Posts

Showing posts from October, 2013

Jakarta

Angkot-angkot omprengan terus saja berjalan, atau lebih banyak berhentinya, menyebabkan kendaraan mengular panjang, seperti keringat yang mengalir-ular dari tengkuk, punggung, lalu pinggulmu. Kau bau Jakarta, bau polusi yang bercampur kecewa, kesedihan dan duka, juga suka cita yang tiba-tiba muncul lalu menghilang tanpa banyak bicara. Seperti bajaj yang menyalip dari kiri, lalu menghilang di balik patas yang pantasnya dijual per kilo. Kilogram, bukan kilometer. Jakarta menyambutmu dengan wajah aslinya, perjalanan pendek yang harus ditempuh selama dua jam. Belum lagi hujan, dan wajah-wajah penuh amarah. Entah marah pada siapa. Mungkin pada diri mereka sendiri, kenapa masih saja terus tinggal di Jakarta. Lalu menyalahkan nasib, atau terkadang Tuhan, kalau mereka masih percaya. Jakarta itu romantis kalau malam datang bersama hujan gerimis. Asalkan kau tidak tinggal di daerah langganan banjir. Begini saja pekerjaanku kalau Jakarta sedang hujan gerimis, duduk di

cerita soal hujan

Aku memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan cepat, dan bergegas ke kedai kopi. Tak ada hal penting yang harus kukerjakan di kedai kopi, sekadar ingin ke kedai kopi saja, seperti kemarin dan kemarin dulu, ditemani secangkir kopi susu, semacam pekerjaan rutin sebelum mengenalmu Kau harus tahu, kopi dengan susu skim adalah sebaik-baiknya rasa. Tak manis dia, juga tak pekat teksturnya. Lidahmu akan mengecap lebih banyak rasa kopi dan sedikit saja rasa susu. Ah, macam ahli saja aku berkata-kata. Dari jendela kulihat hujan sudah tiba, ada di mana-mana, mencipta genangan.  Aku sedang mengenakan sepatu tinggi, tak mau melintas genangan, namun harus segera ke kedai kopi. Di sana nanti, aku akan sekadar duduk-duduk saja, menulis sajak-sajak, membaca-baca Roland Barthez yang tak kunjung rampung, berfikir soal apa saja, sambil menunggui senja. Dulu juga hujan rasanya, saat kali pertama kita memutuskan untuk makan malam bersama. Hujan dan kendaraan yang tak berge

nausea

I can feel a long line of tears on the corner of my eyes But I already put my make up on (I allow you to ruin my lipstick but not with my eyeliner) I have gin and tonic But drinking reminds me of you I put the music loud Shit We used to dance with it I was chewing the light when your train got in and the street lamps have colored everything yellow Now is that these are my empty hands spread like a fin to swim through another morphin.

mata rindu

Kau tahu, cinta itu berwarna abu. Campuran rindu dan kelu. Pun tak pernah tepat waktu. Malam tadi inginnya ku pulang ke suhu bibirmu Pada kecup yang tak berbaju Dan hati yang sedingin batu Dalam batu itu kutemukan mata cinta yang matang diperam waktu

hari kelima

Bosan menunggu, kau coba membunuh waktu, tanpa pernah tahu waktu telah membunuh kita terlebih dahulu. Setengah jam lagi aku sudah menghabiskan hari kelima dari tujuh hari terakhirku. Maka aku hanya memiliki sisa dua hari sesudah ini. Aku masih suka menulis saja, pun belum bisa menceritakan rinci kawah pada matamu yang abu dan sayu. Bulan sudah tiga perempat, cahayanya memantul-mantul pada rambut ikal yang kini sudah terlalu panjang. Katamu dulu sebaiknya aku segera bercukur, tetapi kemudian kau berubah pikiran. Mungkin lantaran cahaya bulan yang tumbuh di kepalaku menjulur-julur di antara jemarimu. Pelukmu memanggil-manggilku pulang, seperti kata asu yang memanggil-manggil tanda seru. Kalau saja kau tak terburu nafsu membunuh waktu, maka tiga hari lagi, atau paling lama seminggu lagi kita akan bertemu pada purnama kedelapan. Tapi tak apalah, purnama ketujuh dan bulan tiga perempat malam tadi cantik juga. Seperti wajah sahabat perempuanmu, yang bola matanya begit

Aku akan mati tujuh hari lagi

Hidupku akan berakhir pada hari ketujuh. Tujuh hari dengan hari ini. Entah bagaimana aku mengetahui hal ini, pokoknya aku tahu hidupku akan berakhir. Aku menulis saja pagi ini, sambil mengenang matamu yang tak kuingat apa warnanya, sambil mengingat hangatmu, sambil memecah rindu menjadi kerikil-kerikil kecil yang kelak dihancurkan oleh waktu dan segelas tequila. Pagi-pagi ini aku akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk menulis saja. Lagi pula aku akan mati tujuh hari lagi, maka sah bagiku untuk berbuat apa saja. Persoalnnya aku tak ingin berbuat apa saja, aku hanya akan menulis saja. Soal sepasang kecupmu yang memiliki rasa anggur merah. Tiba-tiba saja seluruh kota kehilangan daya pikatnya. Siapa peduli pada senja di antara gedung-gedung kotor penuh polusi dan trotoar yang sompal. Bau hujan saja kalah dengan bau ketiak dan wajah-wajah lelah. Begitulah. Aku kehilangan ketertarikan pada seluruh isi kota. Tak ada kau di sana, kenangannya saja tak pernah ada.