orang dewasa
Aku hampir saja mati kepayang dengan Jakarta. Maksudnya ingin pergi jauh-jauh meninggalkan Jakarta, mengambil tawaran pekerjaan di antah-berantah, tertawa-tawa dengan anak-anak kecil di tepi pantai, atau di pinggir hutan, pada tepi hidup dan kebahagiaan yang samar-samar.
Aku tak berniat memulai tulisan ini dengan melankolis, tapi apa boleh buat, aku cuma tahu cara menulis seperti ini, cara lainnya yang aku tahu hanyalah menulis berita ekonomi.
Meski selalu suka dengan teman-teman, pesta-pesta, serta anggur yang disesap di taman-taman kota, Jakarta tetap cuma Jakarta. Kota yang separuhnya patriarki, atau mungkin lebih dari separuh. Kota yang memakan harga diri perempuan pelan-pelan dan menggantinya dengan ketakutan karena selalu dilecehkan di jalanan.
Lalu kalau sudah begitu aku menulis-nulis sajak saja, atau membaca puisi kencang-kencang di kamar. Biar hilang kesal, biar hilang kesepian.
Namun apa gunanya sajak selain pesona kata-kata, entah apa ia bermakna, semacam ada sihir yang melekat di dalamnya.
Seperti kata-katamu yang mungkin tak pernah kau pikirkan maknanya, selain sebagai upaya menyihir anak perempuan.
Kemarin dulu kau bilang suka, lalu sesudahnya laki-laki lain berkata suka juga, juga sebelumnya, anak laki-laki yang lain lagi. Bahkan baru-baru ini, yang lain lagi.
Akhir-akhir ini hidup semacam membuatku mengoleksi kata suka. Mungkin pria-pria ini melihatku semacam iga bakar atau Albens Cider. Mungkin juga semacam Nike Lunar, atau Aqualung. Sekadar komoditas untuk disuka.
Entah hal ini baik atau buruk. Aku masih merasa seperti anak kecil, hanya melihat permukaan dan apa-apa saja yang ditunjukan orang-orang. Malas menelaah, malas memilah-milah. Lagi pula aku tak punya kemampuan membaca pikiran, kenapa manusia tak bisa menjadi apa adanya saja?
Suka ya suka saja. Sudah selesai. Titik. Seperti aku lebih menyukai manggis dan mangga dari pada anggur dan apel. Tak perlu penjelasan, tak perlu ada kelanjutan.
Karena yang perlu penjelasan dan kelanjutan hanya orang-orang dewasa.
Dewasa itu superti menjadi berkuasa atas hal-hal, seperti menguasai diri sendiri. Seperti orang tua yang menguasai anaknya, dan imam yang menguasai pola pikir umatnya. Atau dalam agama yang patriarki, seperti suami menguasai istri.
Aku merasa bisa mengusai diriku sendiri pada beberapa hal, namun tidak pada banyak hal lain. Misalnya mengusai hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan adalah jauh lebih mudah dari pada menguasai perasaan terhadap Jakarta.
Orang-orang dewasa sering kali merasa memiliki kuasa untuk memberi banyak definisi dan interpretasi baru atas suatu hal, dan membuatnya menjadi lebih rumit.
Seperti saat mereka merasa berkuasa pada interpretasi dan definisi atas rasa suka.
Comments
Post a Comment