Matahari
Langit baru berisi semburat, burung gereja belum bergegas mencari betina. Jangankan tukang bubur, matahari saja belum muncul. Namun, aku yakin Ibu sudah hampir menyelesaikan sarapan super sehatnya: susu kedelai hangat tanpa gula, dan muesli yang dicampur madu. “Matahari, kemarin Ibu lihat kamu nggak rapi baju kerjanya. Untuk hari ini Ibu sudah pilihkan buat kamu. Pakai yang digantung di pintu lemari kamu. Jangan sampe baru seminggu kerja uda malu-maluin Ibu.” Kubiarkan gema perintah Ibu menguap, sampai hening, sampai cericip burung kembali terdengar. Tak ada gunanya menjawab, lebih baik melanjut tidur barang 5 menit—10 menit. Lumayan. “Kamu ga mau turun cium pipi Ibu?” Sekarang Ibu pasti sudah menyesap tetes terakhir susu kedelainya, memastikan gincu dan rambut tertata baik, menggamit tas besar berisi komputer jinjing, berkas-berkas, dan entah apa lagi. “Matahari!” Demi teriakan tertahan Ibu, tak satu pun mahluk yang berani-beraninya sekadar mengerjap, otakku tahu betul kal