Posts

Showing posts from November, 2013

foto seksi anak

Image
Sekitar dua tahun yang lalu, seorang sepupu ipar pernah menghapus pertemanan denganku di situs jejaring sosial. Asumsiku dia tersinggung dengan salah satu status yang kutulis. Meski tak ingat betul bagaimana bunyi status tersebut, kurang lebih aku sedang menyinggung perihal orang tua yang gemar mengunggah foto seksi (meski definisi seksi juga sangat bisa diperdebatkan) si anak di situs jejaring sosial. Mungkin bangga karena menurutnya si anak adalah contoh manusia yang cantik secara fisik. Setelah dia berkomentar agak keras di status tersebut, lalu belakangan aku menyadari pertemanan kami diputuskan sepihak (kemudian diikuti seluruh keluarganya). Padahal sungguh pun sebelum dia berkomentar dengan tidak enak di status itu, aku tak pernah menyadari apa saja yang dia unggah di jejaring sosial. Mungkin karena kehidupan dia juga kurang menarik minatku. Haha... Penilaianku, foto anak perempuannya (waktu itu SMP kelas 3) yang diunggah ke jejaring sosial pada masa itu sebenarnya hanya

Dokter Gigi sukarela

"Nggak bisa dua jenis pemeriksaan sekaligus, Dek. Soalnya kami kan sifatnya membantu saja di sini, beramal sukarela," ujar Dokter Gigi yang memeriksaku. Meski berobat di RSGM milik Pemprov Sumatera Selatan tidak berbayar, aku mengernyit juga saat si dokter bilang bahwa pekerjaan mereka adalah sukarela. Kok bisa sukarela? Apakah pemerintah Sumatera Selatan tidak menggaji mereka sampai mereka mengaku sedang bekerja sebagai sukarelawan? Aku bertahun-tahun bekerja menjadi sukarelawan di banyak tempat, di Pusat Studi Seksualitas, di dapur umum waktu gempa besar melanda Jogja, hingga  mengajar di pinggir rel kereta di Pasar Senen. Kesemuanya pekerjaan sukarela, tidak berbayar, bahkan sering kali nombok, mengeluarkan duit dari kantong pribadi agar pekerjaan sukarela tetap dapat berjalan. Apakah beramal sukarela macam itu yang dimaksud si dokter gigi di RSGM milik Pemprov Sumsel itu? Apakah Pemerintah tidak membayar mereka selama bekerja, dan bahkan mereka sampai nombok untuk b

26

Image
I guess I'm seriously afraid of turning 26. It sounds like lead to more responsibilities and boredom. People expect you to be more mature and tough, while I just wanted to have more fun, no responsibility, and no serious stuff in life. Well, I can't. My 25 was a bowl of every joy. It didn't necessarily mean that I face no hard time during those times, but the fact that I could overcome those hard time was a pride. I won't complain, my early days of being 26 was a bless of great sunshine, beach, books, bunch of awesome new friends, ice cream, cycling, yoga, lots of birthday wishes and literally a best gift ever from a best friend. Actually there’s nothing acute, painful, or shoddy about this age. I just have been casually musing about this new age, you know that feeling that I just stepped into late 20. This is the stage when people start to call you Ibu instead of Mbak, and the stage where everyone else is younger than you. You know, several years a

Rak Buku

Kemarin, saat senja tiba, aku putuskan untuk menulis. Menurutku ide ini terdengar manis, di pinggir pantai aku menulis, saat sinar matahari tinggal segaris. Kelapa muda sudah tiba, juga kertas dan pena. Sayangnya aku lupa bagaimana menulis dengan kertas dan pena. Tak lagi bisa menghubungkan mata pena dan mata kata. Padahal aku hanya ingin menyoal matahari, laut, rasa, dan hal-hal yang tak pernah selesai. Kemarin dulu kau datang menemuiku. Katamu kau ingin membantuku, menggali dan mengeluarkan sakit sampai ke akar. Lalu kubilang aku ingin seperti hatimu, tak ada apapun yang berakar di sana. Ah, aku tak mau mengingat-ingat lagi. Maka kubaca Murakami. Entah Murakami keberapa yang kubaca ini. Kau tahu, Murakami adalah obat patah hati, dan aku tak mau mendebatkan hal ini. Tak ada alasan-alasan khusus. Asalkan Murakami, terobati saja patah hati. Namun tidak kali ini. Dua hari lalu instruktur vinyasa merekomendasikan Il Pirata, pizza yang disajikan di taman keci

Kambing

Aku sedang belajar jadi kambing. Duduk duduk saja di bawah bayangan saat matahari setengah lembing. Sayangnya aku tidak bisa menggoyang-goyangkan kuping. Seperti kambing. Pada pohon besar di depanku ada tak kurang dari 15 kambing Dan dua bayi kambing Berteduh di bawah pohon besar, satu-satunya yang masih rindang. Lebih besar pohon tempatku berteduh, sungguh. Tapi dahan-dahannya sudah ditebang. Daun-daunnya masih hijau muda, tak rindang. Hanya batang besar yg membuat sinar matahari jadi terhalang. Ternyata kambing lebih pandai memilih pohon rindang. Lalu aku bosan Kutengok kiri kanan Ah, belajar jadi kambing ternyata tidak menyenangkan.

keluh

Jalanan penuh dengan bis-bis bau karat dan angkot omprengan, mobil yang dibeli lebih mahal dari nyawa demonstran, ojeg-ojeg yang menerjang badai demi selembar 20 baht, serta sumpah serapah orang-orang yang menua di jalanan. Aku hendak mengeluh, sekali saja. Soal ayah yang mati begitu cepat, dan adik-adik yang tumbuh begitu lambat. Soal Ibu yang sakit melulu, dan uang yang tak seberapa itu. Soal cinta yang tak pernah tepat waktu, dan rindu yang kuyu. Soal kamu yang membuat hatiku kelu. Biar menangis, sekali saja. Berjalan tunduk, melontar-lontar kerikil dengan ujung sepatu.  Mengunci diri dalam lemari, berteriak-teriak sampai tak tahu siapa dalam diri. Terisak-isak sampai sesak. Tertidur dengan sembab. Hujan masih berderas, dan hatiku mengerak. Lalu ia berderak dalam  k peluh yang berserak. (ah, hampir saja ku berteriak,             dalam namamu)

400 lux

Image
I'm a broken heart writer, I write more once my heart get broken. But there are always times when ones gets too broken to write, too broken thus lost the ability to express the pain. Haha... DRAMA. "I'd like it if you stayed" (Being strong is overrated, I want to be weak and happy.)

aku masih mengenang-ngenangmu

Image
Kau tahu, mereka sudah mengubah kursi-kursi di kedai kopi tempat kita dulu berkencan akhir pekan. Yah, sebut saja kencan, padahal aku sibuk menulis berita dan kau membaca laporan keuangan. Kursi-kursi tinggi di sudut kiri sudah tidak ada lagi. Dulu di kursi itu seorang pria terus menerus memandang ke arahku. Akhirnya dia mengajak berkenalan, beberapa jam saja sebelum kencan pertama kita. Saat matahari 60 derajat menuju barat, dan kepalaku penuh dengan bagaimana percakapan kita nanti. Kedai kopi makin ramai menjelang malam, kupikir para pekerja terlalu malas untuk langsung pulang dan menemui sebenar-benarnya kehidupan. Mereka lebih suka mengobrol-ngobrol saja, sambil menyesap kopi yang harganya sama dengan tiga kali makan di warteg. Membaca-baca buku, mengerjakan sisa pekerjaan, atau merenungi malam yang tanpa bulan. Lalu aku teringat bulan kuning besar di atasku saat kau di dalamku, entah setelah berapa kali kencan di kedai kopi, makan malam, pesta-pesta, dan malam-malam mengerja