cerita soal hujan
Aku memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan cepat,
dan bergegas ke kedai kopi. Tak ada hal penting yang harus kukerjakan di kedai
kopi, sekadar ingin ke kedai kopi saja, seperti kemarin dan kemarin dulu, ditemani
secangkir kopi susu, semacam pekerjaan rutin sebelum mengenalmu
Kau harus tahu, kopi dengan susu skim adalah sebaik-baiknya
rasa. Tak manis dia, juga tak pekat teksturnya. Lidahmu akan mengecap lebih
banyak rasa kopi dan sedikit saja rasa susu. Ah, macam ahli saja aku
berkata-kata.
Dari jendela kulihat hujan sudah tiba, ada di mana-mana,
mencipta genangan. Aku sedang mengenakan
sepatu tinggi, tak mau melintas genangan, namun harus segera ke kedai kopi.
Di sana nanti, aku akan sekadar duduk-duduk saja, menulis sajak-sajak, membaca-baca Roland Barthez yang tak kunjung
rampung, berfikir soal apa saja, sambil menunggui senja.
Dulu juga hujan rasanya, saat kali pertama kita memutuskan
untuk makan malam bersama. Hujan dan kendaraan yang tak bergerak. Begitu terus
saja cerita Jakarta. Lalu kau bilang
sebaiknya aku menyebrang, ke pusat perbelanjaan dekat tempat kau tinggal.
Maka kita makan malam di rumah makan Taiwan, dengan teh
berisi bunga yang mekar di dalam gelas-gelas kaca (ini sungguhan, bukan
bermakna konotasi).
Lalu kulewati jalanan yang sama dengan masa itu. Pada
jembatan layang dan pepohonan adalah sisa kenangan.
Bedanya, kali ini jalanan begitu lancar. Sebentar saja aku
sudah hampir sampai. Saat supir mencari putaran, aku masih mencari-cari rindu.
Lalu jalanan mulai penuh, dan kendaraan bergerak lambat.
Kau tahu,
Hujan adalah waktu paling haru untuk merindu.
Sudah lama saya gak menulis, baca-baca tulisan kamu lagi bikin kangen
ReplyDeleteaku masih selalu berkunjung tiap pekan, dan selalu patah hati lantaran tambahan satu tulisan itu tak kunjung berkawan :)
ReplyDelete