kekasih satu tabung udara

Aku menyesap anggur saja malam-malam begini. Apa lagi yang dapat kulakukan. Aku sedang tak ingin membaca buku atau menonton, aku tak ingin berfikir, maka aku menyesapi tiap tetes anggur putih yang kecut dan sedikit manis itu.

Namun siapa yang pikirannya tak berkelana saat menyesapi anggur? Soal tagihan-tagihan, dan kehilangan-kehilangan. Namun tak satupun kehilangan itu yang dapat mendistraksi rasa nyeri kehilangan dirimu. 

Aku berbohong. Tak kusesapi anggur itu. Kuteguk penuh-penuh, sampai asamnya memenuhi tiap kenangan, dan rasa rindu.

Masih belum ada pesan baru dalam kotak pesan. Kalaupun ada paling-paling hanya penyedia layanan telepon selular, atau tawaran kartu kredit dan kredit tanpa agunan. Memang sial sekali jadi konsumen di Indonesia, dijejali saja dengan iklan-iklan tak berguna. 

Kutengok sekali lagi. Menimbang kalau-kalau perlu kukirim pesan sekali lagi, sekali lagi saja, kepadamu. 

Ah, tak perlulah. Paling-paling tak berbalas. 

Malam kemarin dulu, kau bilang kau jatuh suka padaku. Kau katakan kau sungguhan menyukaiku sebab itu kau menyusulku saat ke pulau sendirian. Kau katakan kau sungguhan menyukaiku sebab itu kau memberi hadiah-hadiah kecil dan mengajakku berlibur. 

Saat kuhabiskan gelas bir keempat, kau katakan kau kan merindukanku karena esok pagi pagi sekali harus kembali ke kotamu. Sangat merindu, begitu katamu. 

Namun kemudian kau katakan bahwa kau milik dunia. 

Ah, siapa bilang perempuan lebih rumit dari pada laki-laki? Setidaknya kau lebih rumit dari pada diriku.

Lalu rasa sedih datang pada endapan cangkir kopi esok pagi. 

Pada remang mata, yang kemudian basah dan lahir sebagai sajak, serta lampu jalan yang memantul-mantul pada mata cokelat, aku berhutang rindu dalam kenangan yang kau ciptakan. Pada jalan jalan di pinggir pantai, dan pertandingan arsenal di sela tiap perjalanan.

Pada penyelaman malam dan kedap-kedip plankton yang timbul dalam kecipak kaki katakmu. Ini semacam takdir yang diperdebatkan di atas meja makan malam--yang menghidangkan ikan bakar pesananmu dan tiram yang kupesan. 

Saat itu pesawat yang seharusnya kunaiki melintas langit yang masih jingga. Dan aku santai saja karena kupikir jadwal penerbanganku adalah bersamamu. 

Aku tak menyesali apapun. 

Hanya masa lalu yang kupunya, cinta saja tidak. Aku tahu ada racun dalam tiap tindakan yang kuambil bersamamu. Aku tahu pada satu masa aku tenggelam dalam suka cita dalam racun itu, lalu berduka cita pada masa lainnya. 

Namun aku tak lagi peduli. Apakah kukatakan padamu saat kubilang menyukaimu aku sesungguhnya menyukaimu dengan sungguh-sungguh? 

Kota ini semakin sempit. Sesak dengan kenangan.
Sesak dengan peluk, dan seraut wajah cinta yang lebih pekat dari rasa hampa.

Ah sial, sebotol anggur sudah dalam kenangan, terlalu mabuk bahkan sebelum sampai ke pesta.

(Namun, siapa sangka aku masih mampu menulis, lalu tidur dalam hangat tubuh lain.)

Comments

Popular posts from this blog

Mimpi

Addressing Climate Crisis with Ummah