Jalanan Jakarta
Jalanan Jakarta memang bukan untuk pejalan kaki, melainkan untuk pendaki. Aku kesulitan menemukan padanan kata dalam Bahasa Indonesia, maksudnya adalah jalanan Jakarta tidaklah pantas digunakan untuk walking, melainkan hiking.
Mendaki trotoar yang tetiba menjadi lebih tinggi akibat bekas galian kabel yang asal-asalan, meloncati lubang menganga yang tetiba muncul, menerobos pedagang tanaman hias yang mengambil 90% bahu jalan, atau menghindari pengendara roda dua yang terbelakang, sehingga kesulitan membedakan tempat kendaraan bermotor dan pejalan kaki.
Pendakian tersebut belum menghitung jumlah tukang ojek atau tukang parkir yang entah sejak kapan melegitimasi trotoar menjadi parkiran motor (juga terkadang mobil), pedagang gorengan--atau pedagang apapun, tiang-tiang yang begitu saja muncul di tengah jalan, pot-pot kembang seukuran manusia, galian kabel--atau pipa, atau apa saja--yang masih dalam proses pengerjaan, bahkan juga mobil polisi yang entah kenapa memilih parkir di tempat pejalan kaki.
Jalanan Jakarta bukanlah untuk pendaki perempuan. Tukang ojek, pedagang, tukang bangunan, satpam gedung (termasuk yang paling sering: satpam Kedutaan Australia) bahkan pegawai Trans Corp akan mengganggu, menawarkan segala macam kemungkinan pelecehan verbal.
Dulu aku selalu menstigma pelaku pelecehan verbal dijalanan sebagai orang-orang yang tidak memiliki akses pendidikan. Sampai akhirnya saat kami sedang berjalan di bilangan Kuningan dan ada 3 orang berpakaian seragam Trans Corp, di depan mobil Trans TV, yang mengomentari kami, maka aku memutuskan bahwa orang terbelakang memang bisa berasal dari kalangan manapun.
Oh ya, pelecehan tidak melulu verbal, dan sama sekali tidak berkaitan dengan pakaian yang dikenakan perempuan. Seorang teman pernah diremas payudaranya, dijalanan, meski dia mengenakan celana panjang dan pakaian tidak ketat. Bahkan aku pernah mengalami pelecehan saat mengenakan seragam sekolah dasar, saat payudara belum lagi tumbuh.
Apabila masih ada yang menuduhkan pelecehan terjadi akibat pakaian perempuan, aku harus memasukan kalian dalam kelompok orang-orang terbelakang.
Seno Gumira Aji pernah bilang dalam salah satu karyanya bahwa jalanan Jakarta berubah romantis saat malam tiba. Namun seringnya jalanan Jakarta menjadi lebih mengerikan saat malam tiba.
Hampir seminggu lalu serombongan laki-laki pekerja bangunan dari apartemen Setiabudi yang sedang dibangun pernah mencoba menyentuhku saat aku mengenakan tudung kepala, dan rok panjang di bawah lutut, dalam perjalanan singkat kurang dari 300 meter menuju rumah dari Setiabudi Building. Itu salah satu malam paling mengerikan selama 4 tahun terakhir aku bekerja di Jakarta.
Mungkin jalanan Jakarta hanya romantis di malam hari dengan catatan apabila kamu laki-laki dan tidak ada yang mengganggumu saat berjalan kaki.
Maka pagi kemarin, seperti pagi-pagi lainnya, aku mendaki trotoar sepanjang kuningan (catatan untuk pendaki lain, apabila ingin mendaki jalanan kuningan, trotoar di sepanjang sisi Kedutaan Rusia lebih manusiawi dari pada trotoar di sepanjang sisi Kedutaan Australia).
Seperti pendaki lainnya, telinga tentu tersumpal musik, dan tatapan berusaha seawas mungkin memerhatikan sekitar. Namun pikiran memikirkan betapa nikmatnya kalau perjalanan ini adalah di trotoar di Amsterdam. Ah, tidak juga sebenernya, pengendara sepeda di Belanda sama agresifnya dengan pengendara motor yang naik ke trotoar Jakarta. Paling tidak, tak ada lubang menganga di trotoar di sana.
Betapa menakjubkan pikiran bisa berubah dalam hitungan lebih pendek dari detik.
Otak langsung memberi peringatan penipuan, pembiusan, hipnotis, pelecehan seksual, atau kejahatan apapun yang mungkin terjadi di jalanan Jakarta, saat seorang laki-laki menghampiri.
Rupanya ia menanyakan gedung. Namun otak masih mereferensi segala macam kejadian mengerikan yang pernah terjadi di jalanan, memberi peringatan bahaya, serta kemungkinan kejahatan yang dilakukan oleh pria berkemeja yang (sesungguhnya) segera berlalu setelah kujelaskan di mana letak gedung Jiwasraya itu.
Ah, jalanan Jakarta, membuat kita menjadi jahat.
Mendaki trotoar yang tetiba menjadi lebih tinggi akibat bekas galian kabel yang asal-asalan, meloncati lubang menganga yang tetiba muncul, menerobos pedagang tanaman hias yang mengambil 90% bahu jalan, atau menghindari pengendara roda dua yang terbelakang, sehingga kesulitan membedakan tempat kendaraan bermotor dan pejalan kaki.
Pendakian tersebut belum menghitung jumlah tukang ojek atau tukang parkir yang entah sejak kapan melegitimasi trotoar menjadi parkiran motor (juga terkadang mobil), pedagang gorengan--atau pedagang apapun, tiang-tiang yang begitu saja muncul di tengah jalan, pot-pot kembang seukuran manusia, galian kabel--atau pipa, atau apa saja--yang masih dalam proses pengerjaan, bahkan juga mobil polisi yang entah kenapa memilih parkir di tempat pejalan kaki.
Jalanan Jakarta bukanlah untuk pendaki perempuan. Tukang ojek, pedagang, tukang bangunan, satpam gedung (termasuk yang paling sering: satpam Kedutaan Australia) bahkan pegawai Trans Corp akan mengganggu, menawarkan segala macam kemungkinan pelecehan verbal.
Dulu aku selalu menstigma pelaku pelecehan verbal dijalanan sebagai orang-orang yang tidak memiliki akses pendidikan. Sampai akhirnya saat kami sedang berjalan di bilangan Kuningan dan ada 3 orang berpakaian seragam Trans Corp, di depan mobil Trans TV, yang mengomentari kami, maka aku memutuskan bahwa orang terbelakang memang bisa berasal dari kalangan manapun.
Oh ya, pelecehan tidak melulu verbal, dan sama sekali tidak berkaitan dengan pakaian yang dikenakan perempuan. Seorang teman pernah diremas payudaranya, dijalanan, meski dia mengenakan celana panjang dan pakaian tidak ketat. Bahkan aku pernah mengalami pelecehan saat mengenakan seragam sekolah dasar, saat payudara belum lagi tumbuh.
Apabila masih ada yang menuduhkan pelecehan terjadi akibat pakaian perempuan, aku harus memasukan kalian dalam kelompok orang-orang terbelakang.
Seno Gumira Aji pernah bilang dalam salah satu karyanya bahwa jalanan Jakarta berubah romantis saat malam tiba. Namun seringnya jalanan Jakarta menjadi lebih mengerikan saat malam tiba.
Hampir seminggu lalu serombongan laki-laki pekerja bangunan dari apartemen Setiabudi yang sedang dibangun pernah mencoba menyentuhku saat aku mengenakan tudung kepala, dan rok panjang di bawah lutut, dalam perjalanan singkat kurang dari 300 meter menuju rumah dari Setiabudi Building. Itu salah satu malam paling mengerikan selama 4 tahun terakhir aku bekerja di Jakarta.
Mungkin jalanan Jakarta hanya romantis di malam hari dengan catatan apabila kamu laki-laki dan tidak ada yang mengganggumu saat berjalan kaki.
Maka pagi kemarin, seperti pagi-pagi lainnya, aku mendaki trotoar sepanjang kuningan (catatan untuk pendaki lain, apabila ingin mendaki jalanan kuningan, trotoar di sepanjang sisi Kedutaan Rusia lebih manusiawi dari pada trotoar di sepanjang sisi Kedutaan Australia).
Seperti pendaki lainnya, telinga tentu tersumpal musik, dan tatapan berusaha seawas mungkin memerhatikan sekitar. Namun pikiran memikirkan betapa nikmatnya kalau perjalanan ini adalah di trotoar di Amsterdam. Ah, tidak juga sebenernya, pengendara sepeda di Belanda sama agresifnya dengan pengendara motor yang naik ke trotoar Jakarta. Paling tidak, tak ada lubang menganga di trotoar di sana.
Betapa menakjubkan pikiran bisa berubah dalam hitungan lebih pendek dari detik.
Otak langsung memberi peringatan penipuan, pembiusan, hipnotis, pelecehan seksual, atau kejahatan apapun yang mungkin terjadi di jalanan Jakarta, saat seorang laki-laki menghampiri.
Rupanya ia menanyakan gedung. Namun otak masih mereferensi segala macam kejadian mengerikan yang pernah terjadi di jalanan, memberi peringatan bahaya, serta kemungkinan kejahatan yang dilakukan oleh pria berkemeja yang (sesungguhnya) segera berlalu setelah kujelaskan di mana letak gedung Jiwasraya itu.
Ah, jalanan Jakarta, membuat kita menjadi jahat.
indeed... aq pernah diseruduk motor padahal aq jalan di trotoar (yang katanya adalah khusus pejalan kaki). aq marah-marah eh malah si pemotor setan itu lebih galak, dianggepnya aq ngalingin dia jalan. heeeeeeyyyy malih! otak lo dari kaleng kali ye? dan orang-orang sekitar cuma ngeliatin doang. gondok, badan sampe gemeteran nahan kesel takut nangis. hukss... -____-
ReplyDelete