(Bukan) Negara Pasar Malam

Indonesia menuju 70 tahun begitu riuh. Seperti pasar malam, gemerlap dan gelap berdampingan, gegap gempita, kecewa, harapan, kesedihan, dan kemeriahan bercampur baur.

Hutan-hutan beton riuh berdiri, menggantikan hutan surga tropis yang tinggal 48% saja, padahal 50 tahun yang lalu 82% wilayah Indonesia masih tertutup hutan[1]. Asap-asap karbon hitam kebakaran gegap menggantikan oksigen dan udara bersih.

Indonesia menuju pemilihan presiden langsung ketiga sejak reformasi, riuh dengan warna-warni pasar malam. Merah, hijau, hitam, kuning, biru berjejal memenuhi pandang.

Seperti merahnya darah mamalia laut yang terbunuh lantaran penangkapan ikan berlebihan. Seperti  hijaunya kebun sawit yang menggusur hutan-hutan, seperti pekatnya hitam asap energi kotor batu bara yang menyesakan dan menghilangkan mata pencaharian ribuan petani. Juga seperti kuning dan biru limbah yang keluar dari pipa-pipa pabrik, yang bermuara pada sungai yang menjadi tumpuan air bersih Ibu Kota.

Laiknya bandar judi di lapak-lapak pasar malam yang memberi harapan tentang segepok uang ribuan, para calon pemimpin meminta kita menjatuhkan pilihan. Maka nasib pun dijudikan pada wajah-wajah tersenyum di atas kertas, sembari berharap untuk perut yang kenyang dan bayi yang pulas sambil menetek pada ibunya. Karena kestabilan ekonomi, politik, dan hukum terdengar terlalu muluk.

Sebagian wajah tersenyum itu menasbihkan diri sebagai wakil nelayan. Semoga saja dia sungguhan paham bahwa 520.472 nelayan Indonesia menderita lantaran industri perikanan raksasa yang telah mengambil 90% ikan-ikan besar dari laut, sampai yang terdalam. Juga bahwa 25% hasil perikanan Indonesia telah dicuri, dan meskipun tak dicuri seluruh industri perkinanan nasional, meski berbendera merah-putih sesungguhnya dikuasai Jepang, Thailand, dan Taiwan.

Sebagian gambar lain pada kertas suara mengamini diri sebagai sahabat petani. Semoga saja dia tak terhubung dengan pabrik yang mengotori Citarum, sumber irigasi petani di Jawa Barat. Pada sungai tersebut, 289 ton limbah di buang tiap harinya. Memberi Citarum tempat tidak terhormat sebagai sungai paling kotor di dunia.[2]

Seperti berharap agar mesin pancing mainan tidak diatur dengan curang, kita berharap agar tak ada pengaturan yang mencurangi potensi ekonomi Indonesia layaknya pemerintah terdahulu.

Indonesia memiliki modal alam yang mencapai sekitar seperempat total kekayaan Indonesia tapi menyusut cepat dan tidak diimbangi dengan investasi yang mencukupi dalam modal sumber daya manusia atau yang dihasilkan.[3]

Indonesia mengalami pertumbuhan luar biasa pesat di sektor pertambangan batu bara, ditandai dengan peningkatan ekspor hingga 5 kali lipat dalam kurun waktu 2000—2012, menjadikan Indonesia sebagai eksportir terbesar di dunia pada 2 tahun lalu. Akan tetapi, dengan pertumbuhan sebegitu pesat, batu bara hanya mampu menyumbang 4% atas PDB Indonesia.[4]

Padahal, dari sisi cadangan batubara dunia, Indonesia berada di bawah Australia, China dan India. Australia memiliki cadangan batubara 8,9% dari cadangan dunia, China mengumpulkan 13,3% dan India 7%. Sementara Indonesia hanya memiliki cadangan 0,6% dari total cadangan dunia sebesar 860 miliyar.[5]

Berkaca pada kecurangan atas potensi tersebut, kini setiap hak suara harus diberdayakan dengan tepat. Tak ada yang ingin pulang dari pasar malam dengan kerugian lantaran memilih-milih permainan tanpa pertimbangan matang, seperti ruginya Indonesia lantaran kerusakan lingkungan.

Hingga 2007, biaya ekonomi yang harus dikeluarkan Indoensia untuk air, sanitasi, dan kesehatan adalah US$7,7 miliar. Sementara biaya ekonomi untuk polusi udara luar ruang mencapai US$3,9 miliar. Nilai tersebut di luar biaya US$1,6 miliar yang terbuang untuk polusi udara dalam ruang.[6]

Jika pasar malam harus diatur dengan baik, agar para pemilik permainan  tidak berkelahi, Indonesia justru berjalan dengan pilot otomatis, tanpa koordinasi, sehingga persoalan lingkungan dan ekonomi terlepas sendiri-sendiri. 

Padahal pendekatan yang lebih ramah lingkungan (termasuk segala entitas di dalamnya; manusia, tumbuhan, binatang) dalam kebijakan ekonomi, dapat bahu-membahu menciptakan stabilitas ekonomi dan politik, termasuk menciptakan kedaulatan atas pangan dan energi.

Persoalan lingkungan di Indonesia memang bukan masalah mudah yang dapat selesai dalam satu pekan pasar malam. Namun apabila rezim penguasa meyakinkan diri untuk berkomitmen pada lingkungan, dan sungguhan menjalankan komitmennya, maka kita dapat menciptakan Indonesia baru.

Karena waktu yang paling baik untuk memperbaiki Indonesia adalah 50 tahun lalu, dan waktu terbaik selanjutnya adalah saat ini.

Karena Indonesia bukan pasar malam, yang cuma hidup dalam hitungan pekan.




[1] Hance, Jeremy. 2010. Half of Indonesia’s Species Remain Unknown. http://news.mongabay.com/2010/0202-hance_indonesiabio.html. Diunduh pada 14 Maret 2014.
[2] Ibid.
[3] Bank Dunia. 2009. Laporan: Analisa Lingkungan Indonesia. http://go.worldbank.org/CAPNPS2I10. Diunduh pada 14 Maret 2014.
[4] Greenpeace. 2014. Laporan: Batu Bara Melukai Perekonomian Indonesia.
[5] Saba, Alamsyah Pua. 2012. Ancaman dari negara Exportir menjadi importir. Majalah Tambang. http://www.tambang.co.id/detail_berita.php?category=4&newsnr=5944. Diunduh pada 17 Maret 2014.
[6] Salam, Darus. 2012. Ilusi Pertumbuhan Ekonomi dan Degradasi Lingkungan. Marketeers.  http://www.the-marketeers.com/archives/ilusi-pertumbuhan-ekonomi-dan-degradasi-lingkungan.html#.UyKPp_mSxXM. Diunduh pada 14 Maret 2014.

Comments

Popular posts from this blog

Mimpi

Addressing Climate Crisis with Ummah