foto seksi anak
Sekitar dua tahun yang lalu, seorang sepupu ipar pernah menghapus pertemanan denganku di situs jejaring sosial. Asumsiku dia tersinggung dengan salah satu status yang kutulis.
Meski tak ingat betul bagaimana bunyi status tersebut, kurang lebih aku sedang menyinggung perihal orang tua yang gemar mengunggah foto seksi (meski definisi seksi juga sangat bisa diperdebatkan) si anak di situs jejaring sosial. Mungkin bangga karena menurutnya si anak adalah contoh manusia yang cantik secara fisik.
Setelah dia berkomentar agak keras di status tersebut, lalu belakangan aku menyadari pertemanan kami diputuskan sepihak (kemudian diikuti seluruh keluarganya).
Padahal sungguh pun sebelum dia berkomentar dengan tidak enak di status itu, aku tak pernah menyadari apa saja yang dia unggah di jejaring sosial. Mungkin karena kehidupan dia juga kurang menarik minatku. Haha...
Penilaianku, foto anak perempuannya (waktu itu SMP kelas 3) yang diunggah ke jejaring sosial pada masa itu sebenarnya hanya untuk berbagi kebahagiaan bahwa dia punya anak yang cantik, seksi, sekaligus dapat dijual jasanya sebagai model.
Sayang sekali sebagai orang tua kelas menengah di wilayah perkotaan, dia tidak memikirkan dampak lebih jauh dari tindakan mengunggah foto macam itu di jejaring sosial.
Sungguh satu-satunya yang ada di pikiran saat menulis status tersebut adalah pedofilia. Mungkin sepupu ipar saya itu kurang paham soal kejahatan seksual terhadap anak, sekaligus industri pornografi anak. Lalu, kenyataan bahwa dia memilih untuk tidak berteman dengan saya alih-alih mencari tahu soal industri pornografi anak dan om-om pedofil sungguh mengkhawatirkan.
Memang foto si anak dari sepupu ipar yang diunggah ke jejaring sosial bukanlah foto telanjang. Juga aku percaya bahwa perkosaan terjadi bukan lantaran pakaian apa yang dikenakan korban (baik laki-laki maupun perempuan), melainkan ada proses pengobjekan dan persoalan kekuasaan ditambah keberadaan manusia yang terlalu lemah pada syahwat.
Namun, menurutku, foto yang diunggah tersebut mengandung pengobjekan seksual terhadap si anak. Mudahnya objektifikasi seksual ini terjadi saat tampilan suatu tubuh manusia lebih banyak menonjolkan daya tarik seksual (yang kemudian sebagian orang bisa menyanggahnya dengan bilang: "Otak lo aja yang kotor, men!") dari pada pesan lainnya.
Ada perbedaan besar antara menarik dan objektifikasi. Tentu saja manusia memiliki ketertarikan fisik pada manusia lain, dan sangat mungkin manusia memerhatikan fisik orang yang disukai dengan seksama. Namun ketika wacana yang ditujukan melewati daya tarik menjadi objetifikasi adalah ketika subjek pada foto yang dilihat sebagai tubuh yang menonjolkan bagian tertentu, dan tak lagi penting tentang apa bakat dan kemampuan dia sesungguhnya selain dari pada menjadi seksi*.
Belum lagi, kenyataan bahwa si anak masih berusia di bawah 16 tahun, belum dewasa, dan kemungkinan tidak mengetahui, lagi belum berpikir panjang mengenai kejahatan yang bermula dari internet, menjadikan si orang tua bertanggung jawab penuh terhadap hal-hal tersebut. Apalagi, si pengunggah adalah si orang tua.
Sungguh disayangkan kalau orang tua kelas menengah yang tinggal di daerah perkotaan ini tidak pernah mendengar soal penjahat yang mencari korban langsung dari internet.
Yang aku maksud dengan korban langsung adalah anak-anak perempuan remaja, atau pra-remaja yang diajak bertemu setelah berkenalan di jejaring sosial, lalu menjadi korban kejahatan seksual oleh si kenalan. Kasus semacam ini marak terjadi, bukan? Anak perempuan disekap berhari-hari lalu diperkosa beramai-ramai. Aku yang tak punya anak saja ngeri membayangkannya. Memangnya yang punya anak tidak terbayang hal semacam ini?
Belum lagi kalau foto tersebut dikumpulkan oleh om-om pedofil, lalu dijadikan koleksi. Membayangkannya saja sudah ngeri.
Aku enggan berpanjang lebar soal apa itu objektifikasi seksual, ada sebuah catatan menarik (meski dalam bagian tertentu agak kurang sensitif gender) yang bisa dibaca:
http://rationalwiki.org/wiki/Talk:Sexual_objectification
Yang ga paham apa itu pedofil, selalu ada wikipedia yang bisa membantu:
http://en.wikipedia.org/wiki/Pedophilia
Artikel menarik soal industri pornografi anak dari WSJ:
http://online.wsj.com/news/articles/SB114485422875624000
Catatan soal objektifikasi seksual dari Ms. Magazine:
http://msmagazine.com/blog/2012/07/03/sexual-objectification-part-1-what-is-it/
http://msmagazine.com/blog/2012/07/06/sexual-objectification-part-2-the-harm/
http://msmagazine.com/blog/2012/07/10/sexual-objectification-3-daily-rituals-to-stop/
Meski tak ingat betul bagaimana bunyi status tersebut, kurang lebih aku sedang menyinggung perihal orang tua yang gemar mengunggah foto seksi (meski definisi seksi juga sangat bisa diperdebatkan) si anak di situs jejaring sosial. Mungkin bangga karena menurutnya si anak adalah contoh manusia yang cantik secara fisik.
Setelah dia berkomentar agak keras di status tersebut, lalu belakangan aku menyadari pertemanan kami diputuskan sepihak (kemudian diikuti seluruh keluarganya).
Padahal sungguh pun sebelum dia berkomentar dengan tidak enak di status itu, aku tak pernah menyadari apa saja yang dia unggah di jejaring sosial. Mungkin karena kehidupan dia juga kurang menarik minatku. Haha...
Penilaianku, foto anak perempuannya (waktu itu SMP kelas 3) yang diunggah ke jejaring sosial pada masa itu sebenarnya hanya untuk berbagi kebahagiaan bahwa dia punya anak yang cantik, seksi, sekaligus dapat dijual jasanya sebagai model.
Sayang sekali sebagai orang tua kelas menengah di wilayah perkotaan, dia tidak memikirkan dampak lebih jauh dari tindakan mengunggah foto macam itu di jejaring sosial.
Sungguh satu-satunya yang ada di pikiran saat menulis status tersebut adalah pedofilia. Mungkin sepupu ipar saya itu kurang paham soal kejahatan seksual terhadap anak, sekaligus industri pornografi anak. Lalu, kenyataan bahwa dia memilih untuk tidak berteman dengan saya alih-alih mencari tahu soal industri pornografi anak dan om-om pedofil sungguh mengkhawatirkan.
Memang foto si anak dari sepupu ipar yang diunggah ke jejaring sosial bukanlah foto telanjang. Juga aku percaya bahwa perkosaan terjadi bukan lantaran pakaian apa yang dikenakan korban (baik laki-laki maupun perempuan), melainkan ada proses pengobjekan dan persoalan kekuasaan ditambah keberadaan manusia yang terlalu lemah pada syahwat.
Namun, menurutku, foto yang diunggah tersebut mengandung pengobjekan seksual terhadap si anak. Mudahnya objektifikasi seksual ini terjadi saat tampilan suatu tubuh manusia lebih banyak menonjolkan daya tarik seksual (yang kemudian sebagian orang bisa menyanggahnya dengan bilang: "Otak lo aja yang kotor, men!") dari pada pesan lainnya.
![]() |
taken from: http://www.msmagazine.com/spring2008/outOfBodyImage.asp |
Ada perbedaan besar antara menarik dan objektifikasi. Tentu saja manusia memiliki ketertarikan fisik pada manusia lain, dan sangat mungkin manusia memerhatikan fisik orang yang disukai dengan seksama. Namun ketika wacana yang ditujukan melewati daya tarik menjadi objetifikasi adalah ketika subjek pada foto yang dilihat sebagai tubuh yang menonjolkan bagian tertentu, dan tak lagi penting tentang apa bakat dan kemampuan dia sesungguhnya selain dari pada menjadi seksi*.
Belum lagi, kenyataan bahwa si anak masih berusia di bawah 16 tahun, belum dewasa, dan kemungkinan tidak mengetahui, lagi belum berpikir panjang mengenai kejahatan yang bermula dari internet, menjadikan si orang tua bertanggung jawab penuh terhadap hal-hal tersebut. Apalagi, si pengunggah adalah si orang tua.
Sungguh disayangkan kalau orang tua kelas menengah yang tinggal di daerah perkotaan ini tidak pernah mendengar soal penjahat yang mencari korban langsung dari internet.
Yang aku maksud dengan korban langsung adalah anak-anak perempuan remaja, atau pra-remaja yang diajak bertemu setelah berkenalan di jejaring sosial, lalu menjadi korban kejahatan seksual oleh si kenalan. Kasus semacam ini marak terjadi, bukan? Anak perempuan disekap berhari-hari lalu diperkosa beramai-ramai. Aku yang tak punya anak saja ngeri membayangkannya. Memangnya yang punya anak tidak terbayang hal semacam ini?
Belum lagi kalau foto tersebut dikumpulkan oleh om-om pedofil, lalu dijadikan koleksi. Membayangkannya saja sudah ngeri.
Aku enggan berpanjang lebar soal apa itu objektifikasi seksual, ada sebuah catatan menarik (meski dalam bagian tertentu agak kurang sensitif gender) yang bisa dibaca:
http://rationalwiki.org/wiki/Talk:Sexual_objectification
Yang ga paham apa itu pedofil, selalu ada wikipedia yang bisa membantu:
http://en.wikipedia.org/wiki/Pedophilia
Artikel menarik soal industri pornografi anak dari WSJ:
http://online.wsj.com/news/articles/SB114485422875624000
Catatan soal objektifikasi seksual dari Ms. Magazine:
http://msmagazine.com/blog/2012/07/03/sexual-objectification-part-1-what-is-it/
http://msmagazine.com/blog/2012/07/06/sexual-objectification-part-2-the-harm/
http://msmagazine.com/blog/2012/07/10/sexual-objectification-3-daily-rituals-to-stop/
Setuju banget Rik. Aku juga suka jengah sama ortu-ortu yang dengan entengnya ngupload foto-foto anak mereka yang masih di bawah umur dengan pakaian seksi. Sebenernya, tanpa pakaian seksi pun, foto anak di bawah umur janganlah terlalu banyak diumbar. Itu artinya seolah-olah anak tidak punya hak untuk nolak fotonya dipublikasikan ortu mereka. Aku aja bakal jengah kalo ada fotoku dipublikasikan ortu atau saudara tanpa seizin aku.
ReplyDelete