Soekarno

Di luar preferensi pribadi, kupikir seharusnya bukan kesan
itu yang diinginkan film yang diberi judul Soekarno. Sebagaimana judulnya,
seharusnya proklamator itulah yang menjadi tokoh utama, dan makin dicintai. Kenyataannya tidak begitu.
Mau Bagaimana lagi, 80% dari film yang naik daun akibat
kehebohan penolakan Rahmawati Soekarno Putri ini bak kisah cinta a la sinetron
yang kebetulan saja mengambil setting perjuangan menuju 17 Agustus 1945.
Konsumsi utama yang paling kuat justru kisah cinta segitiga
Inggit-Soekarno-Fatma alih-alih bagaimana kelompok muda dan kelompok tua
berjuang menuju proklamasi.
Soekarno lebih banyak ditampilkan sebagai pria yang begitu
intens kehidupan percintaannya. Bahkan bagaimana sikap nasionalisme bisa
berkobar di dada Soekarno remaja saja digambarkan sebagai buah penolakan orang tua
gebetan yang Londo (Belanda), bukan karena kesadaran tertindas.
Sejak film dibuka, gaya sinetron begitu kental,
penjelasan-penjelasan yang begitu eksplisit dimasukan dalam dialog mengenai
kemarahan pribumi terhadap penjajah rasanya seperti sedang diajari bagaimana
kita harus merasa terhadap kolonialisme-imperialisme. Belum lagi adegan mata
melarak-lirik, zoom in-zoom out, close up bagian tubuh, dan gestur-gestur yang
didramatisasi, rasanya seperti sedang melihat FTV yang dibawa ke layar lebar.
Selanjutnya film membawa penonton pada secuil saja kisah
Soekarno di PNI (Partai Nasionalis Indonesia) yang mengantar Soekarno ke Penjara
Banceuy. Namun, semoga hanya perasaanku saja, adegan penangkapan Soekarno saat
berorasi itu lebih terasa seperti adegan orasi di Lapangan Ikada alih-alih
Yogyakarta.
Dari Penjara Banceuy, tanpa ada kisah Soekarno di Partindo (Partai Indonesia—pecahan PNI) yang mengantarkannya pada
kehidupan penjara lain lagi, tiba-tiba saja dikisahkan Soekarno kembali
ditangkap, dan dibuang ke Flores, kemudian dipindahkan ke Bengkulu. Mungkin
saya kurang teliti dalam menonton, bagian ini hilang. Soekarno hanya ditangkap saja tanpa babibu.
Cuplikan sedikit saja tentang perjuangan tersebut, kemudian
diisi kembali tentang kisah rumah tangga Inggit-Soekarno dengan dominasi
Inggit, kemudian dihancurkan oleh Remaja bersama Fatmawati.
Selama kisah di Bengkulu, aku sangat menikmati peran Mathias
Muchus dan Rully Kertadjasa. Peran Tika Bravani juga sangat bisa dinikmati
sebetulnya, namun sungguh mengganggu telinga ketika Fatmawati kehilangan
logatnya setiap kali beradu peran berdua-duaan dengan Soekarno. Fatmawati
tiba-tiba saja terdengar seperti anak Bandung yang jatuh cinta ketika sedang
memadu kasih, lupa kalau seharusnya dia punya logat Bengkulu (yang mirip
Padang di film).
Bersamaan dengan romantisme percintaan, muncul juga fokus
penggambaran-penggambaran yang kurang sensitif mengenai perempuan dalam film
ini.
Perempuan dalam film ini digambarkan sebagai distraksi
konsentrasi Soekarno dari perjuangan politik, alih-alih membantu perjuangan.
Meski ada adegan Inggit memberi banyak uang untuk mendukung Soekarno,
penggambarannya lebih memberi kesan bahwa Inggit melakukan hal tersebut demi
cinta pada pria, bukan pada perjuangan menuju negara merdeka.
Inggit juga digambarkan sebagai perempuan keras kepala yang
tak mampu berketurunan, yang tetap keras kepala dan memilih bercerai dari pada
memahami kebutuhan Soekarno untuk berketurunan. Hingga titik tertentu film ini
mendukung stigma masyarakat kepada perempuan yang tak mampu berketurunan
sehingga boleh saja ditinggalkan dan si perempuan sudah semestinya paham.
Sebagai mantan istri Haji Sanusi, anggota Sarekat Islam (SI)
yang pernah memberi tumpangan kepada Soekarno, Inggit seolah digambarkan
sebagai perempuan yang mengambil keputusan salah, tante yang terpikat anak
muda. Inggit yang meninggalkan Sanusi demi Soekarno, pada akhirnya ditinggalkan
Soekarno demi Fatma yang masih remaja.
Sedangkan Fatma lebih banyak digambarkan sebagai objek.
Kamera sudah mengobjektifikasi Fatma yang cerdas, sejak awal di kelas. Fatma
adalah bibir yang ranum, alis yang tebal, dan mata yang berbinar, sebagaimana
potongan close up oleh kamera. Fatma adalah perempuan yang dipandang karena
kemudaannya dan kecantikannya, bukan kecerdasannya.
Film Soekarno menumbuhkan Fatma sebagai gadis yang
bergantung pada laki-laki, menunggu keputusan laki-laki tanpa bisa mengambil
keputusannya sendiri. Puncak dilemma Fatma adalah lamaran dari Pemuda Desa,
saat dia menanti-nanti Pangeran dari Jakarta yang tengah sibuk mencari merdeka
bagi Indonesia.
Hingga akhirnya puncak kemenangan Fatma adalah saat Riwu pergi dari
rumah setelah kecemburuan membakar foto Inggit yang tersisa.
Satu-satunya yang paling diapresiasi dari Fatma (selain
kemudaan dan kecantikannya) dalam film Soekarno adalah bagaimana dia hamil dan
berhasil melahirkan keturunan.
Duh Inggit, duh Fatma, sedikit betul cerita bagaimana
perempuan di tengah masyarakat patriarki yang tetap berdiri di masa-masa sulit,
mendampingi suaminya yang membuat hidup semakin sulit dengan main perempuan
sana-sini.
Lepas dari dominasi kisah cinta, film Soekarno bergulir pada masa
pemerintahan Jepang, dan dominasi pun berpindah kepada Bung Kecil dan Bung
Hatta. Tanta Ginting dan Lukman Sardi bagiku lebih memikat dari pada Ario Bayu. Mungkin pengaruh dari produser yang biasa
memproduksi sinetron, Soekarno terlalu banyak melakukan gestur yang dramatis,
dan terkesan kaku, terkesan terlalu ditata, tidak apa adanya.
Mungkin juga sudut pandang yang dibawa Hanung, Soekarno
dilihat sebagai orang peragu lagi tak berani mengambil keputusan yang terlalu
berharap banyak pada Jepang. Sedang Bung Kecil adalah tokoh yang begitu yakin
pada pendiriannya, sangat cocok berpadu dengan kebijaksanaan Hatta.
Berbagai kekonyolan dalam film, berpadu dengan alur yang
begitu lambat, membuat kebosanan memuncak. Penokohan peran-peran pembantu
dibuat begitu fatalis. Kelompok Sarekat Islam yang pernah dekat dengan Soekarno
ditampilkan sebagai kelompok beringas yang cuma bisa teriak-teriak dengan
sorban meminta pendirian negara Islam tanpa bisa menjelaskan alasan-alasan,
sedangkan Etnis China digambarkan berkepang dengan kepala setengah gundul
laksana tokoh film kung-fu produksi 1990-an. Seolah satu-satunya intelektual
dalam sidang BPUPKI hanyalah Soekarno seorang.
Padahal, bagus juga kalau digambarkan logika kenapa kita
harus menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia alih-alih Negara federal. Bahkan,
dari seluruh film, aku hendak menominasikan adegan Hatta menjelaskan mengapa
Indonesia harus menjadi Negara Federal adalah satu-satunya adegan yang
mencerahkan, sayang kurang panjang dan langsung dipotong dengan argumen kesatuan
yang seolah tak terbantahkan.
Begitulah, alih-alih memunculkan diskursus dan mengajak
berpikir kritis mengenai pendirian negara, film ini lebih suka memunculkan
kisah percintaan seorang pria yang dengan dingin meninggalkan istri tua demi
remaja yang bisa menjadi pabrik keturunan. Kebetulan saja latar belakang waktu mengambil setting menuju 17 Agustus 1945.
--Oya, pertanyaan, apakah betul pada tahun itu para penduduk
lokal Bengkulu sudah berkain batik dan mengenakan kebaya? Kalau memang begitu
adanya, ternyata Jawanisasi sudah masuk jauh sebelum Soeharto ya.
Soekarno: Indonesia Merdeka | |
---|---|
Directed by | Hanung Bramantyo |
Produced by | Raam Punjabi |
Written by | Ben Sihombing |
Starring | Ario Bayu Lukman Sardi Maudy Koesnaedi Matias Muchus Sujiwo Tejo Tika Bravani Ferry Salim Emir Mahira Agus Kuncoro |
Cinematography | Faozan Rizal |
Studio |
|
Distributed by | MVP Pictures |
Release dates |
|
Country | Indonesia |
Language | Indonesia |
Comments
Post a Comment