Posts

Showing posts from March, 2014

orang dewasa

Aku hampir saja mati kepayang dengan Jakarta. Maksudnya ingin pergi jauh-jauh meninggalkan Jakarta, mengambil tawaran pekerjaan di antah-berantah, tertawa-tawa dengan anak-anak kecil di tepi pantai, atau di pinggir hutan, pada tepi hidup dan kebahagiaan yang samar-samar. Aku tak berniat memulai tulisan ini dengan melankolis, tapi apa boleh buat, aku cuma tahu cara menulis seperti ini, cara lainnya yang aku tahu hanyalah menulis berita ekonomi. Meski selalu suka dengan teman-teman, pesta-pesta, serta anggur yang disesap di taman-taman kota, Jakarta tetap cuma Jakarta. Kota yang separuhnya patriarki, atau mungkin lebih dari separuh. Kota yang memakan harga diri perempuan pelan-pelan dan menggantinya dengan ketakutan karena selalu dilecehkan di jalanan. Lalu kalau sudah begitu aku menulis-nulis sajak saja, atau membaca puisi kencang-kencang di kamar. Biar hilang kesal, biar hilang kesepian.  Namun apa gunanya sajak selain pesona kata-kata, entah apa ia bermakna, semacam ad

things that matter

Image
I keep on asking myself, what is the most important thing in my life. Pursuing degree, great job, travel, having a stabile relations, or what? Then I thought, the most important thing in this world must be something that holding me back anytime I'm thinking about committing suicide. So I can't think about something else but my marvellous mama.

kekasih satu tabung udara

Aku menyesap anggur saja malam-malam begini. Apa lagi yang dapat kulakukan. Aku sedang tak ingin membaca buku atau menonton, aku tak ingin berfikir, maka aku menyesapi tiap tetes anggur putih yang kecut dan sedikit manis itu. Namun siapa yang pikirannya tak berkelana saat menyesapi anggur? Soal tagihan-tagihan, dan kehilangan-kehilangan. Namun tak satupun kehilangan itu yang dapat mendistraksi rasa nyeri kehilangan dirimu.  Aku berbohong. Tak kusesapi anggur itu. Kuteguk penuh-penuh, sampai asamnya memenuhi tiap kenangan, dan rasa rindu. Masih belum ada pesan baru dalam kotak pesan. Kalaupun ada paling-paling hanya penyedia layanan telepon selular, atau tawaran kartu kredit dan kredit tanpa agunan. Memang sial sekali jadi konsumen di Indonesia, dijejali saja dengan iklan-iklan tak berguna.  Kutengok sekali lagi. Menimbang kalau-kalau perlu kukirim pesan sekali lagi, sekali lagi saja, kepadamu.  Ah, tak perlulah. Paling-paling tak berbalas.  Malam kemarin dulu, k

sajak tabung udara

Tiap malam aku hanya bisa menyajikan sajak tentang waktu yang menghilang di balik kerling matamu tentang hati yang megap-megap ditelan pagi             timbul tenggelam dijerat arus kenangan Biar waktu memilih-milih Memilih ke mana membuang nyeri Mungkin pada kabel listrik di depan rumah pada ombak-ombak yang pecah atau paling-paling pada subuh yang gigil mana saja boleh, lagi pula aku semakin dihinggapi perasaan tua terlalu tua untuk protes terlalu tua untuk mengambil keputusan terlalu tua untuk keblinger padamu Biar saja waktu yang saling bicara             Atau merapal mantra Aku hanya akan menyajikan sajak karena waktu kita hanya sebanyak satu tabung udara,             yang hampir tak tersisa. Selepasnya, aku akan berhujan-hujan tangis saja

padamu ku berutang kenang

Pada pendar kunang laut yang merekam jejakmu Dan hatiku yang timbul tenggelam pada muka rindu Kutemukan sajak yang mengalir dari binar matamu Kau membuatku berutang kenang Lantaran diam diam meminta pada semesta,             Agar ditempatkan di tepi hari, pada senja yang hampir tanggal Atau di mana saja lah, pada tirai kenangan boleh juga Lalu kita belajar berdusta, Kau mencari-cari cara menenggelamkan cerita pada desing pesawat udara Dan aku dihinggapi kewajiban untuk menipu hati             Di kota yang mulai kucintai ini Aku mengemas duka dalam kenang kunang yang kedap kedip

Tolong, pernikahan saya dalam masalah!

Meg Jay dalam sebuah Ted Talks pernah berkata, usaha untuk menciptakan pernikahan yang baik harus dimulai sebelum pernikahan itu terjadi. Saya memang belum menikah, meski selalu menginginkan berada dalam hubungan yang stabil, tetapi belum juga memikirkan pernikahan dalam waktu dekat. Maka, sebetulnya, tak pantas bicara masalah-masalah dalam pernikahan. Namun, dalam seminggu terakhir, lebih dari setengah lusin kawan tiba-tiba meminta pendapat terkait persoalan-persoalan dalam pernikahan mereka. Sebagian tampak sepele, sebagian lain begitu genting. Saya hanya bisa manggut-manggut mendengarkan.  Entah dalam budaya lain, di Indonesia, terutama bagi perempuan, usia dua-puluhan, belum menikah, apalagi tak ada tanda-tanda segera punya pacar, adalah sebuah ketidakpatuhan sosial. Usia dua-puluhan dan tidak berpasangan adalah menyalahi ekspektasi masyarakat. Masyarakat tidak peduli seberapa bahagia, atau tidak bahagianya si dua-puluhan yang dituding itu. Bukan sepe