orang dewasa
Aku hampir saja mati kepayang dengan Jakarta. Maksudnya ingin pergi jauh-jauh meninggalkan Jakarta, mengambil tawaran pekerjaan di antah-berantah, tertawa-tawa dengan anak-anak kecil di tepi pantai, atau di pinggir hutan, pada tepi hidup dan kebahagiaan yang samar-samar. Aku tak berniat memulai tulisan ini dengan melankolis, tapi apa boleh buat, aku cuma tahu cara menulis seperti ini, cara lainnya yang aku tahu hanyalah menulis berita ekonomi. Meski selalu suka dengan teman-teman, pesta-pesta, serta anggur yang disesap di taman-taman kota, Jakarta tetap cuma Jakarta. Kota yang separuhnya patriarki, atau mungkin lebih dari separuh. Kota yang memakan harga diri perempuan pelan-pelan dan menggantinya dengan ketakutan karena selalu dilecehkan di jalanan. Lalu kalau sudah begitu aku menulis-nulis sajak saja, atau membaca puisi kencang-kencang di kamar. Biar hilang kesal, biar hilang kesepian. Namun apa gunanya sajak selain pesona kata-kata, entah apa ia bermakna, semacam ad