Jakarta
Angkot-angkot omprengan terus saja berjalan, atau lebih
banyak berhentinya, menyebabkan kendaraan mengular panjang, seperti keringat
yang mengalir-ular dari tengkuk, punggung, lalu pinggulmu.
Kau bau Jakarta, bau polusi yang bercampur kecewa, kesedihan
dan duka, juga suka cita yang tiba-tiba muncul lalu menghilang tanpa banyak
bicara. Seperti bajaj yang menyalip dari kiri, lalu menghilang di balik patas
yang pantasnya dijual per kilo. Kilogram, bukan kilometer.
Jakarta menyambutmu dengan wajah aslinya, perjalanan pendek
yang harus ditempuh selama dua jam. Belum lagi hujan, dan wajah-wajah penuh
amarah. Entah marah pada siapa. Mungkin pada diri mereka sendiri, kenapa masih
saja terus tinggal di Jakarta. Lalu menyalahkan nasib, atau terkadang Tuhan,
kalau mereka masih percaya.
Jakarta itu romantis kalau malam datang bersama hujan
gerimis. Asalkan kau tidak tinggal di daerah langganan banjir.
Begini saja pekerjaanku kalau Jakarta sedang hujan gerimis,
duduk di tepian jendela, menyeruput kopi, dan menulis-nulis. Seperti di serial
tivi, bedanya pemeran di televisi selalu berkulit terang, berambut panjang,
berpakaian manis, dan punya pacar yang romantis. Seperti Jakarta saat gerimis.
Aku berharap ada bulan, biar malam lebih menawan, tapi cuma
ada awan dan hujan, juga sebuah pesan. Tadinya ingin kutuliskan isi pesan itu
utuh, tapi tidak jadi, bisa ketahuan oleh si pengirim pesan nanti.
Pesan yang tidak penting. Harusnya aku pura-pura tidak
membacanya saja. Aku masih ingin berlama-lama di sini, menulis-nulis, membaca-baca,
memperhatikan pria-pria.
Beberapa pria memang dilahirkan untuk menjadi seperti Jakarta, kau
tahu, membuat hidupmu bau polusi yang bercampur kecewa, kesedihan dan duka,
juga suka cita yang lebih sering menghilang tanpa banyak bicara.
Lalu kau butuh waktu lama untuk meninggalkannya, atau
menikmati saja terjebak di dalamnya.
Tulisan mu seperti suplemen kreativitas untuk pikiran-pikiran yang sudah lama sekali tersumbat
ReplyDelete