Jakarta
Angkot-angkot omprengan terus saja berjalan, atau lebih banyak berhentinya, menyebabkan kendaraan mengular panjang, seperti keringat yang mengalir-ular dari tengkuk, punggung, lalu pinggulmu. Kau bau Jakarta, bau polusi yang bercampur kecewa, kesedihan dan duka, juga suka cita yang tiba-tiba muncul lalu menghilang tanpa banyak bicara. Seperti bajaj yang menyalip dari kiri, lalu menghilang di balik patas yang pantasnya dijual per kilo. Kilogram, bukan kilometer. Jakarta menyambutmu dengan wajah aslinya, perjalanan pendek yang harus ditempuh selama dua jam. Belum lagi hujan, dan wajah-wajah penuh amarah. Entah marah pada siapa. Mungkin pada diri mereka sendiri, kenapa masih saja terus tinggal di Jakarta. Lalu menyalahkan nasib, atau terkadang Tuhan, kalau mereka masih percaya. Jakarta itu romantis kalau malam datang bersama hujan gerimis. Asalkan kau tidak tinggal di daerah langganan banjir. Begini saja pekerjaanku kalau Jakarta sedang hujan gerimis, duduk di