Fakir Buku

Aku sudah lama tidak mencuri atau membajak buku.

Biasanya sebagai mahasiswa kami membajak buku-buku teks secara terorganisasi karena buku aslinya terlalu mahal (aku masih merutuki pajak buku hingga saat ini), atau sulit dicari. Kadang-kadang juga membajak secara independen untuk buku-buku yang bukan bahan perkuliahan. Sedangkan mencuri buku hanya dilakukan dengan alasan-alasan khusus.

Buku-buku yang kucuri semuanya lapuk, bau kutu buku, dan bau usia. Aku tak pernah mencuri buku dari perpustakaan kampus, karena aku tahu banyak yang akan meminjam dan membaca kalau buku itu tetap di perpustakaan kampus. Paling hanya meminjam tanpa izin, lalu diam-diam aku kembalikan lagi kalau sudah selesai. Biasanya itu kulakukan untuk buku yang tak boleh dipinjam, atau kalau aku malas mencari kartu perpustakaan di antara tumpukan barang di kamar.

Terakhir mencuri buku adalah pada sebuah perpustakaan militer yang kosong, dengan buku-buku yang tak pernah dipinjam--menilai dari kartu buku yang masih kosong sejak tahun 1990an. Aku mencari-cari pembenaran (meski mencuri tak pernah bsia dibenarkan) untuk setiap pencurian. Biasanya adalah untuk menyelamatkan buku-buku agar tak habis di makan kutu, secara harafiah. Ah, namanya juga mahasiswa, masih merasa keren melakukan hal-hal begitu.

Aku tak bangga mencuri dan membajak. Bagaimanapun lebih menyenangkan membaca buku-buku asli.

Maka aku selalu memendam iri mendalam bagi anak-anak orang kaya. Di Jakarta banyak buku dijual seharga uang makanku selama seminggu, yang juga bisa dihamburkan sekali saja memberi minuman beralkohol warna warni yang dicampur leci atau lemon.

Menjadi fakir buku mungkin semacam karma karena tidak terlahir sebagai anak penurut.

Ayah bilang apabila aku mau masuk sekolah hukum di kotanya, maka aku akan dibelikan kendaraan roda empat. Aku pun menurut saja saat disuruh mengikuti sistem pendaftaran masuk universitas negeri tanpa tes, alias PMDK. Sialnya aku diterima juga di beberapa universitas negeri itu, kesemuanya Fakultas Hukum. Maka aku tak punya alasan untuk berkata tidak, kecuali mengaku: aku tak mau sekolah hukum, dan bagaimanapun aku tetap akan berkuliah di sekolah pilihanku, bukan pilihan orang lain.

Ayah tak memarahiku langsung, tapi perdebatannya dengan ibu berlangsung berbulan-bulan hingga akhirnya ibu memutuskan untuk meminjam saja uang di bank, agar aku bisa berkuliah di sekolah pilihanku, bukan pilihan ayah.

Empat tahun kemudian, aku sudah hampir menyelesaikan sekolah, kupikir ayah sudah bisa berdamai dengan pilihanku. Dia mulai menyebut-nyebut namaku dalam pertemuan-pertemuan dengan temannya, meski aku tak jadi masuk sekolah hukum seperti dua anak lelakinya.

Namun, pada tahun keempat itu jugalah ayah ternyata sudah memutuskan jalan hidupku:

"Nanti kamu kerja di bagian humas-nya PT Arara Abadi ya, dia punyanya Sinarmas, perusahaan bagus, itu."

"Ih, papa kan tahu aku mau jadi wartawan, dari SD juga aku bilang begitu."

"Kemunduran banget dong masak anak Papa jadi wartawan."

"Yang kemunduran itu perusahaan sawitnya temen Papa itu, kemunduran banget merusak hutan."

"Omongan kamu uda kayak greenpeace, anak-anak kurang kerjaan yang ngaku aktivis, itu"

...


Mungkin menjadi mahasiswa, wartawan, lalu pegiat lingkungan yang tak kaya secara finansial adalah karma karena tak menjadi anak penurut.

Namun seperti mencuri dan membajak buku, aku tak akan membangga-banggakan, tapi juga tak pernah malu karena kaya dengan rasa bahagia.

Comments

Popular posts from this blog

Mimpi

Addressing Climate Crisis with Ummah