Aku akan mati tujuh hari lagi


Hidupku akan berakhir pada hari ketujuh. Tujuh hari dengan hari ini. Entah bagaimana aku mengetahui hal ini, pokoknya aku tahu hidupku akan berakhir.

Aku menulis saja pagi ini, sambil mengenang matamu yang tak kuingat apa warnanya, sambil mengingat hangatmu, sambil memecah rindu menjadi kerikil-kerikil kecil yang kelak dihancurkan oleh waktu dan segelas tequila.

Pagi-pagi ini aku akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk menulis saja. Lagi pula aku akan mati tujuh hari lagi, maka sah bagiku untuk berbuat apa saja. Persoalnnya aku tak ingin berbuat apa saja, aku hanya akan menulis saja. Soal sepasang kecupmu yang memiliki rasa anggur merah.

Tiba-tiba saja seluruh kota kehilangan daya pikatnya. Siapa peduli pada senja di antara gedung-gedung kotor penuh polusi dan trotoar yang sompal. Bau hujan saja kalah dengan bau ketiak dan wajah-wajah lelah. Begitulah. Aku kehilangan ketertarikan pada seluruh isi kota. Tak ada kau di sana, kenangannya saja tak pernah ada.

Aku masih ingat kau mencari-cari wajahku dari pelataran stasiun kereta. Melongok-longok dari jendela. Lama sampai kau temukan aku yang sedang dadah-dadah. Lalu kita sama-sama menghilang. Aku menuju kota sebelah, dan kau akan kembali ke rumah.

Waktu seperti pencuri yang diam-diam meletakan, lalu mengambil kembali bahagia dalam tidur kita. Waktu tak bisa dihitung begitu saja dengan jemari kita, dengan bayangan, atau kenangan. Sebentar saja motor tukang ojek diujung gang menjadi dingin, tak ada pelanggan. Namun waktu berlarian, dan rinduku pun semakin cepat keroncongan.

Petugas bersepeda motor mengantarkan waktu dalam paket berwarna cokelat. Pada kolom pengirim tertera namamu. Sayang aku sedang tak di rumah.

Aku sedang berjalan saja melintasi jembatan besar, di atas sungai besar dan sepasang anak yang berak di tepinya.

Saat itu hampir akhir pekan. Aku sudah lama tak baca koran.  Namun perasaanku lumayan baik. Kaca spion memantul gambar hutan dan udara yang lebih baik dari apapun yang ditawarkan kota.

Jika hari ini berakhir, maka aku punya sisa enam hari lagi, dan sisa ingatan soal hutan dan anak-anak yang berak di tepi sungai. Juga rumah-rumah panggung yang memiliki sisa hutang budi pada pohon gelam yang kini tak ada di mana-mana.



Waktu sangat murah hati di kota yang kalem ini. Pukul berapa pun kamu bangun, jam akan mengucapkan selamat bangun. –Joko Pinurbo

Comments

Popular posts from this blog

Mimpi

Addressing Climate Crisis with Ummah