Menghukum berat pemerkosa, cukupkah?
Ciswanto
ditangkap di stasiun Kereta Api Tegal, Juli 1996. Tak satupun media yang tak
memberitakan Ciswanto, tersangka sodomi sejumlah anak gelandangan yang dikenal
dengan Robot Gedek.
Iya,
sejumlah, rasanya tak pernah ada media yang menyebut pasti berapa jumlah anak
usia 11 tahun—15 tahun yang menjadi korban. Hanya disebut sejumlah. Mungkin
karena mereka “cuma” anak jalanan.
18 tahun
kemudian seorang bocah 5 tahun juga mengalami perkosaan di balik penjagaan
ketat sebuah sekolah internasional. Perkosaan dan pelecehan terhadap si bocah
dikabarkan melibatkan banyak pihak. Kesemuanya orang dewasa, atau setidaknya
sudah dalam usia legal untuk bekerja formal dalam wilayah hukum Indonesia.
Survei empat
provinsi yang dilakukan Unesco pada 2009 menunjukan sebagian besar anak dan
remaja di Aceh, Papua, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Timur melaporkan
pengalaman kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Seperti yang
sudah umum dipahami, kekerasan—termasuk kekerasan seksual—terjadi di lingkungan
terdekat anak. Kekerasan sering kali dilakukan oleh orang-orang dewasa yang
seharusnya bertanggung jawab melindungi anak-anak, termasuk guru sekolah, baik
sekolah umum, maupun sekolah keagamaan. Bahkan statistik mengatakan hanya
9%-30% pelaku perkosaan adalah orang yang tak dikenal korban.
Jelas kasus
semacam ini bukan temuan baru. Kasus ini bisa terjadi pada siapa saja, di mana saja. Baik anak sekolahan atau jalanan.
Namun apa reaksi pihak berwenang? Dalam sebuah
berita di media massa, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Usia Dini
Non-Formal dan Informal Kementerian Pendiikan dan Kebudayaan Lydia Freyani
Hawadi menuding pada pakaian siswa sekolah internasional yang tak berseragam dan
kerap minim sebagai salah satu faktor pemicu. Sebab itu harus ada perubahan mulai dari pakaian yang dikenakan.
Wah,
komentar macam apa itu?
Pertama,
orang macam apa yang tergugah libido-nya lantaran baju minim seorang anak
laki-laki berusia 5 tahun. Kedua, perkosaan bukanlah urusan libido. Setiap
manusia punya libido, aku bisa berhasrat pada seorang pria berdada bidang
dengan celana jeans ketat yang sedang ngopi di meja seberang, tetapi buakn berarti aku akan langsung menarik dia dan membuka meraba gundukan pada celananya, kan? Apalagi memerkosa. Perkosaan adalah urusan lain lagi. Perkosaan lebih dari sekadar libido, butuh usaha, daya, dan upaya untuk mewujudkannya.
Seseorang
yang ingin memerkosa butuh mencari ruang dan waktu, tenaga, dan
strategi-strategi untuk melakukan perkosaan. Seseorang yang ingin memerkosa
butuh otak yang tak waras dan menganggap yang diperkosanya adalah objek, bukan
manusia.
Aku berulang
kali menulis pakaian dan perkosaan jelas tidak berhubungan, sampai hampir
bosan. Tapi pejabat negara ini tampaknya tak pernah bosan menjadi dungu.
Persoalannya,
tanpa bantuan penghakiman dari para pejabat, juga media, korban pelecehan
seksual dalam negara patriarki ini sudah sering kali menyalahkan diri, trauma,
depresi, bahkan bunuh diri. Apabila itu adalah tujuan dari para pejabat, untuk
membuat korban menyalahkan diri, selamat anda layak dapat bintang!
Selanjutnya
semua orang saling menuding. Bisa ditebak media kemudian menjadi mudah tergoda
pada berita pupur dan gincu, belok ke sana-sini menyesuaikan dengan minat page
view. Bikin saja berita bombastis tentang seorang pedofil yang disebut buron
FBI padahal orangnya juga sudah mati.
Tak hanya
media, gosip dan petisi pun bermunculan, meminta pelaku perkosaan dihukum
berat. 15 tahun dianggap tak cukup sebagai hukuman terberat dalam undang-undang
kita.
Jelas sekali
pelaku harus dihukum berat.
Pada waktu SMA seorang teman sekolah terbunuh dalam perjalanan pulang, dan ayah yang saat itu menjadi Jaksa hanya bisa menuntut 15 tahun penjara, karena itulah hukuman tertinggi untuk kasus pembunuhan tak terencana yang ada di Undang-undang. Pedih rasanya. Sebab itu jelas aku percaya hukum kita harus berubah, lebih keras dalam teori dan implementasi.
Pada waktu SMA seorang teman sekolah terbunuh dalam perjalanan pulang, dan ayah yang saat itu menjadi Jaksa hanya bisa menuntut 15 tahun penjara, karena itulah hukuman tertinggi untuk kasus pembunuhan tak terencana yang ada di Undang-undang. Pedih rasanya. Sebab itu jelas aku percaya hukum kita harus berubah, lebih keras dalam teori dan implementasi.
Namun, aku
tak menandatangani petisi tersebut. Bukan berarti tak setuju pelaku harus
dihukum berat, aku hanya tidak setuju kalau kita melulu berpikir reaktif.
Pelaku bisa saja sih dihukum mati, tetapi si anak tetap saja sudah terlanjur
depresi.
Mungkin
hipotesanya hukuman berat dapat menghilangkan pemerkosa, nol kasus perkosaan
begitu. Duh, tapi belum ada bukti hukuman mati mengurani kejahatan. Buktinya
pengedar dan pemakai narkoba masih banyak aja tuh, walaupun di bandara banyak
banget slogan hukuman mati bagi pengedar.
Kenapa
kebijakan kita melulu reaktif, melulu reward-punishment, dan lebih banyak
punishment-nya? Aku tidak sedang hanya bisacara kebijakan negara, tapi juga
kultur kebijakan kita. Kalau juara satu di kelas akan dihadiahi sesuatu,
kalau tidak bikin PR akan dihukum. Kalau pengusaha tidak bayar pajak... diberi
keringanan, hutangnya dibayari negara, dan bisa jadi calon presiden pula. Eh.
Intinya, aku
tak melihat hukuman memberi efek jera. Belum lagi kasus-kasus perkosaan yang
tidak terungkap karena para pelaku sangat manipulatif dan lihai membujuk. Tak
dapatlah mereka hukuman, dan akan enteng saja berpikir seperti Robot Gedeg:
pusing sekali rasanya kalau sebulan saja tidak menyodomi anak-anak. Mak!
Kapan kita
akan melihat dari sisi korban, dan dari sisi kita, yang bukan tidak mungkin
menjadi korban? Kita yang sudah dewasa sih jelas bisa membedakan sentuhan sayang dan sentuhan nafsu, membedakan flirting dan harassment, membedakan cinta dan
sex. Bagaimana dengan anak-anak? Sampai kapan kita mau tabu bicara otoritas
tubuh sebagai bagian dari pendidikan seks?
Berulang
kali aku menulis, pendidikan seks komprehensif bukanlah mengajarkan tata cara
coitus, bukan kamasutra. Pendidikan seks komprehensif tidak mungkin mengajarkan cara penggunaan
alat kontrasepsi ke anak usia 8 tahun. Pendidikan seks tak pernah bertujuan
mendorong untuk berhubungan seks, melainkan melihat seks dengan lebih jernih,
vagina dan penis hanyalah bagian tubuh—seperti jemari, rambut, kaki—yang tak
semestinya berkonotasi negatif.
Pendidikan
seks paling awal bagi anak umur 5 tahun misalnya adalah mengenali tubuh, membersihkan
tubuh, dan mengajarkan bahwa ada banyak area privat yang harus dlindungi. Jangan
biarkan orang lain melihat-lihat atau menyentuh-nyentuh.
Pendidikan
seks pada anak usia 9 tahun mungkin mengenai perubahan tubuh, mengapa payudara
mulai tumbuh, dan soal ketertarikan pada orang lain, mengenai menstruasi dan mimpi
basah, mengenai sperma dan ovum, dan bagaimana menjaga kebersihan saat rambut
halus mulai tumbuh.
Pendidikan
seks komprehensif adalah keterampilan hidup dan pendidikan moral menyeluruh.
Pendidikan moral kita selama ini hanya seputar rasa malu. Malu terhadap tubuh. Malu jika tubuh dilihat orang
lain, malu apabila ada bagian yang terlihat bukan pada tempat semestinya.
Selama ini kita hanya diajarkan bahwa hubungan seks hanyalah suatu hal yang hanya boleh dilakukan usai tanda tangan di atas kertas dan ucap janji di depan Tuhan,
agar diakui negara, agar diakui agama.
Jarang
sekali pendidikan moral kita mengajarkan penghargaan atas tubuh. Menghargai tubuh kita, dan
menghargai tubuh orang lain, memberi penghargaan terhadap ruang pribadi kita,
dan ruang pribadi orang lain. Bahwa tubuhmu adalah milikmu, dan satu-satunya yang
harus kau kontrol adalah dirimu sendiri, bukan orang lain.
Pola pikir
bahwa ada orang lain yang punya hak atas tubuhnya dan kamu harus menghormati
yang lain itu adalah salah satu pola pikir mendasar pencegahan perkosaan,
karena pencegahan sesungguhnya bukan hanya fokus pada calon korban, tapi juga
pada calon pelaku. Kita tak pernah tahu, siapapun bisa jadi calon pelaku.
Siapapun harus mendapat pengetahuan komprehensif.
Namun, apa
kata negara soal kurikulum pendidikan seks komprehensif sebagai keterampilan hidup? Aku
ingat betul, pada 2010 dia mengaku kolot dan tidak bisa menyetujui pendidikan
seks masuk dalam kurikulum. Padahal jelas kita sudah meratifikasi ICPD dan
CEDAW.
Apa kata
masyarakat saat Kementerian Kesehatan berkampanye membagikan kondom sebagai
pencegahan HIV-AIDS? Demo besar-besaran meminta pencopotan Menteri.
Ah,
sudahlah, aku tak tahu lagi harus komentar apa kalau soal negara dan
ormas-ormas itu.
Bagaimana
cara menghindari perkosaan?
Apa itu
ICPD, CEDAW, seks bebas, dan perkosaan? Ada beberapa tulisan di blog ini
mengenai hal-hal tersebut:
Komentar
Dirjen pendidikan mengenai pakaian sekolah internasional:
Comments
Post a Comment