hari kelima


Bosan menunggu, kau coba membunuh waktu, tanpa pernah tahu waktu telah membunuh kita terlebih dahulu.

Setengah jam lagi aku sudah menghabiskan hari kelima dari tujuh hari terakhirku. Maka aku hanya memiliki sisa dua hari sesudah ini. Aku masih suka menulis saja, pun belum bisa menceritakan rinci kawah pada matamu yang abu dan sayu.

Bulan sudah tiga perempat, cahayanya memantul-mantul pada rambut ikal yang kini sudah terlalu panjang. Katamu dulu sebaiknya aku segera bercukur, tetapi kemudian kau berubah pikiran. Mungkin lantaran cahaya bulan yang tumbuh di kepalaku menjulur-julur di antara jemarimu.

Pelukmu memanggil-manggilku pulang, seperti kata asu yang memanggil-manggil tanda seru. Kalau saja kau tak terburu nafsu membunuh waktu, maka tiga hari lagi, atau paling lama seminggu lagi kita akan bertemu pada purnama kedelapan. Tapi tak apalah, purnama ketujuh dan bulan tiga perempat malam tadi cantik juga. Seperti wajah sahabat perempuanmu, yang bola matanya begitu indah itu.

Bulan di atas sana, dan aku di bawahnya. Pada ranjangmu yang tak lugu, tadinya aku harap dia dapat merawat kegelisahanku, merawat encok saja dia tak mampu. Mungkin sebab itu hatimu begitu kaku. Karena ranjangmu tak lugu.

Lalu telepon genggam berdering, pendek tapi keras. Tanganmu menggapai-gapai dalam gelap sebelum telepon genggam mampu berdering panjang. Namun telepon genggam itu rupanya berdering dari rinduku yang masih saja keroncongan.

Gawat, teman sekamarmu sudah pulang, padahal beberapa waktu lalu aku mendesah begitu panjang dan keras, saingan dengan bunyi telepon genggammu. Katamu tak mengapa. Lalu aku pun mengendap dalam bingkai waktu yang kau coba bunuh itu.

Tak mengapa, serentetan duka akan tidur tenang setelah kukecup tengkuknya. Karena telah ia sapa sepasang ranjang yang terbang rendah dan dapat mengobati gelisah. 

Comments

Popular posts from this blog

Mimpi

Addressing Climate Crisis with Ummah