ini pasti aku. Sedang foto perempuan cantik ini pasti Ibu.
Ada begitu banyak foto dalam laci yang terkunci. Bayi bermata segaris dan berpipi merah ini ada di mana-mana, baik di dalam kereta dorong pada taman kota, atau sedang dijemur di pekarangan.
Kenapa Ibu harus menyembunyikan foto bagus begini.
Aku terus saja mengorek-ngorek laci. Memperhatikan satu per satu foto di dalamnya, sampai menemukan selembar kertas yang menguning dimakan waktu. Inti lembar tersebut hanya ingin menyatakan:
Birth of Certificate
Matahari Suriatanwidjaja
Charlottesville, March 19th, 1990.
He? Apalah ini. Jelas-jelas foto kopi akta kelahiran yang kuserahkan ke HRD pagi tadi menyatakan aku ini anak Jakarta Timur yang lahir 19 November 1990. Mana yang benar?
Ah, kalau aku tanya Ibu, dia pasti memakanku karena sudah membongkar lemari keramat.
***
Di antara foto bayi dan gambar Ibu (tak ada satupun foto ayah), buku cokelat tersibak di dasar laci. Semacam buku harian.
***
Ibu hamil saat berkuliah di negeri orang, usiaku sebagai janin sudah 9 minggu saat diketahui, tak mungkin lagi aborsi. Aku ngeri membayangkan Ibu ingin menghilangkan aku dari hidupnya. Tak habis pikir bagaimana ayahku (siapapun dia) enggan memakai kondom, atau bagaimana bisa Ibu tak mau minum pil cuma karena takut gemuk. Lalu keduanya tak memikirkan bagaimana membesarkan anak kalau sampai hamil.
Halaman-halaman selanjutnya hanyalah catatan teknis kehamilan, dan essay-essay ibu soal betapa pentingnya pendidikan seks ada di Indonesia untuk menekan angka kehamilan tidak diinginkan, juga penyakit menular seksual. Ibu memang perempuan Indonesia yang progresif, sudah memikirkan pendidikan seks pada tahun 1980an, tapi Ibu juga ternyata sudah tak punya emosi sejak berpuluh tahun yang lalu. Bisa-bisanya dia membuat analisa dan tulisan ilmiah mengenai pentingnya pendidikan seks sambil ingin menghilangkan aku.
Meski begitu sesak dadaku, pada saat yang sama, belum pernah aku merasa sebegitu dekat dengan Ibu, belum pernah sedekat ini dengan masa lalu Ibu. Seperti menemukan dongeng yang tak pernah diceritakan Ibu sepanjang hidupku. Jangankan Cinderella, atau Thumbellina, tentang masa kuliahnya di Jogja atau Alabama saja Ibu tak pernah cerita, apalagi kisah masa SMA atau kencannya yang pertama.
Selama ini Ibu ada, tapi tak ada.
Buku itu begitu tebal, aku tak merasa harus terburu-buru menyelesaikannya. Toh Ibu tak akan pulang sampai minggu depan. Kunikmati setiap cerita Ibu, kunikmati kebencianku pada Ibu. Seumur hidup aku dibohongi tentang kelahiranku sendiri.
***
Satu hari menuju kepulangan Ibu, aku sudah menyiapkan segala amarah yang harus ditumpahkan. Sengaja kuendapkan lama-lama, aku tak ingin marah melalui telepon, apalagi pesan singkat. Aku ingin mendengar dari Ibu, kenapa Ibu menyembunyikan kelahiranku yang sesungguhnya. Karena aku anak haram?
Kasihan betul aku, baru lahir saja sudah menanggung dosa moral sebagai anak haram, disembunyikan kebenaran keberadaannya. Orang-orang dewasa ini sungguh tak adil pada anak-anak mereka, sudah tak bisa memilih ingin lahir di mana dari Rahim siapa, masih pula dituduh haram.
Makin mendekati halaman akhir, kemarahanku makin membuncah. Tak ada nada kasih sayang dalam tulisan Ibu. Semuanya datar, hanya soal apa yang dilakukannya selama kehamilan, apa yang dimakannya, olah raga apa yang harus dilakukan, tips dokter dan teman-teman, serta barang-barang yang harus dipersiapkan. Perempuan macam apa sih yang melahirkan aku ini.
***
Musim dingin 1989 adalah salah satu
yang paling membuat gila. Tornado parah menerjang negara bagian di wilayah
tengah dan timur Amerika, menghasilkan wabah tornado dahsyat di Alabama, bahkan
di Newburgh, tornado menewaskan delapan mahasiswa, dan melukai 18 lainnya.
Hamil besar, jauh dari rumah, dengan
bonus musim dingin, tentu bukan kombinasi yang baik. Langit begitu gelap, tak
ada bulan, cuma awan, serta cahaya lampu dari rumah-rumah dan gedung di
kejauhan. Sementara di hadapku hanya ada monitor yang tak kalah gendut dengan
perut, juga buku catatan besar berisi rumus-rumus.
Aku telah
mengandung, melahirkan, dan menyusui, lagi mengurusi seorang putri yang
memiliki senyum paling membahagiakan di seluruh dunia. Aku belajar keras,
melewatkan tumpukan tugas, dan menyelesaikan dua ujian paling sulit.
Singkatnya, dalam waktu kurang dari satu tahun, aku sudah melewati penderitaan
dan kesakitan luar biasa.
Tentu berulang
kali ingin menyerah, pulang ke rumah, mengaku bersalah, dan mengulang lagi dari
awal, tahun depan. Pikiran tersebut datang dan pergi, boleh dibilang semakin
sering datang dan bersemayam di pikiran dalam sebulan belakangan. Namun, apapun
itu, aku tahu aku tak boleh sekalipun menyerah.
Dengan
keterbatasan fisik dan penderitaan mental, hingga pengerjaan berbagai tugas dan
ujian, aku sangat sangat terbuka dengan kemungkinan gagal di banyak mata
kuliah. Namun aku tetap bersyukur dan berkeyakinan segala kerja keras akan
terbayar, pada akhirnya.
Mengapa aku
melakukan hal gila semacam ini, menerima kesakitan fisik, dan rasa frustrasi
paling besar dalam hidup. Mungkin tak ada alasan pasti, tapi aku punya tujuan
pasti. Aku mau saat putri kecil ini melihatku, dia bisa berkata: Aku bisa
melakukan apapun, jika Tuhan menghendaki, setidaknya Ibu berhasil membuktikan.
Our greatest glory
is not in never falling, but in rising every time we fall, kata Confuscius.
Itu halaman akhir, dan menurut catatan Ibu, aku belum genap sebulan.
***
Koper Ibu masih tergeletak di ruang tamu. Ibu sedang mandi air hangat, uapnya membebaskan diri melalui celah pintu kamar mandi. Buku kehamilan Ibu—aku tak sudi menyebutnya buku harian, dalam bayangku buku harian seharusnya lebih intim—rapi dalam laci teratas, terkunci. Begitu juga bundelan foto bayi berpipi merah dengan mata segaris.
Subuh belum berlalu saat Ibu sampai rumah. Matahari masih semburat, dan ayam tetangga mungkin sedang mematuk-matuk beras yang dihambur ke halaman, seperti aku mematuk-matuk sarapan di meja makan.
Aku masih belum sepenuhnya menerima kenyataan bahwa Ibu sempat berfikir untuk melakukan induksi haid, cara aborsi buatan, untuk menghilangkanku dari hidupnya. Juga belum bisa menerima sepenuhnya bahwa salah satu hal dasar yang kutahu soal hidupku adalah kebohongan belaka. Namun setidaknya terjawab sudah kenapa ramalan bintang tak pernah sepadan dengan hidupku, bagaimana tidak, aku ini pisces, tapi selalu mencari ramalan scorpio.
Usai mengembalikan buku kehamilan Ibu, dan merapikan segala sesuatunya, aku tak bisa tidur semalaman. Mungkin begitu juga yang dirasa ibu saat tahu aku mulai berdetak dalam rahimnya.
Bisa saja aku tak ada di sini saat ini, selalu ada opsi adopsi tertutup, atau adopsi terbuka. Artinya bisa saja saat ini aku berada di salah satu rumah keluarga Amerika yang menginginkan anak Asia, atau mungkin sudah tak ada. Siapa yang bisa menjamin manusia dingin seperti Ibu tak berbuat nekat.
Bisa saja aku diserahkan ke panti sosial. Eh, bisa tidak sih? Atau apalah, selalu ada pilihan untuk tidak usah susah-susah mebesarkan anak, lalu pulang saja ke Indonesia sendirian. Tak perlu susah-susah mengatur-atur tanggal di akta asli tapi palsu, agar sesuai dengan tanggal perkawinan, agar anaknya tak disebut anak haram di masa depan.
“Ibu, aku berangkat kerja duluan ya,” kataku dari mulut kamarnya, yang tak lagi terasa sedingin kemarin.
Untung saja aku pisces, kalau aku scorpio pasti aku sudah meledak-ledak meminta penjelasan Ibu. Biar sajalah. Scorpio seperti Ibu tak mungkin tak punya alasan, dan tak mungkin tak punya rencana, tak mungkin juga tak bersiap-siap saat membiarkanku mendekati laci keramat.
Kalau saat itu tiba, aku sudah lebih dulu berdamai dengan Ibu, lebih lagi, dengan diriku. Sampai saat itu, biar saja Ibu menikmati detik-detik akhir kemisteriusannya.
Comments
Post a Comment