Setelah 15 tahun (After 15 years)

Film dibuka dengan berbagai cuplikan kejadian (yang sebagian besar rusuh) pada masa 1998—1999, lalu dikombinasi dengan narasi dari Tora Sudiro, dan komentar berbagai sumber, mulai dari dosen, seniman, pedagang, karyawan, hingga mahasiswa.
Pada sesi tanya-jawab usai menonton film, barulah aku tahu
sebagian besar narasumber yang sengaja tidak disebutkan namanya itu adalah orang-orang yang ikut aktif pada
masa-masa yang disebut reformasi. Mungkin mereka sengaja dibiarkan
tidak bernama dalam film tersebut demi menjaga semangat bahwa reformasi adalah
pekerjaan banyak orang, bukan segelintir orang saja.
Dari perspektif orang-orang yang diwawancara, juga narasi oleh
Tora Sudiro, film ini menyuguhkan berbagai macam ide soal reformasi, dan bagaimana
seharusnya negara ini mengarah dan beroperasi. Partai politik, kemiskinan, kasus
pelanggaran hak asasi manusia, kisruh antarkelompok dan orang-orang yang mengatasnamakan agama, korupsi, krisis ekonomi, utang luar
negeri, tak lupa pendapatan domestik bruto disatukan dalam wadah yang sama. Semua
bahan dipetik, lalu dilempar ke dalam satu tudung saji. Sebagian bahan mendapat
porsi berkelimpahan, sebagian lagi selintasan saja. Kalau bicara enak atau
tidak campuran bumbunya, tergantung selera.
Bagiku film ini menjadi penting untuk ada karena kita tetap
butuh pengingat dalam bentuk yang lebih mainstream (meski aku ragu film ini
disukai oleh anak muda mainstream masa kini) bahwa masih banyak agenda yang
belum terpenuhi. Kasus pelanggaran HAM yang sudah terjadi mengambang begitu
saja dan kasus baru juga terus dibuat, KKN tak kunjung enyah (aku tak bisa
bilang KKN semakin marak juga karena tidak ada bukti kuat bahwa KKN mas kini
lebih parah dari masa lalu), dan parahnya lagi “musuh” reformasi menjelma dalam
berbagai bentuk. Kalau dulu hanya ada satu titik runtuhkan satu rezim, sekarang
konsentrasi “perlawanan” terpecah karena tak hanya satu berhala pemerintahan
yang harus dihancurkan, melainkan ratusan kepentingan yang tak berpihak pada
masyarakat.
Sebetulnya ga ada ide baru sih, tapi kalau memang menyasar
anak muda yang selama ini tidak peduli politik, mungkin ini wacana
baru buat mereka. Namun, apa iya anak muda gaul masa kini tertarik nonton film
yang isinya cuma wawancara dan potongan kejadian 1998—1999. Aku pikir perlu
kemasan yang lebih ramah lagi renyah untuk menyasar mereka.
Meski tak ada yang baru, rasanya haru juga kalau melihat "Setelah 15 tahun" sebagai pengingat, sebab kita acap kali lupa pada hal-hal dasar yang
baiknya terlebih dahulu diraih, sebelum terlalu sibuk memikirkan hal-hal yang
kita anggap besar, padahal kopong kalau dasarnya saja tidak kuat.
Satu hal yang bagiku kurang berimbang dalam film ini adalah
terlalu banyak bicara soal politik, tetapi tak memberi cukup ruang untuk
argumentasi-argumentasi ekonomi. Aku lupa ada berapa sumber yang diwawancara,
mungkin sekitar delapan, dari delapan itu, hanya satu yang membahas
perekonomian, Faisal Basri, itu pun tak banyak porsinya. Padahal membahas
persoalan ekonomi sama pentingnya dengan kehidupan politik, bukankah krisis
ekonomi dan merosotnya nilai tukar Rupiah pada 1998 adalah salah satu pemantik
signifikan demonstrasi besar-besaran kala itu?
Persoalan perekenomian bolak balik menyasar besarnya PDB
(Produk Domestik Bruto) dan utang luar negeri. Fatalis betul ketika penegasan
soal utang luar negeri melulu soal berapa nilai yang harus kita bayarkan dan
berapa bunganya. Penekanan ini berulang kali diulang oleh Tora Sudiro, tanpa
ada kontra argumen. Karena bagiku pribadi, utang itu tetap perlu, baik dalam
negeri, maupun luar negeri (itu ORI apa namanya kalau bukan utang Negara
ke rakyatnya sendiri?). Persoalannya kan kembali lagi ke masalah pengelolaan
dan KKN. Kalau pisau digunakan untuk membunuh apa mau menyalahkan pisaunya alih-alih si
pembunuh?
Bukan hanya soal utang. Seluruh ide dalam film adalah ide
yang berasal dari sisi yang sama, tanpa kontra argumen. Tak ada satupun orang
dengan pendapat berbeda diwakilkan dalam film ini. Meski sering kali setuju
dengan berbagai pendapat dalam film ini, bagiku salalu kaya rasanya kalau
mendengarkan pendapat lain yang berbeda, jauh berbeda, bertolak belakang,
hingga pendapat yang bahkan tidak terbersit sama sekali di kepala.
Kupikir ruang diskusi bagi perbedaan itu harus dibiarkan ada, dirayakan, dan dibuat damai. Kalau tidak begitu, kapan kita belajar lebih luas? Melihat dan memahami perspektif lain kan bukan berarti bersepakat.
Kupikir ruang diskusi bagi perbedaan itu harus dibiarkan ada, dirayakan, dan dibuat damai. Kalau tidak begitu, kapan kita belajar lebih luas? Melihat dan memahami perspektif lain kan bukan berarti bersepakat.
Film ini lumayan memprovokasi untuk kembali memikirkan
hal-hal yang mungkin terakhir kali aku pikirkan dalam kelas sistem
sosial-politik Indonesia, sejarah sosial-politik indonesia, atau komunikasi
politik. Namun selesai dampai di situ. Belum mengagitasi, belum sampai mendorong untuk bertindak lebih lanjut, berpikir lebih lanjut, dan mengambil
langkah supaya ide-ide itu tidak hanya berputar dalam kepala.
Habis menonton, toh mampir juga ke acara musik yang
disponsori rokok, bir, serta perusahaan-perusahaan yang hadir di Indonesia
akibat liberalisme ekonomi yang katanya tak baik bagi bangsa ini.
-------------------
Produser: Tino Saroengalo
Sutradara: Tino Saroengalo
Durasi: 93 menit
Trailer: http://www.youtube.com/watch?v=jmd7luFtCZY (sayang sekali video ga bisa dilampirkan dalam tulisan, huhu T__T)
PS: Usai menonton film, ada diskusi kecil-kecilan. Satu hal yang selalu muncul dalam tiap diskusi macam ini adalah pesimisme berlebihan. Kenapa sih kita harus pesimis betul pada bangsa ini? Jangan-jangan yang kita dengarkan dan membuat makin pesimis itu sesungguhnya bukan orang-orang yang kritis, melainkan sinis. Indonesia baru meredeka 68 tahun, reformasi baru 15 tahun. Eropa sudah bernegara ratusan tahun tetap bisa krisis, Amerika Serikat ratusan tahun setelah perang saudara masih juga shut down. Meski jauh dari ideal, ayo dong lebih pesimis, bernegara itu kata kerja, kita harus bekerja bersama, sambil saling mengingatkan. Jangan sampai jadi sekadar onani wacana lalu saling mencela.
Comments
Post a Comment