keterbiasaan pada pelecehan seksual
Lahir dan
besar di Indonesia, tak ada satu hari pun terlewati dengan rasa nyaman
sepenuhnya saat berpergian. Mulai dari siul-siulan iseng dari tukang ojek,
kernet angkot yang berusaha meremas payudara, dokter gigi yang dengan sengaja
meletakan tangannya di payudara, sampai mantan pacar yang mencoba
memerkosa (dan teman-temannya diam saja).
Saking
terinjeksi sampai dalam mengenai betapa biasanya pelecehan seksual itu,
beberapa teman perempuan secara tidak sadar bersemu-semu saat sesungguhnya
sedang mengalami pelecehan seksual. Bahkan menimbulkan keirian pada level
tertentu.
“Ih, kok lo
marah-marah sih ada yang ngegodain? Lo tuh harusnya bersukur banyak yang
ngegodain, berarti lo menarik. Gue mau dong sekali-sekali disuit-suitin sama
cowok di jalan. Apalagi yang ganteng,” ujar seorang kawan usai saya menegur
seorang pria di pusat perbelanjaan.
Gawat sekali
memang kalau pelecehan seksual menjadi biasa, bahkan diidamkan sebagai
pembuktian bahwa seorang perempuan cukup menarik. Menyedihkan sekali kultur
bangsa ini dalam melihat, membaca, dan menilai perempuan. Menyedihkan sekali
cara bangsa ini mendidik perempuan. Menyedihkan sekali bagaimana bangsa ini
sangat terbelakang dalam pendidikan seksual.
Sebab itu, tentu
kita harus menolak menjadi terbiasa.
Saya yang
Kelas 3 SD baru saja dibelikan celana training biru muda oleh Ibu. Celana lucu
itu ingin sekali ditampilkan kepada teman-teman sekelas. Maka saat kelas siang,
saya gunakan celana itu ke sekolah.
Rupanya di
kelas, teman-teman sedang bercanda dengan saling memelorotkan celana temannya.
Saya yang baru masuk kelas, menjadi sasaran. Tepat di depan kelas, celana saya
ditarik seorang teman, sampai melorot hingga lutut, dan semua orang bisa
melihat celana dalam katun yang saya kenakan siang itu.
Kejadian ini
adalah salah satu kejadian yang tak pernah bisa hilang dari ingatan. Kala itu,
saya tak bisa menjelaskan apa kesalahan dari kejadian itu. Apa salahnya saya
tak paham. Saya hanya tahu bahwa itu salah, dan membuat sedih.
Belum genap
3 bulan menetap di Palembang, seorang lelaki tak dikenal meremas payudara saya,
sampai tiga kali berturut, setiap pagi, saat saya berjalan menuju sekolah.
Kenapa terjadi sampai tiga kali? Saya yang masih kelas 6 SD, tidak paham bahwa
itu adalah tindakan yang salah. (Baca cerita lengkapnya dalam aku tumbuh sambil membenci payudara)
Sepanjang
sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, banyak waktu saya habiskan
dengan menggunakan penutup kepala dan baju kebesaran. Bau matahari, dan keringat. Saya
pikir bagus sekali kalau mengenakan penutup kepala, kata kyai agama yang
diimani oleh Ibu, menjulurkan kain panjang-panjang adalah salah bentuk untuk
melindungi diri dari tatapan laki-laki. Katanya seorang ayah yang anak
perempuannya tidak menutup banyak bagian tubuh yang telah ditentukan, akan
masuk neraka.
Konsep surga
dan neraka itu terlalu ghaib, dan menutup segala macam bagian tubuh yang
disyaratkan nyata-nyata tidak dapat melindungi dari pelecehan seksual. Meski
penutup kepala yang saya pakai bukanlah jenis-jenis penutup kepala cantik masa
kini, berulang kali pelecehan seksual mampir juga. Tak sekadar verbal, kernet
bis jelas jelas berusaha meraba payudara saya yang baru SMP kelas dua, dan
seorang dokter gigi menggerayanginya.
Saya tidak
hendak menggugat penutup kepala dan kepercayaan agama tertentu. Dengan menceritakan
perihal penutup kepala, saya hanya ingin menunjukan bahwa kejahatan seksual
tidaklah berkaitan dengan pakaian yang dikenakan korban, melainkan isi kepala
si pelaku.
Yang hendak
saya gugat adalah ketidakpahaman mengenai pelecehan seksual.
Saat pertama
kali payudara saya diraba, usia saya baru 11 tahun. Anak kampung yang tidak paham
hubungan seks itu apa. Jangankan hubungan seks, dalam usia itu bahkan tak
pernah ada penjelasan komprehensif mengenai apa itu menstruasi, apa penyebabnya,
mengapa mendapat menstruasi, bagaimana membersihkan alat kelamin saat
menstruasi, apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh, apapun lah. Padahal hal
tersebut adalah hal-hal mendasar. Bagaimana mungkin saya bisa mendefinisikan pelecehan seksual dan kekerasan seksual?
Dan Menteri
Pendidikan kita masih bilang bahwa dia terlalu kolot untuk pendidikan seksual.
Tempo hari
media ribut mengenai pemerkosaan yang dilakukan oleh penyair. Orang-orang sibuk
melihat dari berbagai sudut pandang, mencari-cari celah, menganalisa,
berpendapat sana-sini, seolah pemerkosaan adalah sekadar titit yang ngaceng.
Para pemikir
itu seperti saya yang kelas 6 SD, kebingungan. Atau jangan-jangan saya terlalu
baik hati memandang mereka sebagai sedang kebingungan? Jangan-jangan mereka
sedang pura-pura bingung.
Saat masih
mahasiswa, jauh sebelum menjadi relawan bagi Pusat Studi Seksual, saya mengajar
Bahasa Inggris untuk anak-anak jalanan di sekitar Candi Prambanan. Salah satunya
adalah remaja perempuan yang mengamen, tak memiliki rumah, dan hidup berpindah-pindah
bersama teman-teman laki-lakinya.
Suatu hari
dia membeli pembalut, lalu sambil berbisik dia berkata: “Ngene ki mbak, nik
nduwe pembalut aku kan iso ngomong mens. Nik ora, mesti cah-cah kae ki mekso”.
(Begini ini
Mbak, kalau aku punya pembalut aku bisa beralasan sedang menstrusi, kalau
tidak, mereka suka memaksa).
Teman-teman
laki-laki-nya bisa saja bilang suka-sama-suka, tetapi faktanya remaja perempuan
ini dalam tekanan untuk tidak berani berkata tidak kepada hubungan seks, sebab
itu dia harus berdalih sedang menstruasi.
Perkosaan
bukan sekadar persoalan ketika persetubuhan terjadi, bukan juga semata bisa
direduksi sebagai ejakulasi dini seperti kata Ayu Utami. Sayang sekali penulis
yang karyanya banyak dibaca anak muda mereduksi perkosaan menjadi sekadar
persoalan lelaki yang pergi sebelum hubungan emosional dan psikologis
diselesaikan dengan pantas.
Kembali pada cerita teman perempuan pengamen itu, bagaimana bisa suka-sama-suka jika sudah timpang sejak awal? Baik timpang secara struktur, maupun kultur (si lelaki adalah pemimpin kelompok pengamen, dan mereka hidup di tengah budaya patriarki yang begitu kental).
Kelompok
yang menyebut diri sebagai intelektual ini begitu gamang pada definisi perkosaan,
seperti saya yang kelas 6 SD, kebingungan saat ada yang tiba-tiba meraba
payudara. Bartanya-tanya apa ini? Mengapa harus dilakukan? Apa maksudnya?
Kenapa dia salah? Kenapa saya sedih? Kenapa saya takut?
Perkosaan
bukanlah semata kekerasan fisik yang membuat seseorang tak bisa melawan
penetrasi penis pada vagina. Seperti halnya korupsi di DPR yang terstruktur rapi dan lebih bahaya dari
penjambretan di pasar Pal Merah, kekerasan mental dan psikologis yang begitu pandai
dipenetrasi pelan-pelan dalam jangka waktu tertentu tentu sama bahayanya dengan
kekerasan fisik, kalau tak mau dibilang lebih bahaya.
Seperti
kasus percobaan psikologi terhadap anak bayi dan tikus putih yang membuat bayi
tersebut rusak secara mental, perkosaan psikologis yang berlanjut dengan penis
pada vagina, terlalu cerdas jika ingin secara bodoh direduksi dengan pembuktian
melalui visum fisik.
Atau,
jangan-jangan para intelektual itu menjadi begitu terbiasa, saking terlalu
banyaknya pelecehan seksual dan kekerasan seksual di sekitar mereka, yang biasa
jadi dilakukan oleh orang-orang dekat, atau bahkan mungkin dilakukan oleh
mereka sendiri.
Untuk yang masih membela si penyair dan tak berani menggugat pendefinisian mereka soal pelecehan seksual, modul ini bisa membantu agar intelektualitas dan nurani tidak cuma ada di awang-awang:
Tulisan apik mengenai mengapa kita tak lagi pantas bilang suka-sama-suka versi 2.0
Great post Rika, as always!
ReplyDeletehmmm.. nice point of view.
ReplyDeletehmmm... *mikir
ReplyDeleteGreat post rika!
ReplyDelete